top of page

Ayah

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 3 min read

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit,

Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau..

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,

Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul di pinggiran jalan..

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya,

Jadilah saja jalan kecil, tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air..

Tidaklah semua orang menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya..

Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi-rendahnya nilai dirimu

Jadilah saja dirimu,

Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri..


Taufik Ismail – Kerendahan Hati


Aku tertegun ketika membaca rangkaian diksi indah dari Taufik Ismail di atas. Huruf-huruf cantik di atas mengingatkanku akan sosok ayahku. Ayahku memang bukan orang hebat, ia hanyalah pegawai negeri biasa di satu daerah kecil di Indonesia. Ia bukanlah petinggi perusahaan negara atau tokoh dengan nama mentereng dan gaji selangit.


Aku masih ingat, ketika Ramadhan tiga tahun lalu. Aku tengah shalat Ied bersama ayahku dan adikku. Bersila kami duduk berjejer dengan ribuan umat muslim lain di lapangan pendopo kantor bupati kami. Ayahku termasuk pejabat publik, ia tidak duduk di barisan paling depan atau tempat khusus, biasa saja berbaur dengan masyarakat lain.


Masih ku ingat jelas hari itu, daerah kami tengah diliputi euforia penghargaan “Wajar Tanpa Pengecualian” (WTP) untuk tata kelola anggaran daerah dari Kementerian Keuangan. Terlihat Pak Bupati kami berdiri di mimbar, ia membacakan pencapaian-pencapaian ekonomi daerah dengan data-data statistik yang aku sendiri ragu petani jagung di samping kiriku paham. Selesai dengan angka-angkanya, tibalah pengumuman penghargaan WTP yang disambut takbir dan suka cita oleh para jamaah. Aku diam melihat ayahku, ia tampak menunduk. Raut wajahnya tenang, ekspresinya biasa aja, seolah mengisyaratkan tidak ada yang perlu dibanggakan dari hal tersebut.

Aku tahu, bahkan terdengar birokrat-birokrat lain berbisik, suka cita dan euforia ribuan manusia di lapangan itu adalah berkat kerja keras ayahku. Ia memegang posisi puncak sebagai pelayan masyarakat di Dinas Keuangan dan Aset Daerah, orang yang membawa pulang penghargaan itu. Tapi hari itu tidak banyak pujian yang ia terima, orang sibuk mengelu-elukan capaian sang bupati. Ayahku terlihat biasa saja, tidak menyinggung-nyinggung atau meminta untuk dipuji atas prestasi tersebut. Ia menikmati suasana sholat Ied layaknya suasana lebaran bersama keluarga dan kerabat.


Bukan kali itu saja aku melihat ayahku biasa saja dalam menerima penghargaan. Ia pernah mendapat semacam penghargaan, entahlah apa namanya, dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai salah satu aparatur sipil negara yang baik. Pigura foto dan penghargaan itu disimpannya di lemari kamarnya, tidak dipamerkan di lemari ruang keluarga atau ruang tamu. Aku bahkan ragu paman dan bibiku atau teman-temannya ingat ia pernah mendapat penghargaan itu.


Ayahku memang bukan orang penting, ia tidak muncul di televisi atau menjadi pembicara di seminar-seminar terkenal. Ia hanya pelayan publik biasa di daerah yang mungkin bagi sebagian orang di Indonesia tidak pernah terdengar namanya. Namun ia mengajarkanku untuk menjadi sebaik-baiknya diri sendiri. Tidak perlu menjadi kapten, jadi awak kapal yang melepas sauh dengan benar sehingga kapal berlabuh dengan selamat, sudah cukup.

Ia bukanlah beringin yang berdiri tegak di puncak, namun ia mengajarkanku menjadi rumput yang memperkuat tanggul di jalan raya. Ketika kawan-kawannya sibuk bermain politik untuk mengamankan posisi masing-masing di Pilkada, ayahku jauh dari hingar-bingar tersebut dan sibuk bekerja sesuai porsinya. Ia mengajariku akan arti menjadi diri sendiri sebaik-baiknya dan bersikap profesional dalam pekerjaan. Sederet penghargaan yang ia dapat, raut muka datarnya, seolah-olah mengisyaratkan itu adalah bagian dari tugasnya sebagai pelayan publik, bukan prestasi yang perlu dibanggakan.


Ayahku memang bukan orang hebat, ia tidak punya mobil mewah dan rumah bersusun-susun. Namun ia menunjukkan bahwa jalan setapak juga bisa membawa pada mata air. Ia adalah jalan setapak yang senyap, gelap, berlubang, dan ikhlas dilalui anak istrinya dan orang lain, untuk menuju mata air kehidupan yang lebih baik.





댓글


Post: Blog2_Post
bottom of page