Catatan Perjalanan: Dua Minggu Pertama di Swedia, Ketinggalan Koper di Amsterdam
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 11 min read
Senin, 21 Agustus 2018, setelah 32 jam perjalanan, empat penerbangan, akhirnya saya menginjakkan kaki di Copenhagen, Denmark. Jantung saya berdetak kencang, antara khawatir, takut, sekaligus senang dan penasaran, karena impian saya sejak kecil untuk belajar di luar negeri, dengan izin Tuhan, akan segera terwujud.
Hari itu saya berempat dengan tiga kawan saya, yaitu Adel, Tyar, dan Adam. Kami menumpang maskapai Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Amsterdam, lalu berganti dengan maskapai Royal KLM dari Amsterdam menuju Copenhagen. Sebenarnya ada satu kawan lagi yang bersama dalam penerbangan Jakarta - Amsterdam, Via, namun ia mengambil pesawat yang lebih siang dari Amsterdam menuju Copenhagen.
Kami berempat bagian dari rombongan pelajar Indonesia yang berangkat bersama untuk mulai menempuh pendidikan Master di Lund University, Swedia. Kawan-kawan saya yang lain menggunakan maskapai yang berbeda, ada Qatar Airways, Turkish Airlines, dan Thai Airways, di hari yang sama namun jam kedatangan berbeda.
Menginjakkan kaki di Copenhagen, tak lupa kami berempat menyempatkan diri berfoto-foto dahulu. Selesai berfoto, kami bergegas menuju tempat pengambilan barang-barang bagasi.
Tak lama, koper jumbo milik Adam muncul, disusul milik Tyar, lalu Adel. Milik saya tak kunjung muncul. Saya masih cukup tenang dan berfikir, “ah, koper saya kan yang paling besar, mungkin petugasnya males ngangkatnya, jadi dibiarin paling akhir. Tunggu kloter kedua saja.” Tetapi oh, saya salah sangka.. Tidak ada kloter kedua, bahkan ada satu koper yang sudah berputar tiga kali di hadapan saya namun milik saya tak kunjung menampakkan diri.
30 menit lewat sudah, perasaan saya mulai tak enak. Ada yang tidak beres, sepertinya koper saya nyangkut di Amsterdam. Saya menceritakan hal ini pada ketiga kawan saya. Mereka mencoba menenangkan saya. Tyar bertanya ciri-ciri koper saya dan Adam mencoba mencari petugas yang mengurus bagasi di bandara. Namun Bandara Copenhagen ini berbeda dengan bandara di Indonesia. Tak ada petugas yang lalu-lalang gabut, semuanya serba mandiri.
Saya melihat ada kantor Aviator, Baggage Service, di sudut ruangan pengambilan bagasi. Sementara Adam tetap mencari petugas yang bisa ditanyai, Adel dan Tyar mencoba menunggui dan melihat koper saya, saya bergegas menuju kantor Aviator.
Setelah 10 menit mengantri, dapatlah giliran saya. Saya menceritakan permasalahan saya pada petugas di balik meja loket. Nomor bagasi diminta, ia mencoba melacak keberadaaan koper saya. Akhirnya.. Kalimat bernada datar namun menusuk dari petugas itu terucap, “Your baggage is still in Amsterdam, Sir.”. Deg, langsung lemas saya seketika.
Saya mencoba mengonfirmasi kembali, apakah itu benar dan sudah terkonfirmasi bahwa koper saya tertinggal di Amsterdam? Iya pun mengiyakan. “So can you please tell me when will they send my baggage here?” tanya saya pada petugas tersebut. Sayangnya petugas tersebut tidak dapat memberi jawaban, namun ia mengatakan seharusnya tidak lama, karena setiap hari ada tujuh penerbangan dari Amsterdam ke Copenhagen dengan masakapai Royal KLM
Ia menyuruh saya untuk mengisi form pengaduan kehilangan bagasi dan menceritakan penyebab permasalahan saya. “That is a common problem as you took so many flights”, ceritanya.
