top of page

Catatan Perjalanan: Kerinci, Puncak Tertinggi Kedua di Indonesia

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 34 min read

Sinar mentari pagi menyeruak dari jendela bundar pesawat saya. Pagi itu cuaca cerah, pertanda bagus bagi kami para pecinta ketinggian. Kamis, 19 Oktober 2017, setelah drama penundaan penerbangan yang cukup pelik di bandara, akhirnya saya bisa meninggalkan hiruk-pikuk Jakarta menuju tanah Sumatera, tepatnya negeri para Buya, Minangkabau.


Pukul 11 kurang sedikit, tibalah saya di Bandara Internasional Minangkabau. Perut kosong karena berangkat dini hari dari Depok, Jawa Barat, sedikit terobati dengan semangkuk soto di bandara. Menuju mobil jemputan, bertolak saya ke tujuan utama, kaki Gunung Kerinci.

Pendakian Gunung Kerinci kali ini saya ditemani oleh dua kawan yang sama sekali belum pernah saya temui sebelumnya, kecuali kontak-kontakan lewat grup WhatsApp. Mereka adalah Bang Yudha dari Sanggau, Kalimantan Barat, dan Bang Yoan, dari Pariaman, Sumatera Barat. Kami bertiga ikut open trip yang diadakan oleh Kerinci Trekker, pimpinan Bang Wawan. dan kawan-kawan Jungle Kerinci Mountain (JKM).


Dari bandara, saya menumpang mobil travel yang disewakan untuk kami bertiga oleh Bang Wawan. Bang Yoan telah tiba lebih dulu di Padang, ia menunggu saya di bandara bersama supir travel dan selanjutnya kami bergerak menjemput Bang Yudha yang menunggu di loket pemberhentian travel. Pukul 12.00 WIB, setelah personil komplit, meluncurlah kami menuju kaki Gunung Kerinci dari Kota Padang.


Perjalanan dari Kota Padang menuju kaki Gunung Kerinci kami tempuh selama tujuh jam perjalanan. Selain kami betiga, ada dua penumpang lain yang juga bergabung bersama kami, pasangan bapak dan ibu. Maklum, kami menumpang travel, jadi kapasitas mobilnya dibagi-bagi.


Ada satu hal unik dan menyenangkan yang saya pelajari di perjalanan ini, rasa kekeluargaan di antara penduduk ranah Minang yang masih tinggi. Selain kami berlima, di tengah jalan pak supir juga mengangkut dua penumpang lain, sepasang kakek dan nenek Mereka menumpang dan.. tidak bayar! Sungguh baik supir kami. Sepanjang perjalanan, walau tidak saling kenal, kakek dan nenek asyik bercakap dengan bapak dan ibu di sebelah kami, pak supir, dan sesekali dengan kami. Tidak pernah bertemu sebelumnya tidak menghalangi para penumpang untuk saling mengakrabkan diri. Meski, terkadang kami tidak mengerti pembicaraan mereka karena memakai Bahasa Minang, hehe..


Sepanjang perjalanan saya cukup banyak tertidur karena memang masih mengantuk. Selain itu, perut saya juga rasanya sedikit tidak enak sebab terlambat makan tadi pagi. Namun, syukurlah obat maag telah saya konsumsi sebelum berangkat sehingga sedikit enakan.

Sekitar pukul 14.00 WIB, kami mampir makan siang di rumah makan yang tentu menyajikan masakan Padang. Beres dengan santap siang yang penuh santan dan balado, sholat Dzuhur jamak Ashar, kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami melewati Kabupaten Solok dan Solok Selatan. Sepanjang perjalanan, dapat saya lihat realita pembangunan di daerah Solok dan Solok Selatan yang masih kurang dan tak beda jauh dari kabupaten-kabupaten di provinsi asal saya, NTB. Namun di balik segala ketertinggalan pembangunan ini, kami melewati jalur perjalanan yang indah. Saya dapat melihat keelokan Danau Diatas dan Danau Dibawah, serta menikmati seninya membelah jalan berkelok-kelok lintas Padang-Kerinci.


Sore hari sekitar pukul 16.00 WIB kami mampir lagi di sebuah kedai untuk mengopi. Bincang-bincang ringan dengan kawan seperjalanan, ditemani kudapan roti kelapa dan secangkir kopi susu, cukup menghangatkan sore yang mulai dingin. Tak lama, perjalanan kami lanjutkan.


