top of page

Catatan Perjalanan: Tambora, Agungmu Rendahkan Diri Hamba

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 33 min read

Sobat, kali ini saya akan membagi catatan perjalanan saya pendakian ke Gunung Tambora. Bagi yang belum tahu, Gunung Tambora ini terletak di Pulau Sumbawa, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Tambora memiliki ketinggian 2.851 mdpl dan merupakan puncak tertinggi di Pulau Sumbawa. Konon sebelum meletus gunung ini memiliki ketinggian di atas empat ribu mdpl. Namun setelah meletus, setengah gunung ini habis terpangkas. Oh iya, letusan gunung Tambora ini merupakan salah satu yang terhebat dalam sejarah. Sobat bisa googling sendiri bagaimana dahsyatnya letusan Tambora dua abad silam ini.

Pendakian saya ke Tambora awalnya direncanakan berlima yang tergabung dalam satu tim. Adalah saya, Aga, Kak Yudia (kakaknya Aga), Dimas, dan Amir. Tim terdiri dari empat orang laki-laki dan satu orang perempuan. Namun di tengah perjalanan, kami ditemani oleh kerabat saya, Dae Tiran, Dae Limin, dan Dae Har. Mereka bertiga ini bisa dikatakan sebagai guide kami dan kebetulan juga sama-sama hendak mendaki Tambora. Tiga orang ini rencananya akan memandu rombongan turis asing dari berbagai negara keesokan harinya.


Persiapan pendakian


Pendakian dilakukan pada tanggal 09 – 11 April 2015, bertepatan dengan event Tambora Menyaapa Dunia. Namun karena letak Desa Pancasila, desa terakhir sebelum naik ke Tambora, cukup jauh dari Kabupaten Dompu, akhirnya kami berlima memutuskan berangkat ke Pancasila sejak tanggal 08 sore. Kami berlima meluncur menggunakan mobil ke Pancasila dan tiba sekitar pukul 21.00 WIB. Sebelum tiba di Pancasila, kami berlima menyempatkan singgah terlebih dahulu di Padang Savana Doro Ncanga yang luar biasa indah.

Sepucuk senja di Doro Ncanga.


Tiba di Desa Pancasila, kami sudah ditunggu oleh Dae Tiran, Dae Limin, dan Dae Har. Mereka bertanya kami hendak bermalam dimana. Kami akhirnya menjelaskan bahwa malam itu kami rencananya bermalam di Kampung Timur, kampung yang berada di Kabupaten Bima. Untuk sobat semua ketahui di sini, Gunung Tambora sebenarnya berada di dua Kabupaten, yaitu Dompu dan Bima. Kaki gunung Tambora dimana pendakian dimulai berada di Kabupaten Dompu. Namun jalur pendakiannya sebagian berada di wilayah Kabupaten Bima. Tetapi puncak Tambora, kawah dan kalderanya yang terkenal itu, kembali masuk ke wilayah Kabupaten Dompu. Hal ini yang kadang masih jadi perdebatan dan sengketa antar dua kabupaten ini. Skip.. skip..


Kampung Timur ini sendiri berada di jalur pendakian Gunung Tambora, sekitar dua ratus meter dari portal pendakian. Para pendaki biasanya harus melewati portal terlebih dahulu sebelum langsung masuk ke kawasan Gunung Tambora. Para pendaki yang hendak naik Tambora, umumnya akan bermalam di Pancasila sebelum melakukan pendakian. Saya dan kawan-kawan berpikir lebih baik malam ini kami habisi saja sampai Kampung Timur, jadi setelah sampai di sana, bisa langsung istirahat dan perjalanan naik besok bisa sedikit dihemat. Selain itu, di Kampung Timur sendiri ada kawan kami yang menuggu dan sebagian peralatan mendaki kami ada di sana. Setelah berdiskusi panjang lebar, akhirnya kami berlima ditemani tiga orang guide kami menuju Kampung Timur. Kampung Timur ini lumayan jauh, jika berjalan kaki sekitar dua jam dengan melewati jalan tanah, kebun kopi, dan perkampungan penduduk. Kebetulan Dae Limin dan Dae Har membawa sepeda motor. Akhirnya diputuskan kami berlima bergantian diangkut ke Kampung Timur dengan menggunakan sepeda motor. Yang pertama berangkat adalah Aga dan Kak Yudia, sisanya berjalan kaki dulu sementara. Perjalanan malam itu lumayan melelahkan, maklum carrier 100 liter saya belum di-packing ulang, bebannya masih menumpuk semua di bawah. Setengah jam berjalan kaki, kami beristirahat sebentar di sebuah pos ronda di perkampungan penduduk.

Perjalanan malam itu juga lumayan mencekam, selain karena tidak ada pendaki yang naik Tambora pada malam hari, banyak sekali anjing milik penduduk yang menggonggongi kami. Sepanjang jalan anjing-anjing ini terus menggongg, saya sendiri sempat takut juga hehe.. Tapi Dae Tiran menjelaskan bahwa anjing-anjing ini tidak akan menggigit selama kami tidak masuk ke kebun kopi atau area rumah penduduk.

Ketika beristirahat, Dae Limin dan Dae Har sudah kembali mengantar Aga dan Kak Yudia. Lumayan juga, naik motor saja sekitar 45 menit, bagaimana kalau jalan kaki. Akhirnya giliran saya dan Dimas yang diangkut. Dae Tiran dan Amir menunggu giliran di pos ronda. Singkat cerita, malam itu kami berenam plus Dae Tiran berhasil diangkut bergantian sampai ke Kampung Timur.

Tiba di Kampung Timur, tujuan kami adalah rumah Pak Sneh, ketua RT di kampung itu. Kawan kami, Kak Aidel, sudah menunggu di sini. Kak Aidel ini adalah mahasiswa lulusan IPB yang ikut Gerakan Indonesia Mengajar. Ia merupakan kawan Kak Yudia dan selama ikut Indonesia Mengajar ia ditampung di rumah Pak Sneh. Di rumah Pak Sneh inilah kami bermalam. Setelah basa-basi dan santap malam, kami memutuskan beristirahat. Tiga orang guide kami turu kembali ke Pancasila, kami rencananya akan bertemu di portal atau Pos 1 pendakian saja besok.

Hari pertama, 09 April 2015

Hari pertama pendakian, kami bangun kesiangan. Pendakian direncanakan dilakukan sejak pukul 06.00 WITA. Namun karena kelelahan dan tidur yang pulas, kami justru baru bangun pukul 06.00 WITA. Segera kami packing, sarapan, dan mempersiapkan segala sesuatu menjelang pendakian.

Pukul 07.30 WITA, kami sudah siap berangkat. Kami berlima dengan diantar Kak Aidel berangkat ke portal, sekitar 200 meter dari rumah Pak Sneh. Portal yang saya pikir adalah semacam gapura atau jalan masuk yang terdapa palang pintunya. Namun dugaan saya meleset. Portal yang dimaksud hanyalah pos ronda kecil dengan percabangan tiga di depannya. Percabangan yang satu mengarah ke arah gunung Tambora, yang merupakan jalur pendakian. Satu mengarah ke Pancasila, dan satu mengarah ke Kampung Timur, tempat kami datang.

Jadi sebenarnya jalur pendakian dari Pancasila ini ada dua, yaitu melewati Kampung Timur, dan tidak melewati Kampung Timur. Jalur yang lazim digunakan adalah yang tidak melewati Kampung Timur karena jaraknya lebih pendek. Kami semalam menggunakan jalur yang melewati Kampung Timur karena memang tujuan kami adalah menginap di Kampung Timur. Namun tetap saja, kedua jalur itu tembusnya tetaplah di portal. Portal ini adalah titik pertama pendakian yang sebernarnya. Para pendaki umumnya menuju portal menggunakan ojek dari Pancasila, sebab kalau berjalan lumayan jauh. Namun bagi mereka yang kuat dan tidak punya uang lebih, akan lebih memilih berjalan kaki.


Berpose di depan portal sebelum memulai perjalanan.


Sekitar pukul 08.00, resmi pendakian kami berlima dimulai. Vegetasi awal adalah padang ilalang yang lumayan lebat. Namun itu tidak lama, sebab sekitar tiga puluh menit berjalan kaki vegetasinya sudah berubah menjadi hutan hujan tropis yang lebat. Sedikit sekali sinar matahari yang masuk, menjadikan perjalanan kami cukup adem dan tidak terlalu melelahkan.

Beginilah medan-medan awal pendakian Gunung Tambora. Foto diambil dari album foto di facebook Alvi Zarkasya Fajri

Medan awal dari portal menuju ke Pos 1 masihlah berupa hutan hujan tropis yang rimbun dan landai. Namun inilah tantangannya. Sebab mendaki gunung itu ada dua, kalau curam dan tanjakan, berarti treknya pendek namun harus ekstra hati-hati karena kita akan berjalan momotong gunung. Sementara kalau landai, berarti treknya panjang dan cukup menguras tenaga berjalan kaki. Sebab trek yang landai menandakan kita berjalan memutari gunung tersebut, tidak langsung memotong. Karena treknya landai, berarti perjalanan akan lumayan jauh.