Jadi permasalahannya adalah ketika saya transit di Jakarta. Saya mengambil empat penerbangan dari Bima, Lombok, Jakarta, Amsterdam sampai Copenhagen. Petugas darat Garuda Indonesia di Jakarta lupa, atau mungkin pada dasarnya mereka memang tidak profesional, untuk mengganti tag transit di koper saya dari Amsterdam ke Copenhagen.
Perasaan saya sebenarnya mulai tak enak kala menimbang dan memasukkan koper di loket check-in Garuda Indonesia di Bandara Bima. Saya bertanya kepada petugas loket check-in tersebut, dimana saya akan mengambil bagasi saya nanti? Amsterdam atau Copenhagen? Ia menjawab Amsterdam. Saya agak kaget, karena sehari sebelumnya saya sempat menelepon customer service Garuda Indonesia dan menanyakan perihal yang sama. Petugas customer service tersebut menjawab di Copenhagen, bahkan sampai dua kali ketika saya mencoba mengonfirmasi.
Saya pun bertanya kembali ke petugas loket check-in di Bandara Bima, apa benar saya akan mengambil di Amsterdam? Coba pastikan kembali. Ia pun menyuruh saya menunggu sebentar dan menelepon seseorang. Tak lama, ia pun mengonfirmasi kembali. Benar, katanya, dengan wajah yang agak jutek. Sebab maskapai Garuda Indonesia hanya melayani sampai Amsterdam, dan di Amsterdam akan berganti dengan maskapai lain. Cukup masuk akal, pikir saya. Saya tak ingin berdebat terlalu panjang karena mau menghabiskan waktu bersama keluarga. Jadilah nomor dan tag bagasi di koper dan tiket yang saya pegang hanya sampai Amsterdam.
Ketika saya tiba di Jakarta dan melapor kembali ke loket check-in Internasional Garuda Indonesia, saya bertanya kembali ke petugasnya, dimana saya akan mengambil bagasi saya nanti? Ia pun mengecek dan mengatakan di Copenhagen. Saya kaget! Karena tag dan nomor bagasi yang saya pegang hanya sampai Amsterdam. Saya pun menjelaskan hal tersebut sembari memperlihatkan tag dan nomor bagasi di tiket saya.
Petugas tersebut mengerutkan dahi dan mengatakan seharusnya di Copenhagen. Ia lalu menelepon seseorang untuk mengkonfirmasi. Tak lama, ia menutup teleponnya dan memastikan saya bahwa bagasi nanti diambil di Copenhagen. Selanjutnnya tag dan nomor bagasi di tiket saya diganti dengan tag dan nomor bagasi sampai Copenhagen. Saya menyuruh ia memastikan bahwa tag dan nomor bagasi di koper juga diganti.
Ia pun menelepon seseorang, sepertinya petugas darat, dan menginstruksikan untuk mengganti tag dan nomor bagasi di koper saya dari Amsterdam ke Copenhagen. Selesai menelepon, ia mengatakan sudah terkonfirmasi bahwa bagasi saya dapat diambil di Copenhagen. Lega saya di situ, namun siapa sangka, itu adalah awal dari bencana.
Kembali ke Copenhagen. Saya mulai mengisi form pengaduan di Bandara Copenhagen yang berisi biodata singkat, alamat permanen dan sementara, kontak yang bisa dihubungi, dan ciri-ciri koper saya. Saya juga sempat googling untuk memperlihatkan foto koper saya agar petugas tersebut tidak salah dalam menuliskan keterangannya.
Namun permasalahannya adalah saya baru saja tiba dari Indonesia di Copenhagen, dan tujuan utama saya sebenarnya bukan Denmark, melainkan Kota Lund di Swedia, negara tetangga Denmark yang bisa dicapai dengan 45 menit naik kereta dari Copenhagen.
Saya tidak punya nomor telepon Swedia maupun Denmark. Akhirnya saya memasukkan nomor telepon Indonesia saya terlebih dahulu di form pengaduan dan menuliskan alamat housing saya di Lund untuk alamat sementara dan permanen. Petugas menanyakan sampai kapan saya akan di Swedia dan di tinggal alamat tersebut, saya jawab sampai satu tahun ke depan paling tidak.