Sekitar pukul 18.00 WIB, mulailah kami memasuki daerah kaki Gunung Kerinci. Dari jalan yang mulai gelap dan udara yang mulai dingin, di kejauhan nampak bayangan hitam besar, menjulang tinggi ke langit, ialah Gunung Kerinci. Puncaknya terlihat runcing dan tegak. Sempat merinding saya melihatnya, inilah tempat yang akan kami tuju. Sungguh Kerinci memancarkan aura gentar petang itu, menunjukkan dirinya dengan jelas dan gagah seolah menyambut kami. Perasaan tak sabar juga muncul, membayangkan bagaimana pendakian kami dua hari ke depan.

Pukul 19.00 WIB, tibalah kami di Desa Kersik Tuo, desa terakhir sebelum pendakian Gunung Kerinci. Namun ternyata, terjadi miskomunikasi antara supir travel kami dan Bang Wawan. Seharusnya, kami diturunkan di Desa Kayu Aro, desa sebelum Kersik Tuo, karena basecamp pendakian kami ada di sana. Tak mungkin memutar kembali mobil travel, sudah agak jauh dan penumpang yang lain hendak melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami memilih turun di Kersik Tuo sembari menunggu jemputan dari kawan-kawan JMN.


Setelah menunggu sekitar 20 menit, datanglah satu mobil pick up menjemput kami. Tiga orang lelaki dewasa turun, yaitu pak supir yang ternyata adalah ayahanda dari Bang Wawan, Bang Epi, dan Bang Sarman. Keduanya merupakan kawan Bang Wawan di JMN. Bang Wawan sendiri tidak bisa hadir dan menemani kami di pendakian karena ia ada urusan keluarga di Palembang.

Tak menunggu lama, sebab udara dingin semakin menusuk, bertolak kami bertiga ke Desa Kayu Aro dengan mobil pick up. Perjalanan dari Desa Kersik Tuo ke Kayu Aro ini sekitar 20 menit menggunakan mobil.


Selama di perjalanan ke basecamp, saya dan Bang Yudha duduk di depan bersama pak supir. Sedangkan Bang Yoan memilih di belakang ditemani Bang Epi dan Bang Sarman. Ada cerita menarik yang saya dapat di perjalanan dari ayahanda Bang Wawan. Beliau bercerita bahwa ia dan keluarganya berasal dari Pulau Jawa, merantau ke Kerinci, dan akhirnya bekerja dan menetap di sini. Tak hanya ia, ada banyak para perantau lain di sini, mulai dari Jawa sampai Padang. Ia dulunya berdagang, namun karena terlalu banyak saingan, banting setir beliau menjadi petani sekaligus buka usaha kecil-kecilan, mulai dari bengkel sepeda motor sampai tur pendakian Gunung Kerinci. Komunitas JMN sendiri didirikan oleh Bang Wawan dan bermarkas di rumah ayahandanya.


Setelah melewati jalanan yang sepi, tibalah kami di basecamp sekaligus rumah Bang Wawan. Ramah, sang ibu menyambut kami dan mempersilahkan naik ke lantai dua yang telah disulap menjadi penginapan.


Segera kami merapikan barang, melemaskan badan, dan duduk-duduk santai di ruang tengah lantai dua yang lapang. Kasur lipat dan selimut tebal nampak telah dipersiapkan oleh kawan-kawan JMN, lengkap dengan bantal-bantal empuknya.

Bang Epi dan Bang Sarman menemani kami mengobrol. Sungguh memuaskan pelayanan dari kawan-kawan JMN. Ekspektasi awal saya, dengan harga paket open trip Rp. 990.000,- kami hanya ditampung di tempat basecamp pendakian biasa, bertumpuk dengan pendaki-pendaki lain dan tidak berharap banyak, dapat tempat tidur saja sudah syukur. Namun di luar dugaan, kami menginap di rumah Bang Wawan dan tempatnya sangat layak dan nyaman. Bahkan malam itu sang ibu menyuguhkan kami sepiring pisang goreng hangat, setermos air panas, lengkap dengan sebungkus teh Kayu Aro, setoples kopi lokal, gula, dan gelas-gelas kecil.


