Happiness is Money (?)
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 4 min read
Beberapa hari lalu saya berkunjung ke kediaman kawan saya dan ia tampak murung kala saya tiba. Bertanyalah saya ada apa gerangan? Rupanya kawan saya ini bermuram durja sebab ia hendak ditinggal menikah oleh kekasihnya. Iya, kekasihnya yang sudah satu tahun dipacarinya secara jarak jauh Jawa Barat - Jawa Timur. Kenyataan pahit yang harus diterima adalah, pacarnya rela meninggalkan ia menikah karena ditikung oleh teman kantor pacarnya itu sendiri. FYI, pacarnya ini bekerja di salah satu bank swasta di bilangan Kota Apel sana, dan karena terkadang suka lembur dan pulang malam, datanglah pahlawan kesiangan ini sok memberi tumpangan. Singkat cerita, karena permintaan keluarga si perempuan, akan berlangsunglah pernikahan dua insan berbahagia ini, kecuali satu orang yang tentu saja tidak berbahagia, kawan saya.
Fakta lain yang lebih mengiris hati, lelaki yang hendak menikahi (mantan) pacar kawan saya ini jauh lebih “minus” dari kawan saya. Secara fisik, kawan saya bisalah unggul sedikit, apalagi dari segi materi. Ia saat ini bekerja sebagai staf di sebuah kantor konsultan lingkungan multinasional, dan sebagai pekerja di kantor konsultan multinasional, pendapatannya terbilang cukup besar, bisa lebih dua kali lipat gaji pegawai bank swasta di daerah. Kawan saya ini bahkan sudah berencana mau kredit rumah, namun urung dilakukan karena ia tak mau rumah tipe 36 khas kelas pekerja.
Berbicara soal si penikung, secara fisik menurut saya masih kalah dibanding kawan saya, apalagi soal materi dan latar belakang keluarga. Salah satu alasan (mantan) pacar kawan saya mau menikahi pria ini karena ia sudah memiliki rumah, yang setelah dikonfirmasi oleh kawan saya rumah yang seperti apa, ternyata rumah tipe 36, yang sebenarnya mampu dicicil oleh kawan saya namun ia urungkan. Makin hancurlah hatinya. Jika melihat dari sisi materi kembali, kawan saya ini terbilang sangat loyal pada (mantan) pacarnya. Mereka hobi jalan-jalan, setiap perempuan ini datang ke ibukota, selalu dilayaninya bahkan dibiayai akomodasinya oleh kawan saya. Jika ia dapat tugas lapangan ke daerah-daerah wisata di Indonesia, selalu ia sempatkan liburan bersama pacarnya, dan tentu saja, biaya dia yang tanggung. Kini, perempuan tersebut telah hilang, ditikung oleh seorang pria nun jauh di sana, yang dari segi fisik dan materi, kalah jauh dibanding kawan saya.
Kebahagiaan butuh uang, rasanya sulit untuk tidak mempercayai kalimat yang satu ini, apalagi jika tinggal di Jakarta, yang akrab dengan banalitas dan serba abu-abu, dimana hampir setiap aspek kehidupan bisa dikapitalisasi. Namun jika berkaca pada kasus kawan saya di atas, apa yang kurang? Dari segi pekerjaan dan materi, kawan saya jauh lebih mantap dibanding pegawai bank swasta di daerah, pun juga dari segi loyalitas pada materi. Berjuta-juta rupiah tak segan digelontorkannya agar (mantan) kekasihnya bahagia. Namun adakah semua itu mampu ”membeli” si perempuan dan kawan saya ini tersenyum bahagia? Tidak.
Saya jadi teringat masa-masa ketika saya masih mahasiwa, hobi jalan-jalan murah atau istilah kerennya, backpacker, dan naik gunung. Saat itu, lirik lagu Superman is Dead bahwa “kita muda dan berbahaya” mungkin cocok disematkan pada saya dan kawan-kawan saya. Tak punya uang, tak masalah, kita bisa hidup irit. Tabungan tipis? Peduli setan, yang penting jalan. Saat itu, uang bukanlah variabel utama yang menghalangi petualangan-petualangan kami. Bahkan dengan sombongnya, kadang kami berkata “money can’t buy our happines.”
Kini, saya mencoba merefleksikan kembali, adakah pernyataan tersebut benar? Jika dipikir-pikir, segalanya memang butuh uang, taruhlah hobi backpacker saya. Munafik jika mengatakan jalan-jalan tidak butuh uang, no, it absolutely needs money, the difference is just the amount of it. Bahkan untuk naik angkot dari depan gang kost-kostan saya dan naik bus ekonomi butut di Terminal Kampung Rambutan, semua butuh uang. That is the unfortunate fact, capitalist does exist, even in a very little aspect of our daily lives, as small as our payment for using angkot or ojek service. Naik angkot butuh uang, kita membayar jasa si supir yang telah dikapitalisasinya berdasarkan kualitas yang ia tawarkan (itulah mengapa tarif taksi Silver Bird jomplang dengan tarif angkot D11 jurusan Terminal Depok – Pasar PAL).
Kebahagiaan adalah uang, well, I am not going to fully agree with those words, but happiness needs money, yes, it is a more appropriate statement. As the capitalist does exist in every aspect of our lives, particularly in a such big-messy city like Jakarta, and our happiness even relies upon our small daily activities, yes, we need the money. Namun layaknya kaum agamis garis keras yang segampang itu mengkafir-kafirkan orang, pernyataan itu janganlah diterima secara kaffah. As the power tends to corroupt, also the money tends to make someone greedy.
Uang memang penting, tapi jangan sampai hal itu menutup mata kita akan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang sebenarnya tidak butuh pengeluaran materi dalam jumlah besar atau sama sekali. Pun juga sebaliknya, jangan sampai kita sok-sok idealis dengan mengatakan kita tidak butuh uang dan justru itu jadi justifikasi bagi kita untuk tidak mau bekerja keras mencari materi. Then how are you going to feed your pathetic life? Ah, saya jadi teringat cerita kawan saya yang juga telah menjelma menjadi kelas pekerja. Suatu malam kami berkumpul bersama di sebuah warung mie Aceh sederhana dan saya menegur ia yang baru pulang kerja, “sibuk amat bro, alhamdulillah dong rezeki lancar.” “Capek Van, terkadang uang bukan segalanya”, begitu balasnya.

Sumber gambar: http://dpegb9ebondhq.cloudfront.net/product_photos/32011314/Money_20Emoji_400w.png
Comments