Kami berjalan dengan formasi berbaris. Dimas sebagai navigator di depan (ia memegang GPS soalnya), Kak Yudia kedua, Aga ketiga, Amir keempat, dan saya sebagai sweeper paling belakang. Setelah cukup lama berjalan, kami memutuskan beristirahat. Bekal air minum dibuka dan tidak lupa kami sempatkan untuk berfoto hehe..


Capek sob..


Oh iya, pendakian pagi itu sangat sepi. Hampir satu jam berjalan kaki, hanya kami berlima sepanjang jalan. Hanya suara burung sesekali terdengar dan tidak kami jumpai pendaki lain. Kami bahkan awalnya sempat bingung ketika hendak memasuki vegetasi hutan hujan tropis, sebab di ujung trek ilalang, terdapat percabangan dua. Satu mengarah ke hutan hujan tropis dengan jalur yang landai, sementara satu mengarah ke tengah padang ilalang dengan jalur memotong. Setelah berdiskusi dan memperhatikan jejak-jejak sepatu sepanjang jalur, kami akhirnya memilih jalur yang mengarah ke hutan hujan tropis.


Sepertinya jalur yang kami pilih tidak salah, sebab beberapa meter berjalan, kami sudah menemukan sampah bungkusan permen dan makanan di pinggir jalur. Ini menandakan jalur yang benar dan ada manusia yang lewat sini. Yah walaupun bagaimana pun, membuang sampah di jalur pendakian adalah sesuatu yang teramat salah.

Setelah beristirahat, perjalanan dilanjutkan. Jalur dari portal ke Pos 1 ini adalah yang paling panjang dari keseluruhan jalur antar pos. Belum lagi, beberapa kali kami harus menunduk atau melompat karena ada beberapa pohon tumbang sepanjang jalur. Hal ini cukup menguras tenaga. Ketika berjalan, kami sayup-sayup mendengar suara orang di belakang, dan tidak berapa lama.. itu adalah Dae Har dan Dae Limin. Haha ternyata kami bertemu di jalur menuju Pos 1. Tak berapa lama, Dae Tiran juga muncul di belakang kami. Akhirnya kami berjalan berenam, saya dan rombongan saya ditambah Dae Tiran. Sementara Dae Limin dan Dae Har, mereka sudah jalan duluan di depan.

Sekitar pukul 10.00 WITA kami tiba di Pos 1. Di Pos 1 ini terdapat sumber air yang besar. Kami segera mengisi botol-botol kami dan buang air kecil. Kami beristirahat cukup lama di Pos 1, karena berencana mendaki bersama-sama dengan rombongan Dae Tiran. Namun ketika di Pos 1 ini saya mendapat kabar bahwa ternyata bule-bule itu tidak jadi naiki lewat Pancasila, mereka ternyata memilih naik lewat jalur Doro Ncanga dengan menggunakan jeep.

Para guide kami pun akhirnya batal menemani bule-bule itu, karena memang beda jalur. Mereka bertiga akhirnya memilih mendaki bersama kami. Porter-porter yang disewa oleh guide kami terpaksa harus disuruh turun kembali. Logistik milik bule-bule tersebut akhirnya sebagian dibawa turun kembali oleh porter, dan sebagian diambil oleh guide kami untuk bekal kami di perjalanan nanti. Untunglah uang pembayaran sudah dilakukan di muka, kalaun tidak bisa rugi mereka. Apalagi para porter, bisa ngamuk mereka. Sudah naik, malah disuruh turun lagi tanpa bayaran.  


Packing-packing dan berfoto dulu di Pos 1

Pukul 11.30, setelah cukup lama beristirahat dan mengatur ulang logistik, kami meninggalkan Pos 1. Jalur dari Pos 1 ke Pos 2 masih berupa hutan hujan tropis yang rapat. Kami berjalan sekitar dua jam sebab beberapa kali harus istirahat. Sepanjang jalur menuju Pos 2 ini pohon tumbang semakin banyak, ada sekitar tiga atau empat saya rasa. Hal ini yang terkadang merepotkan, sebab akan sangat susah menunduk atau melompat dengan carrier 100 liter di punggung. Medannya juga sudah tidak terlalu landai lagi, namun sesekali mulai menanjak.

Pukul 13.30, kami tiba di Pos 2. Di sini saya rencananya tidak mau beristirahat lama, maunya langsung lanjut Pos 3 biar bisa langsung nge-camp. Namun oleh Dae Tiran, kami disarankan istirahat cukup lama dan makan dulu di sini sebab medan selanjutnya cukup berat, terus menanjak. Saya awalnya agak meremahkan, karena menurut saya tidak apa-apa menanjak, yang penting segera sampai Pos 3. Namun setelah desakan dari guide-guide kami, akhirnya kami pun sepakat untuk istirahat cukup lama dan makan dulu di sini.

Sebenarnya agak mager juga saya mau masak, sebab kompor, nesting, dan bahan makanan sudah dipacking dan rencananya akan sekalian saja dobongkar di Pos 3. Namun oleh guide kami, kami dipaksa untuk makan dulu. Akhirnya karena tidak enak, saya pun membongkar carrier, mengeluarkan kompor, nesting, indomie, dan telur untuk masak. Di satu sisi, tidak enak juga saya apabila tidak masak. Dae Tiran dkk sudah mulai masak soalnya, dan saya tahu pasti mereka akan membagi makanannya ke kami. Tidak mungkin kami tidak melakukan hal yang sama. Akhirnya sesi di Pos 2 diisi dengan masak-masa cantik ala kami haha..

Mangan sek! Oh iya, di Pos 2 ini juga ada sumber air dari sungai dekat Pos. Beberapa pendaki malah ada yang mandi atau membersihkan diri dan alat makan di sungai ini. Setelah masakan jadi, akhirnya makanlah kami semua di situ dengan lauk nasi, sarden, indomie, dan telur. Alhamdulillah, ternyata asyik juga makan beramai-ramai begini walau awalnya agak mager. Sudah lama saya merindukan suasana makan bareng di gunung seperti ini.

Setelah makan, cuci peralatan makan, dan packing, kami melanjutkan perjalanan kembali. Sekitar pukul 14.00 WITA kalau tidak salah. Ternyata, benar saja, akhirnya kini saya tahu mengapa Dae Tiran dan Dae Limin mewanti-wanti kami untuk makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Medannya.. :” Baru saja lewat Pos 2, kami harus mendaki pinggir bukit dengan jurang di sebelah kanan dan jalan yang teruuuuss menanjak tiada henti :” wah bisa pingsan mungkin kami kalau tidak makan dulu. Jalurnya benar-benar top, sepanjang jalan terus naik dengan tanjakan yang cukup curam. Dae Tiran menjelaskan bahwa medannya akan terus seperti ini sampai mendekati Pos 3. Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 ini adalah salah satu yang terberat menurut saya. Kami sesekali harus beristirahat di sini, sebab hanya orang dengan stamina kuda dan otot kaki dari kawat saja saya rasa yang kuat terus naik tanpa istirahat. Belum lagi ditambah dengan carrier-carrier kami yang berat. Saya bertukar carrier dengan Dimas di sini sebab milik Dimas lebih ringan, 60 liter, dan jalan terus menanjak. Saya sudah lumayan lama menggendong Bogaboo 100 liter berisi tenda ini, di sisa perjalanan menuju Pos 3 giliran Dimas yang menggendongnya. Lagipula, dia adalah anggota tim yang badannya paling besar hehe.. Aga juga demikian, ia bertukar carrier dengan Amir. Carrier Aga ini yang paling berat sebab beratnya belasan kilogram dan isinya tenda. Punya Amir adalah yang paling ringan, ia hanya membawa ukuran 25 liter dan hanya berisi perlengkapan pribadinya saja -__- sementara Kak Yudia, carriernya sudah digendong oleh Dae Limin sejak dari perjalanan menuju Pos 2 tadi.

Setelah bertukar carrier, perjalanan saya rasanya mulai sedikit enteng hehe.. Saya sekarang paling depan, bertukar posisi dengan Dimas. Oh iya, Amir di sini rupanya tidak kuat. Ia kepayahan membawa carrier 85 liter berisi tenda milik Aga. Tak sampai setengah jam menggendong Rei Krakatau itu, ia memilih bertukar carrier dengan Dae Har. Ia sendiri tak habis pikir, bagaimana bisa Aga kuat membawa carrier belasan kilogram ini semenjak dari Kampung Timur? Pantas saja sepanjang jalan ia melihat Aga berjalan seperti orang sempoyongan dan mau jatuh, sebab memang carriernya berat sekali. Akhirnya kini carrier Aga dibawa oleh Dae Har dan Amir membawa milik Dae Har. Inilah esensi naik gunung, saling berbagi dan membagi penderitaan haha..