Hati saya tergelitik kala mendengar Bang Epi dan Bang Sarman yang mengobrol menggunakan Bahasa Jawa. Saya sempat ragu, apakah benar mereka barusan berbincang menggunakan Bahasa Jawa? Padahal saya ratusan kilometer dari Pulau Jawa, di perut Pulau Sumatera, pedalaman kaki Gunung Kerinci.


Rasa penasaran ternyata tidak hanya menyelimuti saya, namun juga Bang Yoan. Sebagai perantau di tanah gudeg, ia sangat familiar dengan Bahasa Jawa. Bertanyalah ia ke dua pemandu kami. Tentu, dengan Bahasa Jawa juga.

“Di Kerinci ini bang, kami bicara tiga bahasa, Bahasa Kerinci, Bahasa Minang, dan Bahasa Jawa”, jelas Bang Sarman. “Kalau ada orang Kerinci tapi tidak bisa Bahasa Jawa, keterlaluan namanya. Kalau ada orang Jawa, tapi tidak bisa Bahasa Minang, keterlaluan juga namanya”, sambung Bang Sarman. Bang Yudha juga tergelitik, lebih lanjut ia bertanya, apakah orang-orang Jawa dulunya bekerja di PTPN? “Enggak juga sih bang, macam-macam”, jelas Bang Epi. “Dulu mungkin iya, tapi sekarang udah enggak lagi. Ada yang tani, ada yang dagang. Kami ini sebenarnya juga masih saudara sama Wawan, jadi sama-sama keturunan Jawa. Orang Minang banyak juga yang dagang di pasar”, sambung Bang Epi.


Hal menarik yang saya kagumi dari cerita mereka, meskipun masyarakat kaki Gunung Kerinci adalah masyarakat yang mejamuk, namun semuanya akrab dan menghormati satu sama lain. Tidak pernah ada kerusuhan atau gesekan antar etnis di kaki Gunung Kerinci. Seolah-olah masyarakat sudah paham, bahwa hidup mereka dan generasi-generasi selanjutnya sangat bergantung pada berkah dari Kerinci. Menjaga kelestarian dan ketenteraman kaki Gunung Kerinci adalah modal utama untuk terus mendulang berkah dari Sang Pencipta.


Hangatnya obrolan dan kudapan malam itu sukses menghilangkan rasa dingin yang menghantui di luar. Sekitar pukul 22.00 WIB, kami mulai merebahkan diri satu per satu di atas kasur lipat. Bang Sarman malam itu pulang ke rumahnya, sedangkan Bang Epi tidur bersama kami di ruang tengah, sembari menonton acara televisi. Iya, basecamp kami juga dilengkapi televisi dengan saluran TV kabel internasional. Mirip ruang tengah keluarga sendiri. Mantap, bukan?


Pendakian Hari Pertama, Jumat 20 Oktober 2017


Pukul 04.00 WIB saya sudah bangun. Tampak dua kawan saya masih lelap. Bang Epi juga masih meringkuk di bawah selimut. Segera saya re-packing dan menyiapkan perlengkapan. Lepas adzan Subuh, saya mandi di kamar mandi rumah Bang Wawan yang airnya sedingin es batu. Sampai ngilu ujung-ujung jari saya. Kawan saya yang lain dan Bang Epi juga sudah terbangun.


Beres re-packing dan bersih-bersih, sarapan kami di ruang makan keluarga dengan menu yang istimewa, sayur santan dan telur kentang balado. Kembali, perut kami dihajar masakan khas ranah Sumatera yang pedas dan bersantan. Sungguh nikmat sarapan kami, dan semuanya bagian dari pelayanan kawan-kawan JMN.

Beres segala persiapan, pukul 07.30 WIB, bertolak kami ke Pos Pendakian Gunung Kerinci. Menumpang mobil pick up yang dikemudikan ayahanda Bang Wawan, duduk kami berlima di bak belakang, kecuali Bang Yudha yang duduk di samping supir.


Cuaca pagi itu sangat cerah, syahdu kami menikmati atmosfir kaki Gunung Kerinci. Di samping kami, terlihat jelas puncak Gunung Kerinci yang seperti tegak menantang kedatangan kami. Perut saya yang sempat tidak enak kemarin, syukurnya hari ini sudah enakan dan siap mendaki.

Pemandangan pagi di Kaki Gunung Kerinci.