Form pengaduan pun selesai, saya diberikan selembar kertas yang berisi nomor referensi bagasi (tidak boleh hilang) untuk melacak keberadaan bagasi saya, nomor telepon dan alamat email Aviator di Bandara Copenhagen, serta nomor telepon customer service Royal KLM. Saya juga diminta mengubungi kembali kantor Aviator untuk meng-update nomor telepon apabila saya sudah memiliki nomor telepon Swedia. Petugas tersebut menjelaskan bahwa saya dapat melacak status dan keberadaan bagasi saya melalui situs pengaduan kehilangan bagasi di website Royal KLM dengan memasukkan nomor referensi bagasi.
Sebelum beranjak saya sempat bertanya berdasarkan pengalaman petugas tersebut, berapa lama biasanya bagasi yang tertinggal akan dikirim. Ia menjawab biasanya dua hari paling lambat. Saya sempat bersikeras untuk bertahan dan menunggu saja di bandara karena masih ada empat penerbangan lagi dari Amsterdam menuju Copenhagen di hari ini. Namun petugas tersebut melarang dan mengatakan ia belum dapat memberi kepastian kapan bagasi saya akan dikirim oleh Royal KLM di Amsterdam.
Penerbangan terakhir adalah pukul 11 malam, dan tidak lucu jika saya menunggu sampai pukul 11 tetapi bagasi saya ternyata belum dikirim. Ia menyuruh saya sementara pulang saja dahulu dan mengabari mereka jika sudah memiliki nomor telepon Swedia.
Saya pun beranjak dari loket dengan perasaan lemas namun mencoba berfikir positif. Baiklah, sisi positifnya, saya masih memiliki koper kabin dan harus mulai menghitung barang-barang apa saja yang ada di koper tersebut.
Ada router, handuk, alat-alat listrik, rice cooker dan beras, sabun, dokumen-dokumen penting, baju dalam satu potong, sweater satu potong. Setidaknya saya masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang walau (kemungkinan terburuknya) belum memliki paket internet di Swedia dengan router. Alat-alat listrik bisa digunakan untuk men-charge laptop dan telepon seluler. Sementara saya masih bisa membersihkan diri dengan pakaian sisa yang ada, handuk, serta sabun.
Paling tidak saya masih bisa bertahan sampai dua hari ke depan, pikir saya. Untuk makanan, semuanya ada di koper yang tertinggal, mulai dari bumbu-bumbu instan sampai Indomie dan abon. Namun dasar orang Indonesia, saya untungnya banyak membungkus sisa makanan yang berlebih di pesawat dan setidaknya cukup sampai nanti malam. Ada dua potong roti dan yoghurt. Masih aman, pikir saya. Toh jelek-jeleknya kalau lapar, saya masih ada rice cooker dan beras.
Adam menghampiri dan mengatakan nihil, ia tidak bisa menemui satu pun petugas. Tak apa, saya sudah membuat form pengaduan. Kawan-kawan saya mencoba kembali menenangkan dan menyusun rencana selanjutnya.
Kami masih menunggu rombongan Qatar Airways dan Via di penerbangan Royal KLM selanjutnya. Hari ini adalah jadwal Arrival Day di kampus kami sekaligus mengambil kunci housing masing-masing. Saya sempat berpikir untuk bertahan menunggu kepastian di bandara, kebetulan saya juga ada kenalan di Copenhagen, namun belum saya hubungi. Tetapi keinginan saya ini ditentang oleh kawan-kawan saya.
Sebaiknya saya ke Lund saja dulu, ambil kunci housing, menenangkan diri, dan menyiapkan semua yang perlu disiapkan. Jika butuh bantuan apapun seperti makanan atau pakaian, bisa menghubungi kawan-kawan di Lund yang lain. Cukup masuk akal, apalagi menimbang ketidakpastian di Copenhagen dan ini pertama kalinya saya ke Lund. Belum paham apapun, buta arah, dan hari ini kami semua akan diantar oleh pihak kampus ke housing masing-masing.