Setelah tiga jam melalui jalur yang terus menanjak dan menghabiskan tenaga tersebut, kami akhirnya tiba di Pos 3. Menjelang Pos 3, sesekali kami mendengar suara pendaki yang bersorak bahagia. “Gue sudah mendengar suara-suara kemenangan..” ucap Dimas di sisa-sisa tenaganya. Jelas saja, siapa yang tidak bersorak bahagia kala menjumpai peristirahatan dan bisa segara berbaring di tenda setelah melalui medan yang “top” seperti barusan. Vegetasi menjelang Pos 3 ditandai oleh beberapa ilalang. Akhirnya sekitar pukul 17.00 WITA kami sudah sampai di Pos 3.


Sampai juga di Pos 3 bro!! Orang di pojok kanan, berkaos putih dan banyak batu akiknya itu adalah Dae Har. hehe.. Masalah muncul di Pos 3, sebab tempat untuk mendirikan tenda sudah full. Banyak sekali ternyata pendaki yang nge-camp di sini. Akhirnya setelah berdiskusi, kami pun memilih mendirikan tenda di dekat jalur mengambil air minum, dengan lahan yang sangat sempit dan mengenaskan. Dae Tiran dkk membuka lahan buat kami dengan meggunakan golok. Saya dkk pun segera mendirikan tenda ketika lahan sudah ada.


Suasana Pos 3 yang ramai Kami mendirikan dua tenda, satu yang berkapasitas empat orang dan satu yang berkapasitas dua orang. Tenda kapasitas empat orang ini yang paling mengenaskan, sebab di bawahnya, tepat di tengah-tengah tenda, ada akar pohon yang menjulang cukup tajam tinggi sehingga tidak bisa ditiduri. Dimas yang kebagian tempat tidur di tengah terpaksa terkadang harus menepi ke sisi saya atau Amir. Tenda ini kami isi bertiga, sementara Aga dan kakaknya di tenda kapasitas dua orang. Dae Tiran, Dae Har, dan Dae Limin sendiri mereka mendirikan tenda yang menutupi setengah jalur pendakian. Yah, namanya juga seadanya, pendaki yang lewa mau tak mau harus toleransi hehe..


Hal menyedihkan lain dari tenda kami adalah tenda kami berada tepat di depan jalan masuk menuju tempat orang mengambil air. Beberapa pendaki yang hendak mengambil air terkadang tak sengaja kesandung kaki tali-temali tenda kami. Alhasil kami harus kembali merapikan tali atau pasak yang lepas. Namun inilah keindahan mendaki gunung, tidak ada satu pun yang komplain, baik kami atau pendaki yang jalannya terganggu. Kami justru saling meminta maaf dan memahami situasi yang ada.

Setelah tenda sudah jadi dan barang-barang sudah diatur, saatnya.. masak-masak! Saat itu sudah gelap, kami mulai memasak makan malam. Lauk kami malan itu adalah.. rendang! Ya, rendang, makanan mewah untuk ukuran di gunung ahaha.. Sebagai pelengkap adalah abon ikan yang tak kalah enaknya :”) Malam itu kami makan alhamdulillah cukup enak setelah hampir seharian berjalan kaki. Bahkan di Dimas sampai nambah dua kali. “Asli, baru kali ini gue makan rendang di gunung Van. Mantap!”, begitu ujarnya haha.. Selesai makan tentu tidur adalah agenda kami selanjutnya. Sudah lelah badan saya hari itu..


Masak lagi buat makan malam

Hari kedua, 10 April 2015

Hari kedua, saya bangun sekitar pukul 06.00 WITA. Pendakian hari kedua ini bisa dikatakan sebagai waktu kosong, sebab kami tidak memiliki agenda hari ini kecuali istirahat. Jadwal summit kami adalah nanti malam, pukul 23.00 WITA. Alhasil, seharian kami habiskan berbaring di tenda, masak, atau mengambil air. Hal ini dikarenakan tidak banyak yang bisa dinikmati di Pos 3. Pos ini berada di tengah-tengah hutan dan tidak ada pemandangan yang cukup menarik untuk dilihat.

Umumnya, pendaki Tambora akan langsung summit di malam hari pertama, turun kembali ke camp di Pos 3 di hari kedua, dan turun ke Pancasila di dari ketiga. Namun saya dan tim tidak demikian, karena kondisi kami yang memang sudah sangat lelah. Kami memilih istirahat di malam pertama dan hari kedua, summit di malam kedua, lalu kembali ke camp dilanjutkan turun sampai Pancasila di hari ketiga. Jadi hari kedua adalah istirahat total, dan hari ketiga adalah hari penghabisan buat turun.

Kami hari itu membagi-bagi tugas. Saya mengambil air, Amir mencuci alat masak, Aga, Dimas, dan Kak Yudia masak-masak. Jarak mengambil air dari Pos 3 lumayan jauh dengan jalan berupa turunan yang lumayan licin dan curam. Sekitar satu jam saya bolak-balik mengambil air. Setelah menngambil air, saatnya masak-masak dan makan! Untuk sarapan, kami menyantap indomie, nasi, dan telur bebek. Energen, teh, dan kopi merupakan pelengkap. Setelah sarapan, kami kebanyakan berfoto-foto di sekitar camp, berjalan-jalan, atau rebahan di tenda. Oh iya, hari kedua ini, Dae Limin turun ke bawah, ia tidak ikut summit. Hal ini dikarenakan keesokan harinya ia harus naik lagi untuk menemani iparnya mendaki Tambora. Baru tau, sudah mau naik lagi besak, kuat sekali orang ini. Akhirnya guide kami hanya tersisa dua, yaitu Dae Tiran dan Dae Har.


Inilah kondisi kami dan tenda kami di hari kedua. Siang menjelang sore, kami makan lagi! Hehe.. Lauk kami sore itu adalah ayam goreng dan empal! Hehe.. enak-enak bukan? Ya, dan itu juga sepadan dengan beban yang harus dibawa. Agaknya kini saya paham kenapa carrier saya beratnya tidak karuan. Sebab selain berisi tenda, isinya juga beras dan beberapa tupperware berisi lauk -__- Thanks to my mom :”

Makan lagi sob! Orang berbaju biru itu adalah Dae Tiran.

Setelah makan sore, kami memutuskan rebahan di tenda untuk mempersiapkan summit nanti malam. Ketika saya, Amir, dan Dimas tengah asyik rebahan di tenda, tiba-tiba suara gaduh dari Dae Har muncul di luar. “Amir.. Amir..! Lihat sini, sudah kalah kamu sama kakakmu sekarang!!”, Dae Har terdengar berteriak bersemangat dengan Bahasa Bima. Ia sudah ada di bibir tenda kami. Kami pun keluar untuk melihat ada apa gerangan.


Oalah.. pantas saja orang ini berteriak riang, rupanya dia habis selfie dengan Bang Dion Wiyoko, presenter My Trip My Adventure itu. Rupanya sore itu Dion baru turun dari puncak, ia berjalan sendiri dan menggunakan kacamata serta buff. Dae Har yang tendanya di pinggir jalur, menyadari itu Dion dan memintanya selfie bareng. Beruntung Dion mau, dan jadilah orang ini selfie dengan Dion dan berakhir histeris di depan tenda kami seraya membanggakan fotonya. Kami hanya tertawa. Kami sendiri tahu bahwa hari itu tim dari MTMA memang naik ke puncak dan turun ke kawah untuk syuting. Bahkan camp mereka tidak jauh dari camp kami, dengan porter-porter yang membawa genset lampu penerangan. Ayah Dae Tiran sendiri merupakan guide tim MTMA selama di Tambora. Skip.. skip.. Setelah cukup mendengar ocehan jumawa dari Dae Har, kami kembali masuk ke tenda dan beristirahat. Sekitar pukul 22.00 WITA kami sudah bangun dan mulai mempersiapkan perlengkapan summit. Setelah perlengkapan siap, kami segera keluar untuk masak. Malam itu kami kembali makan rendang dan abon ikan hehe.. Setelah makan, persiapan selesai, sekitar pukul 23.00 WITA, kami bersiap untuk summit. Perjalanan summit dimulai. Perjalanan ini tidak terlalu berat karena beban semua ditinggalkan di tenda kecuali satu carrier berisi air minum dan jas hujan yang saya bawa. Dterangi oleh cahaya headlamp, kami mulai menyusuri hutan Gunung Tambora menuju Pos 4. Perjalanan terasa cepat, pukul 00.00 WITA kami sudah sampai dan beristirahat di Pos 4.

Hari ketiga, 11 April 2015

Belum banyak pendaki yang summit jam segitu, kebanyakan memilih summit pukul 00.00 atau lebih pagi lagi sekitar pukul 01.00 / 02.00. Kami sendiri memilih summit pukul tersebut karena ingin jalan lebih santai dan bisa istirahat di Cemara Kandang saja nanti. Biasanya, pendaki yang summit juga tidak melalui Pos 3, namun melalui Pos 5. Jadi mereka nge-camp di Pos 5, dan summit dari sana. Tapi kami tidak demikian, karena repot lagi bongkar-bongkar tenda dan pindah ke Pos 5 sementara memaksakan diri dari bawah sampai Pos 5 tentu kami tidak sanggup. Sampai Pos 3 saja lelahnya sudah seperti itu.

