Ekologi Pembangunan
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 5 min read
Ada banyak teori dan pakar mungkin yang sudah mengemukakan dan memberi definisi yang baku pada ekologi pembangunan. Saya tidak akan membahas pendapat mereka satu per satu, namun secara pribadi, saya ingin membagi pengalaman saya tentang ekologi pembangunan.
Ritual tahunan, saya dan jutaan masyarakat Indonesia lainnya melakukan mudik menjelang Ramadhan. Kampung halaman saya terbilang cukup jauh dari ibukota, kalau jalan darat bisa tiga hari tiga malam dan menyeberangi tiga selat. Sedangkan kalau naik pesawat, harus sekali transit berganti pesawat baling-baling.
Lebaran usai, ketupat dan opor habis disantap. Hari-hari berikutnya tentu silaturahmi. Satu hari saya dan keluarga besar mengadakan acara makan-makan di kebun milik kerabat kami. Letaknya cukup jauh di sebelah barat ibukota kabupaten, di kaki Gunung Tambora. Perjalanan ditempuh sekitar tiga jam naik mobil, dengan pemandangan padang savana yang luas di kanan-kiri.
Silaturahmi berlangusng menyenangkan. Hangat dan akrab, diselingi olahan daging kambing yang sukses menambah kolesterol. Senja tiba, saatnya kami berkemas pulang.
Untuk diketahui, padang savana di kaki Gunung Tambora merupakan satu lahan peternakan terpadu. Satu lahan peternakan terpadu di sini bukanlah satu lahan peternakan besar, dikelilingi pagar, dikomersialisasi dan diprivatisasi, serta dijaga petugas keamanan. Bukan, bukan demikian. Namun lebih dari itu, ini adalah ribuan hektar padang savana, dimana seluruh ternak milik masyarakat bebas digembalakan dan mencari makan. Tidak dipungut biaya. Bebas berkeliaran dan tidak ada perbedaan. Entah ternak milik bupati, pejabat, tukang kayu, orang kaya, orang dusun, sapi, kuda, kambing, kerbau, bebas mencari makan. Anda pernah menonton Hammersonic? Begitulah mungkin kira-kira gambarannya. Ketika ribuan manusia beragam jenis dan latar belakang tumpah ruah di satu lapangan untuk menonton konser metal. Bedanya, ini adalah hewan ternak yang tumpah ruah mencari makan, dan tentu saja tidak perlu membayar tiket seperti Hammersonic.
Lanjut di perjalanan pulang, beberapa kali mobil kami tersendat dengan gerombolan sapi yang pulang mencari makan. Mereka menyeberangi jalan yang membelah padang savana dan Gunung Tambora. Satu ilmu baru yang saya dapat dari ayah saya di sini.
Ayah saya bercerita, jadi beginilah siklus alami kehidupan sapi-sapi itu. Pagi mereka akan turun mencari makan dari kaki Gunung Tambora, menghambur di ribuan hektar padang savana. Begitu sampai sore. Ketika senja tiba, mereka akan naik lagi, menyeberangi jalan, kembali ke kaki Gunung Tambora. Setiap ternak atau kelompok ternak tentu memiliki penjaga atau pemilik. Para penjaga ini biasanya hanya akan mengontrol sapi-sapi dan hewan ternak mereka agar kembali ke habitatnya masing-masing. Tidak dijaga seharian, biasanya hanya berkeliling naik sepeda motor menjelang senja atau ketika malam. Semua masih serba alami dan tradisional.
Lebih lanjut lagi, sebagai satu kabupaten yang tengah berkembang dengan komoditas unggulannya, kampung halaman saya tentu tergoda dengan rayuan industrialisasi. Kira-kira satu tahun lalu, dibuka satu pabrik gula, lengkap dengan kebun tebunya, di kaki Gunung Tambora. Maklum, sejak tahun 2015, pemerintah menggalakkan Festival “Tambora Menyapa Dunia” untuk memperkenalkan pesona Gunung Tambora. Presiden Joko Widodo bahkan meresmikannya. Namun lebih dari itu, daya tarik kaki Gunung Tambora memang kuat. Sebelah utara berdiri gagah Gunung Tambora. Membentang di kakinya padang savana yang bagaikan selimut hijau. Geser terus ke selatan dari padang savana, terhampar lautan biru yang cantik. Wajar jika para investor meliriknya, apalagi mempertimbangkan ketersediaan lahan yang luas dan akses transportasi yang memadai.
Ini cerita menariknya. Pembangunan pabrik gula dan kebun tebunya ternyata sempat memicu kontroversi. Jika melihat dari kacamata pembangunan ekonomi, dibangunnya suatu pabrik tentu akan menambah aktivitas produksi suatu daerah yang berimplikasi pada pendapatan daerah dan lapangan pekerjaan. Namun hal ini ditentang keras oleh para peternak di kaki Gunung Tambora. Apa pasalnya? Rupanya lahan pabrik dan kebun tebunya dianggap mengganggu jalan ternak warga.