Jika saya bersikeras bertahan dan berangkat ke Lund sendiri, ada kemungkinan akan tersasar dan sesi Arrival Day telah selesai. Malah nantinya akan menciptakan permasalahan baru, saya luntang-lantung dan tersasar di Lund karena kantor untuk mengambil kunci housing sudah tutup dan sudah tidak ada jemputan.
Singkat cerita, saya memilih berangkat ke Lund dahulu bersama rombongan pelajar Indonesia di Lund. Kami menumpang kereta selama 45 menit yang melintasi laut antara Denmark dan Swedia. Di sela-sela perjalanan yang melelahkan, saya mencoba menghafal proses dan rute dari Copenhagen ke Lund jika nanti saya memang harus menjemput koper saya di Copenhagen.
Untungnya sesi Arrival Day ini menyenangkan. Entah saya yang sudah lelah dengan drama serta waktu tempuh perjalanan yang jauh, atau memang kawan-kawan saya yang dapat menghibur saya, sejenak saya lupa dan tidak menganggap ketinggalan koper di Amsterdam.
Setelah melalui proses Arrival Day yang panjang dan antri menunggu jemputan, pukul 21.00 waktu Swedia, saya tiba di housing. Malam itu kamar saya benar-benar masih kosong karena barang-barang, seprei, selimut, bantal, ada di koper saya yang tertinggal.
Badan saya rasanya rontok karena belum mendapat istirahat yang cukup, ditambah drama ketinggalan koper. Namun sebelum tidur, saya aktikan router dan pantau status bagasi saya namun belum ada perubahan. Hanya tertulis, “item located, waiting for respose.” Artinya koper tersebut telah ditemukan di Amsterdam namun belum tahu kapan akan dikirim.
Akhirnya saya memutuskan mengontak kawan saya di Copenhagen, Cecille, gadis Denmark yang dulu pernah bekerja bersama saya di salah satu project di Indonesia. Syukurlah WhatsApp miliknya aktif, saya meminta bantuannya untuk menelepon customer service Royal KLM untuk menanyakan status koper saya dan ia menyanggupi namun besok pagi, karena saat ini sudah pukul 22.00 dan kemungkinan pelayanan mereka sudah tutup.
Sedikit lega setelah dapat mengontak Cecille, saya beranjak tidur. Saya tidur hanya berselimutkan handuk, jaket parka yang saya bawa dari Indonesia, dan berbantalkan swater. Tengah malam suhu di Lund turun drastis, menggigil kedinginan saya, terpaksa sweater yang dijadikan alas kepala ditarik untuk menutupi kaki.
Saya berhasil melalui malam pertama dengan barang-barang tertinggal di Amsterdam. Pagi itu bertepatan dengan Idul Adha, rasanya ingin sekali pergi menunaikan Shalat Ied, kebetulan housing saya dekat dengan masjid. Akhirnya saya memutuskan berangkat ke masjid pukul 08.30 dan untungnya ada baju muslim beserta perlengkapan shalat di koper kecil.
Namun sial, saya terlambat, shalat sudah selesai, tapi ada sesi makan-makan. Tuhan memang Maha Baik, tahu saja saya kekurangan makanan karena semua makanan ada di koper yang di Amsterdam, saya kini mendapat makanan gratis. Akhirnya saya sarapan di situ dan beruntungnya diperbolehkan membawa pulang beberapa makanan dan minuman.
Pulang dari masjid, saya mampir ke supermarket untuk beli perlengkapan mandi dan telur, jaga-jaga kalau stok makanan gratis saya semakin menipis. Hari itu juga saya bertemu kawan satu dorm saya, Ted, asal Cina. Kami bercengkerama sebentar dan saya menceritakan permasalahan saya. Namun respon yang diberikan justru berkebalikan. Ted malah tertawa mendengar cerita saya. “Ah, no problem. I used to have same experiences. I lost my baggage three times and it was always from Russia. But don’t worry, they will send your baggage in a week. You will get your baggage.” Agak lega juga mendengar respon dia yang santai.