Setelah beristirahat, kami lanjut ke Pos 5. Perjalanan juga terasa cepat di sini. Sekitar pukul 01.00 WITA kami sudah sampai di Pos 5. Pos 5 ini berbeda dengan Pos 4, sebab banyak pendaki yang ngecamp dan beristirahat di sini. Maklum pos ini adalah pos terakhir sebelum puncak, jadi lebih praktis mungkin untuk summit. Selain itu, Pos 4 sendiri juga tidak memiliki sumber air, jadi tidak ada pendaki yang mau nge-camp di sana. Kami beristirahat cukup lama di Pos 5, sebab Dae Tiran dan Dae Har turun dulu mengambil air dekat Pos 5. Kami menunggu sembari menikmati langit malam. Malam itu Milky Way di Tambora terlihat jelas, bulan juga bersinar terang, pertanda cuaca cerah. Aga mengeluarkan kamera SLR nya dan mulai mengabadikan momen. Ah, sayang kamera hp saya tak mampu menangkap pemandangan indah langit malam itu..


Istirahat dulu di Pos 5 Cuaca Tambora sendiri menurut saya tidak terlalu dingin. Tidak se-ekstrem gunung-gunung lain yang pernah saya daki. Bahkan di Pos 5 ini banyak pendaki yang tidur di luar tenda, beralas terpal, dan hanya berselimut sweeter atau sarung. Saya, Dimas, dan Amir bahkan tidur tidak memakai sleeping bag di tenda tadi. Ketika di Pos 4, kami bahkan bertemu rombongan pendaki yang tampaknya anak SMP atau SMA yang hanya me memakai pakaian seadanya. Celana pendek, sepatu kets, sweeter, dan sarung. Tidak ada yang memakai jaket gunung atau sarung tangan haha..

Selesai mengambil air, Dae Tiran dan Dae Har kembali memimpin perjalanan. Dari Pos 5 menuju puncak sendiri ada dua jalur, yaitu jalur bukit dan jalur kuburan. Jalur kuburan katanya lebih pendek, namum Dae Tiran memilih menggnakan jalur bukit. Sama saja menurut Dae Tiran. Ia sendiri baru sekali lewat jalur kuburan dan menurutnya jalur bukit lebih menarik.

Akhirnya berangkatlah kami melalui jalur bukit. Jalur bukit ini kurang lebih sama seperti savana di Merbabu, yaitu berjalan memutari beberapa bukit sebelum akhirnya sampai ke puncak. Cukup melelahkan, sebab jalannya terus menanjak. Untung tidak bawa carrier. Kami sesekali beristirahat dan menyantap bekal. Ketika melewati jalur bukit ini, sudah mulai ramai pendaki yang naik. Terlihat jejeran lampu senter di bawah dan sesekali kami saling mendahului dengan pendaki lain.

Setelah berjalan cukup lama, kami akhirnya tiba di Cemara Kandang. Cemara Kandang merupakan pintu masuk ke daerah kaldera dan puncak Tambora. Saat itu sekitar pukul 03.30 WITA, kami memilih beristirahat dulu sejenak sebelum lanjut ke puncak. Dae Tiran membuatkan api unggun di sini, tak lupa kami juga berfoto dan mengeluarkan bekal. Suasana malam yang dingin terasa hangat dengan adanya api unggun. Kehangatan itu semakin terasa dengan canda tawa dari Dae Har dan Amir serta pemandangan langit malam yang luar biasa indah..


Api sumber kehidupan

Saat berada di Cemara Kandang ini, sudah mulai banyak pendaki yang akan summit. Dari jalur bukit sudah banyak, demikian juga dari jalur kuburan sudah terlihat jejeran senter para pendaki. Pukul 04.00 WITA, kami mematikan api, melanjutkan kembali perjalanan menuju kaldera lalu ke puncak. Medan yang dilalui pasca Cemara Kandang ini mulai berbatu dan berpasir, khas gunung api menjelang puncak. Jalan terus berupa tanjakan dan terkadang turunan yang cukup curam. Tak jarang kami harus mengantri dengan pendaki lain untuk menuruni jurang-jurang kecil di pinggi kawah Tambora.

Sekitar pukul 05.00, kami sudah sampai di bibir kaldera. Namun karena suasana yang masih gelap, kawah Tambora masih belum terlihat. Hanya jalanan luas berpasir dan berbatu yang terbentang di hadapan kami. Perjalanan terus kami lanjutkan menuju puncak yang terletak sekitar seratus meter di hadapan kami. Dari bibir kaldera menuju puncak ini, kami harus harus turun naik jurang-jurang kecil dulu sebelum sampai ke puncak. Oh ya, menjelang puncak ini, barisan saya dan kawan-kawan mulai kocar-kacir. Kami sudah berbaur dengan barisan-barisan pendaki lain yang juga menuju puncak Tambora. Dae Tiran dan Dae Har sudah paling depan duluan, demikian juga Dimas. Saya dan Amir di tengah-tengah, berusaha menyesuaikan dengan Aga dan Kak Yudia di belakang.

Sekitar pukul 05.30, kami sudah hampir sampai Puncak Tambora. Sudah mulai lelah berjalan kaki dari jam sebelas malam. Namun rasa lelah itu tiba-tiba sirna kala dari ufuk timur perlahan gurat-gurat oranye keluar dan membentuk garis tipis di langit yang biru. Sebentar lagi sunrise! Saya menyemangati Amir yang juga mulai kelelahan. Kami kembali memaksakan langkah menuju puncak yang sudah di depan mata. Demikian juga dengan Kak Yudia dan Aga di belakang.

Inilah dia penyemangat langkah pagi itu..

Sekitar pukul 06.00, alhamdulillah, PUNCAK TAMBORA!! Subhanallah, rasa syukur tiada batas saya curahkan ketika sampai di sini. Akhirnya saya berhasil menggapai tanah tertinggi di tanah dan pulau kelahiran sendiri :”) Rasa senang, haru, dan bangga bercampur menjadi satu. Amir bahkan langsung sujud syukur ketika sampai di puncak. Dimas sudah duluan ternyata, ketika kami tiba, dia sudah asyik berdiri di bebatuan dekat puncak sembari mengabadikan momen melalui kamera digitalnya. Aga dan Kak Yudia juga baru tiba di belakang. Dae Tiran dan Dae Har sendiri sudah berada pinggir papan tanda puncak.

Amir langsung sujud syukur. Ini adalah pendakian pertama baginya. Alhamdulillah sudah diperawani ya haha..

Waktu di puncak tentu saja digunakan untuk menghayati keindahan alam dan rasa syukur kepada sang pencipta. Tak lupa kami saling mengabadikan momen masing-masing di sini. Puncak Tambora pagi itu cukup ramai, para pendaki harus mengantri untuk berfoto sambil memegang papan petunjuk puncak di Gunung Tambora. Kami sendiri masih enggan ke sana, kami lebih suka menikmati dulu suasana puncak dan kaldera Tambora yang mulai terlihat jelas.


Golden sunrise of Mt. Tambora! Alhamdulillah..

Pemandangan puncak pagi itu..

Ketika sedang asyik befoto dan menikmati suasana pinggir puncak, Dae Tiran menghampiri kami. Katanya segeralah kami berfoto di puncak sambil memegang papan petunjuk, jangan ditunda-tunda. Akhirnya setelah berdiskusi, kami lalu mengantri untuk berfoto. Di sini susasana agak kacau, karena beberapa pendaki tidak ada yang mengantri dan asal rebut papan petunjuk. Kami berusaha sabar, dan akhirnya setelah cukup lama menunggu, kami semua dapat berfoto di puncak secara bergantian sembari memegang papan petunjuk. Namun sayang, tidak ada foto kami sekelompok sambil memegang papan petunjuk karena memang suasananya agak kacau. Antrian semakin panjang dan pendaki-pendaki saling berebut tanda petunjuk tersebut.


Foto di puncak yang susah payah didapat setelah mengantri dengan pendaki-pendaki lain


Selesai berfoto, saatnya turun. Sekitar pukul 07.00 WITA, kami memutuskan turun kembali ke Pos 3. Oh iya, dalam perjalanan turun ini, kami terpisah dari Dae Tiran dan Dae Har. Semenjak berfoto di puncak tadi, dua orang ini sudah tidak tampak lagi. Sudah turun duluan sepertinya. Dalam perjalanan, kami melewati bibir kaldera Tambora yang legendaris. Kaldera Tambora merupakan yang terluas di dunia, diameternya 7 km, dan dalamnya 1 km. Pagi itu cuaca cerah, bibir kaldera terlihat sangat sempurna dengan asap-asap dan awan yang tampak menyelimuti kawah. Ah, sayang sekali jika momen seperti ini tidak diabadikan. Akhinrya sembari berjalan turun, kami tidak lupa sesekali berhenti untuk berfoto.