Seperti yang dijelaskan di atas, setiap pagi sapi-sapi milik warga akan turun dari kaki Gunung Tambora untuk mencari makan. Sore hari, sapi-sapi itu mulai naik dan kembali pulang ke kaki Gunung Tambora. Masalah muncul ketika lahan pabrik dan kebun tebunya berdiri di tengah-tengah jalur lalu-lalang sapi-sapi tersebut. Akses pulang-pergi sapi jadi terhambat, dan bisa jadi mereka harus memutar jauh untuk dapat kembali ke kaki Gunung Tambora. Para peternak protes karena habitat dan siklus hidup alami sapi menjadi terganggu.
Namun saya pribadi justru kagum dengan jalan yang diambil pemerintah daerah. Lumrah dalam kacamata pembangunan ekonomi, mengambil suatu kebijakan kalau perlu yang paling besar memberi nilai tambah. Apalagi ini merupakan pabrik gula pertama dan digadang-gadang terbesar di pulau ini. Bagi warga sekitar, kesempatan untuk bekerja di pabrik gula juga terbuka. Banyak pundi-pundi rupiah yang dipertaruhkan. Gelap mata, lensa kuantitatif dengan fokus pertumbuhan ekonomi, bisa jadi yang diambil. Belum lagi jika ia dikawinkan dengan politik, tentu bisa jadi program unggulan dan ajang mendulang popularitas.
Untungnya, tidak demikian. Pemerintah daerah justru mengambil jalan tengah yang solutif. Bukannya mengutamakan kepentingan pabrik dan industri, pemerintah daerah justru mengakomodir kepentingan alami sapi-sapi ini. Lahan pabrik gula dan kebun tebunya harus dibagi dua, di tengah-tengahnya harus dibangun jalan setapak untuk mengakomodir sapi-sapi yang hendak pulang-pergi ke habitatnya. Padahal jika dipikir secara rasional, itu hanyalah sapi, dan lahan pabrik hanya menempati sebagian kecil dari ribuan hektar padang savana. Sapi-sapi tersebut memutar sedikit sebagai jalan pulang dan pergi tentunya bukan masalah. Namun tidak demikian, pemerintah daerah mengambil jalan yang berbeda.
Saya sejenak tertegun, ternyata masih ada pemerintah daerah yang memperhatikan aspek ekologi dalam pembangunannya, dan syukurnya itu terjadi di kampung halaman saya. Teringat berita-berita yang lalu di surat kabar, bagaimana gajah atau harimau yang turun gunung karena habitatnya tergeser oleh pemukiman manusia, terpaksa dibunuh. Demikian juga dengan orang utan di Kalimantan yang hangus terbakar karena pembukaan lahan. Berita yang heboh dan paling baru, seorang pemuda tewas tertelan di perut ular raksasa di Sulawesi. Bisa menjadi pertanyaan, siapakah yang sebelumnya menempati terlebih dahulu, ular-ular raksasa inikah atau manusia yang sebenarnya mengganggu habitat mereka?
Terkadang penting dalam perspektif ekologi tentang siapa yang lebih dahulu menempati dan siapa yang paling kuat. Sialnya, manusia sebagai pemuncak rantai makanan hampir selalu menjadi pemenang. Menciptakan kebijakan yang berpihak pada manusia dan lingkungannya menjadi tugas penting selanjutnya. Harmonisasi antara manusia, pembangunan, dan lingkungan, dapat menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan menjaga stabilitas sumber daya, ketersediaan makanan, dan keanekaragaman hayati di masa mendatang.
Pengalaman saya di kampung halaman kemarin setidaknya mengajarkan hal tersebut. Sapi-sapi ini dengan habitat dan siklus hidup alami mereka merupakan penghuni awal ruang hidup yang kini mulai dikembangkan. Mereka bukan hanya dipandang sebagai sekumpulan hewan dan bahan makanan, namun lebih dari itu, layak diperlakukan sebagai makhluk hidup. Mereka adalah cerita bagi generasi-generasi penerus di masa mendatang tentang cara hidup mereka, manfaat mereka, dan harmonisasi masyarakat dengan mereka dalam satu ruang hidup. Industrialiasi dan proses pembangunan yang datang bukan menggeser habitat dan siklus hidup alami mereka, namun harus disandingkan.
Dalam praktiknya mungkin terkadang akan berat sebelah, seperti yang saya alami di perjalanan pulang kemarin. Beberapa sapi sedikit kesulitan berjalan sebab pagar kebun tebu milik pabrik terlalu menjorok ke jalan raya. Mereka harus hati-hati berjalan, antara tertabrak kendaraan yang melintas atau tersangkut kawan pagar. Hal ini yang oleh ayah saya dikatakan akan dibenahi oleh pemerintah daerah. Namun terlepas dari bias berat sebelahnya, hal yang terpenting adalah memastikan selisih berat tersebut tidak terlalu jauh dan keseimbangan antara pembangunan dan lingkungan dapat terus terjaga.

Commenti