top of page

Perjuangan

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 3 min read

Banyak orang bertanya, mengapa aku masih betah dan tinggal di Depok. Aku bekerja di Jakarta, cari rezeki untuk melanjutkan hidup di sana. Bahkan salah satu kawan di kantorku tertawa ketika aku bilang aku masih nge-kost di Depok. “Lo nge-kost di Depok?? Hahaha.. di Depok mah bukan nge-kost kali bro!”, begitu katanya.


Sebagian besar orang-orang yang keheranan tersebut mempertanyakan jarak tempat kerjaku dari Depok yang jauh. Daripada bolak-balik, kenapa tidak nge-kost di sekitaran Jakarta? Sebagian besar dari orang-orang yang mempermasalahkan jarak tersebut merasa miris dengan moda transportasi yang ku ambil untuk berangkat kerja tiap hari. “Bukannya jam-jam segitu kereta rame banget ya? Lo tiap hari desak-desakkan dong??” begitu kira-kira pertanyaannya.


Semua orang punya perjuangan, bagi sebagian orang yang hidupnya enak atau setidaknya tidak perlu merasakan berhimpit-himpitan dengan tumpukan manusia setiap senin sampai jumat, mungkin mereka menganggap perjuanganku berat. Tak usah orang-orang tidak bermakna yang bahkan aku tidak ingat siapa saja itu, bahkan kedua orang tuaku yang paling dekat dan berharga di mataku, pun khawatir dengan kehidupan komuterku yang demikian. Takut mungkin mereka anak laki-laki pertamanya lelah dan mati muda.


Bicara tentang perjuangan, bagiku, bertumpuk dengan manusia-manusia dari Depok ke tempat kerjaku, malah bukan satu masalah yang besar. Aku pernah mengalami hal yang lebih berat dari ini. Sejak duduk di bangku SMA, aku sudah tinggal pisah dari orang tuaku, hidup mandiri di tanah rantau, terpisah dua pulau satu selat dari rumah. Hal itu ku lakukan ketika usiaku baru menginjak 14 tahun, masa-masa ketika remaja mungkin butuh perhatian dan masukan dari orang-orang terdekatnya, karena ia akan beranjak ke masa pencarian jati diri. Tapi tidak, aku tidak memilih jalan itu dan harus berjuang sendiri. Bocah 14 tahun itu harus berjuang beradaptasi di lingkungan baru, dengan orang-orang baru, dan yang tentu saja tidak semuanya ramah padanya. Ada pahitnya, ada manisnya. Jika orang-orang mengatakan bahwa kehidupan putih abu-abu adalah kehidupan paling berkesan, tidaklah sepenuhnya benar bagiku. Aku tidak gagal, aku survive!

Lanjut ketika masa memasuki universitas. Bahagialah mereka yang lahir di kota besar dan mendapat pendidikan layak. Perjuanganku sedikit lebih berat. Demi mengharap kualitas pembelajaran yang lebih baik, aku sekali lagi harus meninggalkan kedua orang tuaku, berjalan lebih jauh. Sendiri. Kota Bogor, salah satu kota paling berkesan dalam hidupku. Aku memulai bimbingan belajar di kota ini selama dua bulang untuk persiapan SNMPTN. Tantangan di sini lebih berat. Jika ketika SMA aku masih tinggal dengan sepupuku dan ada kerabatku yang mengurusku sehari-hari, di sini aku benar-benar harus berjuang sendiri.


Aku menumpang di kost sepupuku yang ditinggalkannya karena tengah menempuh kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri. Selama dua bulan, aku harus bolak-balik naik empat angkot dari kost sepupuku ke bimbingan belajar. Makan seadanya di warung terdekat, sebab tak ada kendaraan untuk pergi lebih jauh. Terkadang jika khawatir lapar di malam hari, sengaja ku sempatkan mampir di perjalanan pulangku dari bimbingan belajar untuk membeli beberapa bungkus mie instan dan telur untuk ku masak di dapur kost.

Ketika di Bogor, pertama kali aku mengenal kereta. Tas disayat copet, berhimpitan sampai hampir jatuh dari kereta, sampai salah naik kereta, sudah pernah ku alami. Aku belajar kerasnya kehidupan ibukota juga dari titik ini, bagaimana susahnya hidup di tanah rantau.


Aku datang dari kampung. Naik sepeda berkilo-kilometer ketika bocah, jalan kaki naik-turun gunung, atau melihat kemiskinan, hal yang lumrah bagiku. Ketika aku kuliah, aku menetap di Depok dan itu pun tidak mewah. Kemana-mana naik transportasi umum, dan zaman itu lebih susah sebab Gojek dan segala angkutan online belum menginvasi. Ketika orang-orang ibukota bergidik jijik melewati perkampungan kumuh yang becek dan bau, aku sudah biasa. Aku pernah tinggal di tempat demikian, kawan-kawanku tidak sekolah dan tidak beralas kaki. Bau, pakaian yang sama berhari-hari, rambut pirang bak sabut kelapa, gigi kuning dan kotor, mandi di kali dan main lumpur, sesuai dengan deskripsi anak miskin kota di Jabodetabek.


Perjuangan, aku tidak melihat apa yang ku lakukan setiap hari dari Depok ke tempat kerjaku sebagai suatu beban atau masalah besar. Itu normal. Aku bahkan bersyukur, sebab aku masih memiliki kesempatan mendapat pengalaman di Jakarta dan bekerja dengan upah mencukupi. Bandingkan dengan orang-orang di kampungku, atau anak muda secara khusus, mereka harus rela gigit jari mengantri menjadi pegawai honor di Pemda atau menganggur sama sekali. Pengalaman yang didapat tidak banyak, bahkan mereka mungkin tidak mengenal apa itu SCBD atau Mega Kuningan.


Masa-masa awal bekerja, aku menempuh jarak yang lebih jauh dari tempat kerjaku sekarang. Bisa dua jam di kereta dan selalu pulang larut nalam. Ketika sekarang aku mendapat tempat kerja dengan jarak yang lebih dekat dan orang-orang masih bertanya keheranan, aku hanya tertawa dan berucap dalam hati, “kalian tidak mengerti apa itu yang dinamakan perjuangan”.


Sumber gambar: https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=imgres&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwit5_TuqP7TAhUIKo8KHTPMA74QjRwIBw&url=http%3A%2F%2Fbogor.tribunnews.com%2F2016%2F05%2F16%2Fgangguan-listrik-commuter-line-bogor-jakarta-hanya-sampai-manggarai&psig=AFQjCNFXU-FeDTqASAlh0qwvVClDaWKGgQ&ust=1495364463958587 



Comentarios


Post: Blog2_Post
bottom of page