Seperti inilah medan yang dilalui ketika menuju puncak Tambora.


Kaldera Tambora pagi itu

Kebersamaan kami di puncak dan kaldera

Sekitar pukul 07.30 WITA, kami sudah bersiap turun dari kawah. Jalan yang kami lalui sama seperti ketika naik, yaitu melalui Cemara Kandang, lalu barisan bukit. Ketika malam hari, jalur ini tidak kelihatan keindahannya karena gelap. Namun pagi ini, dapat saya lihat dengan jelas keindahan bukit dan lereng-lereng di pinggir jalur yang kami lalui. Akhirnya, lagi-lagi sembari berjalan kami tidak lupa untuk berfoto dulu hehe..

Pemandangan di bukit menjelang kaldera dan puncak. Ah sungguh damai..

Ketika mulai menuruni bukit, cuaca di puncak mulai berubah. Kabut mulai turun dan asap dari kawah mulai naik. Dari arah bukit tenpat kami berdiri, sekejap puncak yang awalnya jelas terlihat kini tidak tampak karena tertutup asap dan kabut. Namun di sini, ternyata masih tampak juga beberapa pendaki yang baru tiba. Mereka terlambat summit dan tetap bertekad sampai puncak. Waktu pagi itu padahal sudah menunjukkan sekitar pukul 09.00 WITA.

Perjalanan turun ini sama lelahnya dengan naik. Jika naik kami harus memaksa langkah, maka turun harus menahan langkah. Jalan yang cukup curam memaksa kami harus menahan langkah agar tidak terjatuh ke bawah. Inilah bagian beratnya, sebab otot paha dan dengkul harus bekerja ekstra, Demikian juga dengan jari-jari kaki yang harus terus ditekan ketika mengerem. Kondisi ini, memaksa kami sesekali beristirahat ketika menuruni bukit.

Saatnya turun kawan.. Capek, istirahat dulu. Baju sudah basah oleh keringat fiuh..

Sekitar pukul 09.30, kami sudah tiba di Pos 5. Di sini bekal air minum kami sudah habis, saya dan Amir akhirnya berinisiatif mengambil air di bawah Pos 5. Kami cukup lama mengambil air, karena jaraknya yang memang agak jauh dan tempat airnya yang berupa kubangan, bukan air mengalir. Jadi untuk mengambil air, kami harus membersihkan dulu permukaan airnya yang keruh dan mengambil bagian bawahnya yang lebih jernih. Saya dan Amir juga menyempatkan diri untuk bercuci muka dan merendam kaki sebentar di sini. Jempol kaki saya sudah nyut-nyutan rasanya akibat lelah mengerem. Segar sekali begitu kaki ini masuk ke air yang dingin.

Setelah beres mengisi air, saya dan Amir segera bergabung dengan Aga dkk di Pos 5. Sekitar pukul 10.00 WITA, kami berlima bersiap melanjutkan perjalanan menuju Pos 4 untuk selanjutnya kembali ke Pos 3. Dalam perjalanan turun ini, sudah banyak rombongan pendaki yang hendak turun ke Pancasila dari Pos 5. Kami berjalan beiringan dengan rombongan-rombongan ini.

Sekitar pukul 11.00 WITA, kamis sudah sampai di Pos 4. Ajabinya, di Pos 4 ini.. ada sinyal hp!! HAHA! Dimas menggunakan momen ini untuk mengabari ibunya di Jakarta. Tidak hanya untuk sms, namun juga sinyalnya bisa untuk.. Menelepon!! Amir juga demikian, ia mengabari keluarganya di rumah. Saya juga tidak ketinggalan meng-sms ayah saya hehe..

Kami di Pos 4 tidak terlalu lama, sekitar sepuluh menit. Dari Pos 4, perjalanan kami lanjutkan lagi menuju Pos 3. Fisik kami mulai habis terkuras di sini, belum lagi rasa lapar mulai menyerang. Maklum kami sudah berjalan sejak pukul 23.00 WITA semalam dan belum menyentuh makanan berat sejak semalam. Dalam perjalanan menuju Pos 3 ini, kami mulai membayangkan dan berceletuk semoga saya Dae Tiran dan Dae har yang sudah duluan sampai di Pos 3 telah memasakkan makanan untuk kami hehe..

Sekitar pukul 12.30, akhirnya perjalanan summit yang melalahkan berakhir sudah, kami tiba di Pos 3. Tampak Dae Tiran dan Dae Har tengah asyik duduk dekat tenda kami dan kelihatannya mereka sudah selesai packing. Sayangnya, harapan kami hanyalah harapan, Dae Tiran tidak memasak untuk kami hehe.. Hanya ada sedikit sisa nasi yang ia masak di nesting, itu akhirnya kami ambil. Rupanya Dae Tiran dan Dae Har ini harus buru-buru turun ke Pancasila, sebab mereka harus mengembalikan alat yang disewa sore ini. Mereka pun berpamitan duluan kepada kami berlima dan mengatakan ketemu saja nanti di portal. Kami pun mengiyakan dan resmilah perjalanan turun ini akan kami habiskan berlima.

Tiba di tenda, kami istirahat dulu beberapa menit, namun tidak boleh terlalu lama. Ini dikarenakan kami harus segera turun siang ini agar nanti malam sudah tiba di Pancasila. Setelah ganti baju dan istirahat sebentar, tugas pun dibagi. Saya bertugas mengambil air, Amir membersihkan alat makan, Aga, Dimas, dan Kak Yudia masak. Bergegas saya ambil air dan kembali harus berjalan lagi sekitar setengah jam.

Setelah mengambil air, saya bergabung kembali dengan kawan-kawan di tenda. Masakan belum jadi rupanya. Sembari menunggu nasi yang belum matang, kami berdiskusi hendak makan apa. Pasalnya, persediaan lauk dan beras kami masih sangat banyak sementara kami harus segera turun dan tidak mungkin membawa turun makanan-makanan itu, hanya bikin berat. Akhirnya siang itu kami putuskan makan nasi dari sisa nesting Dae Tiran, abon ikan, ayam gorang, dan empal.

Sisa ayam goreng dan empal yang masih cukup banyak kami goreng semua. Sebagian kami makan sebelum turun, sebagiannya lagi, atas inisiatif Kak Yudia, kami masukkan ke dalam tupperware bersama dengan sisa nasi sebagai bekal di perjalanan turun nanti. Akhirnya resmilah bekal kami saat itu adalah satu tupperware nasi, satu tupperware empal, dan satu tupperware ayam goreng. Yah, lumayan menghemat waktu di jalan nanti daripada kami harus berhenti di Pos 1 untuk masak dan membongkar carrier lagi. Lagipula, bekal itu penting sebab perjalanan pulang kami akan memakan waktu sekitar tujuh jam dan diperkirakan akan tiba di Pancasila pukul sepuluh malam. Jika tidak makan di jalan, bisa lemas kami nanti.

Masalah belum selesai di sini, karena ternyata sisa makanan kami masih cukup banyak ditambah ada tiga kaleng gas. Masih ada dua bungkus abon, dua bungkus sambal goreng teri, satu tupperware rendang, dan satu tupperware besar beras. Kami semua mulai bingung kembali di sini. Tidak mungkin kami jadikan bekal, terlalu banyak dan berat. Apalagi sisa beras dan gas itu itu. Akhirnya saya pun inisiatif membagikan bekal dan gas kami ke sesama pendaki. Dimas pun memiliki ide cemerlang, ia berencana barter makanan kami dengan rokok milik pendaki lain. Maklum, ia satu-satunya anggota kami yang merokok dan sepanjang jalan ia tidak bisa tidak merokok. Rokoknya habis dan tentu itu sangat menyiksanya haha..

Akhirnya rendang saya kasih ke tenda di sebelah kiri kami. Mereka pendaki asal Bima dan baru tiba sepertinya. Dengan senang hati mereka menerima rendang kami (iyalah, siapa yang tidak senang di gunung dapat rendang??). Sambal goreng dan abon saya berikan kepada tenda di sebelah kanan yang juga sedang masak. Rombongan dari Jakarta juga rupanya, dan mereka juga hendak turun. Dimas mendapat beberapa batang rokok dari hasil barter di sini, para pendaki tersebut tampak senang mendapat lauk dari kami. Beras satu tupperware dan tiga kaleng gas saya berikan kepada rombongan pendaki yang baru tiba, mereka dari Bima juga. Pemimpin rombongannya tampak senang mendapat bantuan amunisi dari kami. Mereka bahkan memberi satu bungkus rokok kepada Dimas haha..

Packing selesai, makanan sudah habis, saatnya turun! Namun sebelum turun, kami menyempatkan diri untuk berfoto dahulu. Maklum, semenjak tiba dua hari lalu, kami ternyata belum berfoto sebagai suatu tim di Pos 3. Ketika kami ingin minta tolong foto pada pendaki lain, rupanya rombongan pendaki dari Bima yang kami kasih beras dan gas tadi menawarkan diri berfoto bersama. Sebagai kenang-kenangan dengan pendaki dari UI katanya. Agak terharu saya di sini, bahkan feel itu datang kembali ketika saya menulis cerita ini :”) haha..