Oh iya, selama Arrival Day kemarin, saya cukup beruntung. Saya mendapat SIM Card Swedia gratis yang dibagikan di kampus dan kartu langganan bis gratis di Lund. Selain itu, ada banyak makanan yang dibagikan dan saya membawa pulang sebagian seperti cokelat dan apel. Aman untuk makanan sampai besok.
Berkat bantuan Ted juga, saya bisa mengaktivasi dan mengaktifkan paket internet di SIM Card Swedia saya. Segera saya beli paket roaming untuk dapat menelepon ke kantor Aviator di Copenhagen. Bagusnya dari website Royal KLM adalah, kita dapat melakukan chat dengan petugas Aviator melalui situs pelaporan kehilangan bagasi. Jadi dari sejak kemarin saya dalam perjalanan ke Lund, saya terus pantau status bagasi saya dan berkomunikasi melalui fitur messenger dengan pihak Aviator.
Mereka meminta saya mengganti nomor HP ke nomor Swedia karena nomor Indonesia saya tidak dapat dihubungi, yang langsung saya kabari pagi itu. Namun sayang, koper saya belum juga kunjung dikirim. Mereka menyarankan saya untuk menelepon ke customer service Royal KLM di nomor telepon yang tertera di kertas yang saya bawa, sebab Aviator fungsinya hanya meneruskan pesan dari orang yang kehilangan ke maskapai, dan sebaliknya. Untuk tindakan yang diambil, semua tergantung maskapai
Seharian itu saya habiskan untuk menelepon customer service Royal KLM dan petugas Aviator. Petugas Aviator telah menaruh status emergency dan harus segera dikirim pada bagasi saya karena saya jelaskan bahwa seluruh barang-barang saya mulai dari pakaian, makanan, sampai obat-obatan ada di sana. Customer service Royal KLM juga mencoba menenangkan saya. “Don’t worry, Sir. Your baggage is confirmed in Amsterdam, we are just waiting the response from office in Schipol to send your baggage”, begitu katanya.
Sedikit lega sebenanrya, karena pada dasarnya koper saya sudah ditemukan, hanya menunggu waktu untuk dikirim saja ke Copenhagen. Namun saya katakan, “Well I’m totally worried now! All of my stuffs are there, include my clothes, foods, medicines. I have nothing to wear here!”, ujar saya.
Customer service Royal KLM tetap berusaha menenangkan saya dan mengatakan bahwa saya dapat membeli pakaian baru dan mengirim invoice-nya ke mereka akan nanti di-reimburse. Hmm menarik, tapi menurut saya itu bukan solusi. Saya hanya ingin koper saya kembali!
Akhirnya hari itu sembari terus memantau status koper saya via website Royal KLM, saya memutuskan pergi ke pusat kota. Berbekal kartu bis gratis dari Arrival Day, saya mengisi saldo kartu di kantor Skanetrafiken, perusahaan yang mengelola transportasi publik di Lund, dan menukar uang Euro saya dengan Swedish Krona (SEK).
Karena pakaian dalam saya habis dan saya hanya punya satu potong celana sekarang, saya memutuskan belanja di H&M, toko paling murah di sini, dan membeli celana panjang tidur, beberapa potong kaos kaki, dan pakaian dalam.
Sempat terpikir untuk mengirim invoice ke Royal KLM dan minta reimburse, namun saya pikir itu bukanlah hal yang bagus. Pertama, pada dasarnya saya memang mau belanja pakaian-pakaian ini karena saya membawa sedikit celana dari Indonesia, kebetulan saja waktunya pas dengan saya ketinggalan koper. Kedua, sebenarnya ini bukan salah maskapai Royal KLM sepenuhnya, namun Garuda Indonesia yang sontoloyo. Kurang bijak rasanya meminta ganti rugi ke Royal KLM.
Beruntungnya malam itu saya ada janji dengan Mbak Nurul, mahasiswa Indonesia yang lebih senior di Lund, untuk mengambil beberapa barang longsoran di housing-nya. Saya ke sana bersama Tyar dan Faiz, kawan mahasiswa baru dari Indonesia.