Alhasil foto rombongan yang rencananya berlima, berubah menjadi foto bareng-bareng sesama pendaki. Senang sekali rasanya, kami mendapat kawan baru di sini. Inilah rasa kebersamaan dan solidaritas yang hanya bisa didapat di gunung. Setelah berfoto bersama, kami berpamitan dengan rombongan pendaki-pendaki tersebut. Jabat tangan, ucapan hati-hati, dan doa semoga selamat menyertai perjalanan turun kami. Ya, tujuan pendakian yang sebenarnya dimulai dari sini, yaitu pulang kembali ke rumah dengan selamat. Sekitar pukul 15.00 WITA, langkah kami mulai meninggalkan Pos 3.


Berfoto dengan kawan-kawan pendaki lain sebelum turun

Oh ya, dalam perjalanan turun ini, kami ternyata bertemu Dae Limin di Pos 3 -__- kuat sekali orang ini, padahal kemarin baru turun, sekarang sudah Pos 3 aja.. Ia menyuruh kami berjalan duluan, nanti ia susul katanya di perjalanan menuju Pos 2. Akhirnya kami berlima kembali melanjutkan perjalanan. Medan menuju Pos 2 sama seperti kemarin. Jika kemarin kami naik tanjakan dari Pos 2 ke Pos 3, kali ini kami menuruni tanjakan curam tersebut. Sialnya turunun curam ini licik sekali, susah payah kami harus mengerem dan berpegangan pada dahan atau akar pohon di kiri-kanan kami. Jika bablas turun terus tidak ngerem, jatuhlah kami ke jurang di depan. Kembali, otot-otot paha, dengkul, dan jari-jemari kaki harus berkontraksi hebat menahan laju tubuh kami.


Ketika sibuk menuruni tanjakan, tiba-tiba di belakang sudah muncul Dae Limin. Ia menawarkan satu carrier kami untuk ia bawa sebab. Ia akan turun duluan sebab ia harus tiba di Pancasila sebelum pukul 18.00 WITA. Akhirnya, carrier Amir yang cukup ringan diberikan kepada Dae Limin dan carrier Kak Yudia dibawa oleh Amir. Dae Limin pun berlari meninggalkan kami. Tidak, saya tidak salah ketik, orang itu memang.. berlari!! Ia berlari menuruni tanjakan curam dan licin itu. Dari cerita-cerita Dae Tiran dan Dae Har, di antara mereka bertiga memang Dae Limin ini yang paling kuat. Ia biasa berlari menaiki Tambora, tidak pernah memakai celana panjang, dan hanya bermodal running shoes. Cepat sekali orang ini menghilang dari hadapan kami.

Baru lima menit Dae Limin meninggalkan kami, saya teringat sesuatu. Bukankah bekal kami ada di carrier si Amir? Jika Dae Limin tiba duluan di Pancasila dan kami tidak pas-pasan dengan dia, makan apa kami di tengah jalan nanti? Saya pun berhenti dan menanyakan ke anggota tim apakah makanan kita ada di carrier Amir. Dan.. Sontak saja, seluruh anggota tim akhirnya sadar ternyata memang benar bekal kami ada di carrier Amir yang dibawa Dae Limin. Saya akhirnya mencoba mengikhlaskan, biarkan saja, tidak mungkin kami mengejar Dae Limin yang sudah jauh di depan. Namun kawan saya, si Amir, rupanya tidak demikian. Ia merasa bersalah karena ia yang memberi carrier tersebut pada Dae Limin. Akhirnya si Amir ini.. ikut berlari mengejar Dae Limin! Saya dan yang lain sudah melarang, namun orang ini sudah keras kepala dan merasa bersalah duluan, ya sudah, hilanglah dia di hadapan kami, berlari membawa carrier 25 liter mengejar Dae Limin di depan.

Sisa perjalanan menuju Pos 2 kami habiskan berempat. Sekitar setengah jam berjalan, akhirnya kami menemukan Amir di depan. Dia tampak kelelahan dan mandi keringat. Jauh juga jarak Dae Limin dengan kami, padahal ia baru sekitar lima menit menghilang dari hadapan kami. Kini rombongan kami sudah lengkap. Tak berapa lama, sekitar pukul 16.30 WITA kami sudah tiba di Pos 2. Kami beristirahat dan mengisi air minum di sini. Saya berbincang-bincang dengan beberapa guide di Pos 2.

Pukul 17.00 WITA, perjalanan kami lanjutkan menuju Pos 1. Formasi tetap sama, Dimas di depan, Aga dan Kak Yudia di belakangnya, Amir, lalu saya paling belakang. Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 1 ini sekitar satu jam. Headlamp mulai dikeluarkan karena cuaca mulai gelap. Beberapa pohon melintang kembali menjadi tantangan, sama seperti perjalanan naik. Ada beberapa pendaki yang berjalan bareng kami menuju Pos 1, sama-sama hendak turun. Sekitar pukul 18.00 WITA, kami sudah tiba di Pos 1.

Tiba di Pos 1, hari sudah gelap. Bekal yang sempat hilang akhirnya dapat kami buka sekarang. Di bawah penerangan senter dan headlamp, serta serbuan nyamuk hutan yang ganas, kami berlima menyantap bekal dengan nikmat. Isi perut penting dalam perjalanan ini, sebab masih ada kira-kira tiga jam perjalanan lagi sebelum kami tiba di Pancasila. Selesai makan, saya dan Amir segera mencuci alat makan dan mengambil air. Setelah alat makan selesai dicuci dan botol air minum sudah penuh semua, perjalanan kami lanjutkan. Tentu saja, tak kuat kami lama-lama tidak bergerak, sebab cuaca mulai dingin dan baju kami basah oleh keringat. Jika tidak bergerak dan melakukan permbakaran dalam tubuh, bisa menggigil kami di Pos 1.

Pukul 19.00 WITA, kami melanjutkan perjalanan. Estimasi saya dan kawan-kawan, sekitar pukul 23.00 WITA kami sudah sampai di Pancasila. Oh iya, medan dari Pos 1 ke Pancasila berupa jalan berlumpur yang sangat licin. Berbeda sekali ketika kami naik, tanahnya kering. Namun sepertinya kemarin hujan mengguyur kaki gunung Tambora, sehingga jalanan begitu becek dan licin. Korban pertama adalah Aga, ia terpeleset dan jatuh di tengah jalan. Untung tidak apa-apa.

Baru berjalan beberapa menit, kami dihadapkan pada persimpangan. Saat itu kami bingung, hendak mengambil jalan sebelah kanan atau kiri. Sejujurnya kami tidak ingat jalan yang mana, sebab ketika naik, rasanya sama saja. Belum lagi kondisi saat itu sudah gelap gulita, tidak ada pendaki lain yang turun berbarengan atau pas-pasan dengan kami. Kami adalah rombongan terakhir yang turun dari Pos 1. Malam itu, di tengah-tengah hutan, hanya diterangi cahaya lampu senter, hanya kami berlima yang ada.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kami memilih jalan yang sebelah kiri. Sama saja pikir saya, toh kanan atau kiri pasti nanti tembus di satu titik, soalnya memang dua-duanya sudah ada jalurnya. Kami terus berjalan berlima di tengah kegelapan hutan dan jalanan yang super licin. Sial sekali jalan licin ini, langkah kami harus pelan-pelan, hati-hati, dan ditahan-tahan agar cengkeraman sepatu kami kuat. Maklum, salah pijakan sedikit, bisa terpeleset kami. Korban kedua dari jalanan licin ini adalah Amir. Ia terpeleset dan.. tangannya terkilir. Waduh, tampak ia meringis kesakitan. Namun mau bagaimana, langkah harus tetap diseret. Tidak mungkin kita berlama-lama di tengah hutan gelap seperti ini. Mana terkadang suara-suara binatang juga sesekali menambah suasanan yang cukup horror.

Kami terus berjalan dan jalanan ini sialnya tetap saja berlumpur dan licin. Tak jarang kami harus berjalan menepi, berpijak pada rumput-rumpu basah di pinggir jalur guna menghindari jalan yang licin. Setelah sekitar satu jam berjalan, kini ada lagi percabangan. Satu lurus terus sepanjang jalur yang kami lewati, satu lagi belok kiri, masuk ke dalam hutan dan tidak tahu mengarah kemana. Kami lagi-lagi berdiskusi, harus lewat mana. Setelah berdiskusi, kami memutuskan lurus terus mengikuti jalur yang kami lewati. Hal ini berdasarkan pertimbangan adanya jejak sampah dan sepatu di jalur yang kami lewati di depan.

Baru berjalan beberapa langkah, sialnya saya terpeleset dan terjatuh. Headlamp yang saya genggam hancur berkpeing-keping. Waduh. Saya mencoba bangkit dan merangkai kembali headlamp yang ada sekenanya, yang penting lampunya bisa nyala. Untung saya tidak apa-apa. Setelah headlamp beres, saya melanjutkan lagi langkah saya. Namun sial, baru berjalan beberapa meter, saya terjatuh lagi -__- licin sekali memang, bahkan sepatu gunung saya yang biasa menjajal tanah berlumpur tidak mampu menahannya. Saya menepi sebentar, membersihkan gerigi sepatu yang penuh dengan tanah.

Beres dengan jatuh-menjatuh dan membersihkan lumpur, perjalanan kami lanjutkan. Namun di sini feeling saya mulai tidak enak. Sebab sudah sekitar pukul 21.00 lewat, namun jalur yang kami lalui rasanya berbeda dengan jalur ketika kami datang. Jalur pulang ini jalannya lurus terus, tidak ada belokan sama sekali. Selain itu, vegetasinya juga terbuka. Beda sekali dengan jalur naik yang melewati hutan hujan tropis yang berliku dan sangat rapat. Pikiran aneh mulai merasuki otak saya, apalagi kami jalan malam hari. Sering saya dengar cerita kawan saya yang mendaki malam hari, katanya beberapa ada yang diputar-putari oleh “penghuni” gunung setempat. Bahkan kawan saya yang naik Semeru pernah diputar-putar selama sembilan jam dari Ranu Pani menuju Ranu Kumbolo. 

Namun sebisa mungkin saya usir pikiran negatif itu, yang penting terus berjalan pikir saya. sembari meniti langkah, sembari itu pula lafadz-lafadz dzikir dan syahadat meluncur dari hati saya. Saya berusaha berpikir positif, bahwa selama kami bersama-sama, insya Allah semuanya aman-aman saja. Ketika terus berjalan, alhamdulillah muncul dua pendaki di hadapan kami. Mereka berjumlah dua orang, hendak naik rupanya. Kami menepi, beristirahat, demikian juga mereka. Di sini kami mulai berbincang-bincang dan menanyakan kira-kira masih sejauh mana portal. Namun anehnya, dua pendaki ini seperti tidak tahu portal. Mereka terlihat kebingungan dan bertanya balik apa itu portal. Mereka hanya tahu Pos Bayangan, dan itu masih sekitar dua-tiga jam lagi. Saya di sini mulai curiga dan was-was. Apakah Pos Bayangan yang dimaksud adalah portal? Jika iya, mengapa jauh sekali? Ini sudah pukul sembilan, kami sudah jalan dua jam dari Pos 1. Harusnya menurut hitungan saya, sekitar sejam lagi kamin sudah sampai di Portal dan rumah Pak Sneh. Normalnya perjalanan turun lebih cepat dari naik, dan jelek-jeleknya, waktu tempuhnya biasanya tidak lebih lama dari waktu naik.

Namun saya simpan kecurigaan itu dari teman-teman saya maupun dari diri saya sendiri. Saya mencoba berpikir positif, mungkin sebentar lagi. Apalagi dua pendaki itu bilang jalannya licin sampai bawah, itu yang membuat jarak tempuh menjadi lama. Akhirnya tak lama kami beristirahat, perjalanan dilanjutkan kembali. Dua pendaki itu kembali naik menuju Pos 1.

Kecurigaan saya semakin bertambah sebab jalur ini tetap saja sama, landai, berlumpur, vegetasi terbuka, dan.. tidak ada padang ilalang! Sudah saya jelaskan di awal bukan, vegetasi dari awal Portal menuju Pos 1 adalah padang ilalang. Menurut hitungan saya, harusnya dua jam dari Pos 1 ke Portal, kami sudah masuk di daerah padang ilalang, bukan di hutan hujan tropis lagi. Namun ini, sudah lebih dari dua jam kami berjalan tetapi medannya sama saja dan tidak ada tanda-tanda padang ilalang sama sekali. Hanya jalan setapak berlumpur yang lurus. Sial, ketika sibuk berpikir, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara orang jatuh. Ya, kali ini giliran Dimas yang menjadi korban dari trek berlumpur dan licin ini. Untung ia tidak apa-apa. Kami memutuskan untuk menjaga jarak tetap berdekatan dan berjalan pelan-pelan.

Tak berapa berjalan, kami tiba di sebuah pos ronda. Ya, pos ronda yang rasanya tidak kami lewati ketika naik! Saya mencoba mengingat-ingat, tetapi rasanya memang tidak ada pos ronda ini ketika kami naik. Kami memutuskan beristriahat sejenak di sini. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah sebelas malam, namun jangankan portal, padang ilalang pun kunjung kelihatan. Justru sebaliknya, hanya jalan setapak berlumpur dan licin ini yang terus membentang luas.

Ketika beristrihat di sini, alhamdulillah tiba-tiba dari arah kami datang, muncul sekelompok pendaki juga. Mereka juga sepertinya hendak turun, dan kelihatannya masih bocah-bocah SMA. Sialnya, bukannya menolong, orang-orang ini justru juga malah bertanya ke kami, kira-kira masih jauh tidak Desa Pancasila. Waduh, mana kami tahu dik, kami saja sepertinya tersesat ini.. Pendaki yang berjumlah belasan ini kelihatannya tidak melanjutkan perjalanan, ketika kami hendak lanjut, sebagian dari mereka malah terlihat tiduran di pos ronda.

Sekitar menjelang pukul sebelas malam, kami melanjutkan lagi perjalanan. Baru beberapa puluh meter berjalan, langkah Dimas terhenti. Ia memang yang memang GPS dan bertindak sebagai navigator di paling depan. Wajahnya tampak panik, dan dengan suara bergetar ia mengatakan, “Kayaknya kita tersesat..”

Benar saja, rupanya GPS di tangannya menunjukkan kita sudah melenceng jauh dari Kampung Timur. Jika mengacu pada GPS, Kampung Timur ada di sebalah kanan, dan kami seharusnya sudah tiba di sana. Namun yang terlihat di layar justru kami melenceng jauh ke kiri dan sejajar dengan Kampung Timur. Rupanya sedari tadi Dimas yang memegang GPS tahu kita melenceng dari jalur, namun ia diam-diam saja dan berpikir jangan-jangan GPS nya error. Waduh, masalah ini! Jujur, saya di sini mulai agak panik dan khawatir. Di mana kami sebenarnya ini?? Jauh sekali melencengnya.. 

Kami pun berdiskusi. Ada dua pilihan, satu, terus lurus mengikuti jalur ini dan pasti akan berujung di suatu tempat. Dua, putar balik ke arah naik, dan cari tahu titik tempat kami salah. Pilihan pertama dipertimbangkan karena sepanjang jalan setapak ini kami melihat ada jejak ban sepeda motor. Asumsi si Amir adalah kami melenceng ke jalur terabas motor trail beberapa waktu lalu. Inilah mengapa jalanan sangat licin dan bentuknya seperti trek honda trail. Jika mengikuti jalur ini, ujung-ujungnya pasti tembus di daerah sekitar Pura dekat Desa Pancasila dan Kampung Timur, karena jalur terabas melewati tempat itu. Namun masalahnya, kami tidak tahu bakal sejauh mana jalur ini dan tinggal berapa lama lagi perjalanan kami.

Kami memilih opsi pertama, karena tidak mungkin kami naik lagi ke atas. Iyalah, balik lagi dong kami, sudah jauh sekali kami jalan. Lagipula kami tidak tahu mulai darimana kami melenceng, apakah persimpangan pertama yang memilih jalur kanan dan kiri, atau persimpangan kedua yang memilih antara jalan setapak ini dan masuk hutan. Salah-salah mengulang, yang ada justru kami bisa semakin tersesat.

Akhirnya dengan perasaan was-was dan tidak karuan, kami semua melanjutkan perjalanan. Kami di sini mulai berpikir positif, bahwa selama bersama-sama, insya Allah semuanya aman. Yang penting terus saja berjalan. Alhamdulillah, beberapa meter berjalan, kami menemukan lagi semacam pos ronda kedua. Kami akhirnya memutuskan beristirahat sebentar di sini. Untung bekal air minum masih cukup banyak dan kami sudah makan di Pos 1 tadi. Jika tidak, entahlah bagaimana nasib kami.

Saya dan kawan-kawan di sini mulai berdiskusi. Jika kami memang tidak kuat lagi, saya memutuskan akan membuka tenda dan bermalam di pos ronda ini. Besok pagi, kita lanjutkan lagi perjalanan. Hal ini saya pikirkan sebab kondisi kami memang sudah cukup letih. Sudah tepat 24 jam kami berjalan terhitung dari waktu summit pukul 23.00 WITA kemarin malam. Daripada memaksakan diri, mending kami istirahat dulu dan melanjutkan perjalanan esok pagi. Ketika berdiskusi ini, ajaibnya dan benar-benar kuasa Tuhan, ada sinyal hp di sini!! YA ALLAH..!!! Hp Amir segera digunakan, kebetulan hp nya dia yang paling banyak sinyalnya dan dia memakai dual SIM. Kami berpikir cepat, dan nomor yang langsung kami telepon adalah.. DAE TIRAN!!!