Lagi-lagi rezeki tidak kemana, di tempat Mbak Nurul saya makan gratis dan menunya super enak (bagi kami yang di perantauan dan setelah hanya bertahan dengan buah-buahan dan dari roti sisa pesawat). Kami makan lahap dan bercengkerama dengan beberapa senior Indonesia di sini. Sejenak lupa kalau koper saya masih nyangkut entah di sebelah mananya Bandara Schipol.
Malam itu saya pulang dengan dua keranjang besar IKEA yang berisi barang-barang bekas longsoran para senior. Ada selimut, seprei, dan duvet, untungnya, yang tentu saja dapat saya gunakan untuk bertahan melawan dinginnya malam, tidak seperti malam kemarin. Sebelum tidur, saya tetap memantau status bagasi saya dan tetap, tidak ada perubahan, belum tahu kapan dikirim.
Kembali saya menelepon customer service Royal KLM dan perempuan yang mengangkat menginformasikan bahwa telepon besok pagi saja, mungkin akan ada perkembangan. Baiklah, saya sudah lelah, akhirnya saya putuskan menelepon kembali besok pagi.
Pagi hari kedua, saya tiba-tiba bangun dengan rasa cemas. Ketakutan itu mulai muncul, setelah kemarin agak happy-happy dan tidak terlalu ambil pusing, pagi ini rasanya saya sangat panik dan mulai memikirkan hal-hal aneh, seperti bagaimana jika koper saya benar-benar tidak dikirim hari ini, mampukah saya bertahan? Sedih juga membayangkan semua pakaian dan makanan saya di sana. Jika seminggu tidak sampai juga koper tersebut, maka otomatis saya harus beli pakaian-pakaian dan perlengkapan baru lagi.
Segera saya telepon kembali customer service Royal KLM dan.. sungguh bahagia! Petugas yang mengangkat mengabarkan bahwa koper saya akan dikirim pagi itu ke Copenhagen dan tiba pukul 11.05. Saya memastikan kembali, apakah ini sudah terkonfirmasi? Ia meyakinkan saya bahwa sudah terkonfirmasi.
Lega sekali rasanya. Segera saya menelepon Aviator di Bandara Copenhagen dan menyampaikan berita tersebut. Saya juga katakan bahwa saya akan menjemput sendiri koper saya di Bandara Copenhagen, tidak usah dikirim ke alamt housing saya di Lund.
Saya mau mengambil sendiri koper saya karena saya mau menghindari resiko keterlambatan lagi untuk yang kesekian kalinya jika ada permasalahan di kurir. Saya sudah cukup lama menunggu dua hari tanpa koper dan tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Akhirnya siang itu, pukul 15.30, saya janjian dengan petugas Aviator untuk menjemput koper saya di Copenhagen.
Rugi memang karena harus bolak-balik naik kereta dari Lund ke Copenhagen, namun tak sebanding dengan perasaan lega yang akan datang. Pukul 14.30 saya bertolak ke Copenhagen dan tiba di meeting point tepat waktu. Petugas Aviator sudah menunggu dan saya diantar menuju koper saya. Sebelum benar-benar membawa pulang, saya sempat diajak ke ruang Bea & Cukai. Sempat khawatir, karena banyak makanan di tas saya, takutnya malah tidak diperbolehkan dibawa dan disita.
Namun petugas Bea & Cukai hanya bertanya apa permasalahan saya dan dari mana saya terbang. Saya jelaskan kalau saya ketinggalan koper di Amsterdam dua hari lalu dan saya terbang dari Jakarta. Entah karena wajah saya yang memelas dan lemas atau memang sebenarya saya tidak perlu melalui Bea & Cukai, saya diperbolehkan pulang tanpa diperiksa koper saya. Akhirnya, koper saya Bersama saya setelah melanglang buana selama dua hari!

Si jumbo sebelum berangkat.

Akhirnya bertemu di Copenhagen setelah dua hari.
Comments