Setelah harap-harap cemas dan menaruh gagang hp di telinga, alhamdulillah tersambung dengan Dae Tiran!! Saya segera berbicara dengan Dae Tiran dan menjelaskan kronologis serta posisi kami. Untungnya Dae Tiran ini memang guide yang sudah hafal luar kepala gunung Tambora, ia tahu persis dimana posisi kami. Ia bilang kepada kami agar menunggu sebentar di situ, nanti ia akan jemput. Syukur alhamdulillah, lega sekali perasaan kami. Saya dan kawan-kawan memilih beristirahat sembari menunggu Dae Tiran.

Masalah tidak berhenti sampai sini. Udara malam itu sialnya dingin sekali apabila tidak bergerak. Saya segera mengenakan baju hangat, jaket gunung, syal, sarung tangan, dan buff saya. Namun sial, Dimas dan Amir rupanya memakai celana pendek. Celana panjang Dimas ada di carrier dan ia malas membongkarnya. Sementara Amir, ia tidak membawa celana panjang. Udara semakin dingin, dua orang ini mulai terlihat menggigil. Dimas terlihat lebih santai, sepertinya ia masih bisa beradaptasi dan menahan. Sementara Amir, waduh, ia tampak mengkhawatirkan. Apalagi bajunya basah sekali, begitu pula kaos kakinya. Ia yang memang paling banyak bergerak karena tadi sempat berlari mengejar Dae Limin. Anak ini juga baru pertama kali naik gunung, dan sepertinya ia belum mampu beradaptasi dengan cuaca dingin di gunung. Beda halnya dengan Dimas yang sudah pernah naik beberapa gunung.

Amir semakin menggigil, apalagi ia mengatakan tangannya yang terkilir akibat terpeleset tadi sudah mati rasa. Saya mulai takut di sini, sebab kalau dia kena hypotermia, bisa gawat. Akhirnya saya pun inisiatif, kebetulan di tas saya masih ada satu kaos kaki lebih dan satu baju lengan panjang yang cukup hangat. Segera saya suruh anak ini mengganti bajunya dan memakai kaos kaki. Namun sial, orang ini malah tidak mau, katanya tidak enak nanti mengotori pakaian saya. HEI!! PAKAIAN KOTOR TIDAK ADA APA-APANYA DIBANDING NYAWAMU!! Sontak saya kesal, langsung saya bentak dia karena berpikir demikian! Akhirnya setelah saya paksa, dia memakai kaos kaki dan baju lengan panjang dari saya. Keadaanya agak mendingan katanya. Ia juga meminta sebatang rokok dari Dimas untuk menghangatkan badan. Ini pertama kalinya saya lihat Amir merokok, karena pada dasarnya ia bukan perokok dan termasuk orang yang anti pada rokok.

Sekitar setengah jam berlau, kami sayup-sayup mulai mendengar suara deru sepeda motor di kejauhan. Kami mulai berpikir, pasti ini sudah dekat kampung, berarti tidak lama lagi. Ketika saling terdiam dalam bisu dan ketidakpastian, perlahan-lahan dari kejauhan kami melihat ada cahaya lampu senter dari tengah hutan depan kami. Kami pun inisiatif memainkan lampu senter kami, menunjukkan bahwa kami ada di sini. Namun sial, tak berapa lama, cahaya senter itu hilang lagi.


Ketika masih menunggu, lagi-lagi deru sepeda motor itu terdengar dan cahaya senter itu terlihat di kejauhan. Kali ini mulai terdengar suara orang berteriak. Sontak kami pun berteriak balik “OII..!!” “IYAA..!!” “DI SINI..!!!!”. Tak berapa lama, suara deru sepeda motor itu semakin dekat dan kelihatannya sudah sampai di bawah jalan setapak, dekat aliran sungai yang memang arusnya terdengar dari tempat kami beristirahat. Suara orang kini semakin jelas, kali ini memanggil nama saya. “VAVAANN..!!” begitu bunyinya, suara laki-laki. Sontak kami pun membalas dan terus berteriak. Tak lama, sosok itu muncul, dua orang, Dae Tiran dan kawannya! Mereka menjemput kami memakai ojek di bawah.

Alhamdulillah, waktu pagi itu menunjukkan pukul 00.30 WITA, kami akhirnya bisa segera turun dan pulang ke tempat peristirahatan. Dae Tiran dan kawannya membantu membawakan carrier kami. Kami berjalan sebentar menyeberangi sungai baru kemudian menaiki ojek yang sudah menunggu. Rupanya ketika di Pancasila tadi, Dae Tiran mengabari orang tua saya akan posisi kami. Orang tua saya pun yang kebetulan memang menunggu kami Pancasila segera mengutus Dae Tiran dan ojek-ojek tersebut untuk menjemput kami. Yah, saya rasa memang harus seperti ini hasilnya. Tidak mungkin kami memaksa berjalan lagi sampai bawah. Sudah lebih dari dua puluh empat jam kami berjalan, bekal sudah menipis, dan kondisi fisik sudah tidak memungkinkan. Kalian tidak akan bisa melawan alam kawan, tidak, tidak akan pernah bisa.. Akhirnya sisa perjalanan menuju Pancasila kami tempuh menggunakan ojek. Itu juga masih cukup jauh, sekitar satu jam. Bagaimana jika harus berjalan kaki?


Sekitar pukul 01.30 WITA, kami akhirnya tiba di Pancasila dan disambut oleh orang tua saya yang terlihat sudah telihat khawatir. Terima kasih Tambora, agungmu rendahkan diri hamba. Kau telah mengajarkan bahwa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan alam dan kuasa Tuhan. Bahwa sesungguhnya tujuan utama dari pendakian adalah pulang kembali ke rumah dengan selamat dan berkumpul kembali bersama keluarga.


Beberapa catatan pendakian Gunung Tambora:

  1. Gunung Tambora terkenal akan lintah (pacet) dan jelatangnya. Usahakan gunakan gaiter selama pendakian. Pacet banyak terdapat sepanjang jalur, terutama di jalur Pos 2. Jelatang juga demikian, usahakan memakai jaket parasut dan pakaian tertutup apabila anda tidak ingin gatal-gatal sepanjang jalan. Jelatang umunya banyak terdapat dari Pos 3 sampai Pos 5.

  2. Gunung Tambora sekarang sudah merupakan Taman Nasional, jadi kemungkinan sudah ada petunjuk jalurnya. Namun untuk menghindari kemungkinan terburuk, ajaklah satu orang guide atau kawan yang pernah naik Tambora apabila ingin mendaki. Walaupun secara keseluruhan jalur Tambora cukup jelas, namun ada beberapa titik yang rawan tersesat, terutama jalur dari portal menuju Pos 1. Dae Tiran sendiri menjelaskan ada banyak pendaki yang kadang tersesat di jalur dari portal menuju Pos 1, terutama ketika turun. Bahkan dari keterangan Sekretaris Desa Pancasila beberapa waktu lalu, ada pendaki dari Makassar yang bahkan tembusnya tidak di Pancasila, melainkan di satu desa antah berantah di Kabupaten Bima. 

  3. Tambora sama seperti gunung-gunung lain, berupa alam liar dan hutan. Jangan heran kalau kadang kalian mendengar suara-suara binatang di sini hehe.. Jika anda beruntung, anda mungkin bisa menemukan rusa / menjangan di sini.

  4. Secara keseluruhan, Tambora memiliki lima pos. Semua pos, kecuali Pos 4, memiliki sumber air yang melimpah, jadi jangan khawatir anda kekurangan air. Sumber air terbesar ada di Pos 1 dan Pos 2. Di Pos 3 juga besar, namun harus mengantri. Air di Pos 5 sedikit keruh, pintar-pintar saja anda menyaringnya.

  5. Umunya para pendaki Tambora akan nge-camp di Pos 3 dan Pos ketika hendak summit. Namun jika anda kelelahan, beberap pendaki juga ada yang buka tenda di Pos1, ini umumnya ketika turun. Pendakian Tambora normalnya tiga hari dua malam. Hari pertama naik, malam pertama summit, hari kedua dan malam kedua istirahat, dan hari ketiga turun. Namun jika anda kuat, bisa hanya dua hari satu malam. Sesuaikan saja sama tujuan dan kekuatan anggota tim selama pendakian.

  6. Untuk angkutan ke Tambora, anda bisa naik bus sampai Kabupaten Dompu. Turun di terminal Ginte, lalu lanjut bus kecil ke Desa Pancasila. Bagi yang berduit, biasanya naik pesawat, turun di Bandara Sultan Salahuddin Bima, dan naik mobil sewaan atau memakai jasa travel sampai ke Desa Pancasila. Namun opsi terakhir ini tentu lumayan mahal.

  7. Terakhir, jangan sekali-sekali jemawa di gunung! Jangan membunuh apapun kecuali waktu, jangan mengambil apapun kecuali foto, dan jangan meninggalkan apapun kecuali jejak. Salam lestari!

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page