Sebelum tiba di Pos Pendakian Gunung Kerinci, kami berhenti dulu di pertigaan Tugu Macan di Desa Kersik Tuo. Tugu Macan inilah pertanda akan dimulainya pendakian Gunung Kerinci. Sementara Desa Kersik Tuo adalah desa terakhir sebelum memulai pendakian Gunung Kerinci. Para pendaki umumnya menginap di desa ini sebelum melakukan pendakian. Ada banyak penginapan dan rumah makan di desa ini. Dari Tugu Macan, para pendaki bisa menumpang kendaraan ke Pos Pendakian atau jika memang kuat, bisa berjalan kaki. Jarak dari Tugu Macan ke Pos Pendakian sekitar 1,5 km dengan jalanan lurus yang membelah hamparan kebun teh yang hijau.

Bang Epi dan Ban Sarman membeli bekal air minum untuk pendakian, sementara saya, Bang Yudha, dan Bang Yoan, memilih berfoto di depan Tugu Macan. Tak lama, lanjut kami menuju Pos Pendakian dengan mobil pick up. “Bereskan urusan Simaksi dulu, baru naik”, begitu arahan Bang Epi.


Berpose dulu di depan Tugu Macan. Nampak Gunung Kerinci gagah di belakang.


Sangat disayangkan, dari para pendaki Gunung Kerinci, banyak di antara mereka yang tidak melakukan registrasi. Padahal registrasi ini sangat penting, kita tidak tahu apa yang bisa terjadi di atas gunung. Jika mereka hilang atau cedera ketika pendakian, tanpa registrasi, tim SAR atau petugas taman nasional tidak bisa mendata. Lebih buruknya, mereka tidak bisa mengirim bantuan. Padahal, dengan membayar Rp. 7.500,- saja, mereka setidaknya cukup aman apabila terjadi hal yang tidak diinginkan di Gunung Api Tertinggi di Asia Tenggara ini.


Beres segala administrasi di Pos Pendakian, langsung kami naik kembali ke mobil untuk menuju pintu pendakian. Pos Pendakian ini masih beberapa ratus meter di bawah pintu pendakian, jadi kami tetap menumpang mobil sampai menjelang pintu pendakian.


Akhirnya tibalah kami menjelang pintu pendakian atau sebutannya,”Pintu Rimba”. Masih beberapa ratus meter menuju Pintu Rimba, namun mobil sudah tidak dapat naik lagi, Kami turun di sini dan selanjutnya, pendakian dimulai!

Pagi itu kami bertemu dengan satu rombongan pendaki lain, dua perempuan dan dua laki-laki. Pasangan sepertinya, asyik sekali, tidak seperi kami berlima yang isinya pejantan semua hehe..

Sebelum berangkat, Bang Yudha sebagai yang paling tua di antara kami memimpin doa. Dengan izin Yang Maha Kuasa, dimulailah pendakian kami. Tepat pukul 08.30 WIB, kami mulai melangkah menuju puncak tertinggi kedua di Indonesia ini.

Kami berjalan dengan formasi Bang Yudha di depan, Bang Epi di belakangnya, lalu saya, Bang Yoan, dan Bang Sarman sebagai sweeper. Vegetasi awal menuju Pintu Rimba masih berupa kebun teh sampai akhirnya mulai masuk ke dalam hutan dan tak berapa lama, tibalah kami di Pintu Rimba, pintu pendakian Gunung Kerinci.


Pemandangan setelah Pintu Rimba, mulai masuk hutan.

Tak lama kami di sini, perjalanan dilanjutkan kembali menuju Pos 1. Dari Pintu Rimba menuju Pos 1 ini medannya juga masih enak, landai, rapat di antara pepohonan hutan hujan tropis, sehingga perjalanan cukup adam. Sesekali terdengar kicau burung-burung endemik Gunung Kerinci dan sahut-sahutan suara Bekantan.


Sekitar 30 menit kami berjalan dari Pintu Rimba, tiba juga akhirnya di Pos 1. Istirahat sejenak, perjalanan kami lanjutkan menuju Pos 2. Dari sini medannya mulai tak bersahabat. Tanjakan-tanjakan dan lutut ketemu dada dimulai. Sangat sedikit jalan menurun atau datar, Bang Epi berujar, “sedikit bonusnya mulai dari sini bang”. Ia terkekeh.


Pos 1 atau biasa disebut Pos Bangku Panjang dan shelter untuk berteduh. Nampak Bang Epi dan Bang Yudha.


Jalur pendakian Gunung Kerinci merupakan jalur pendakian air, sehingga tanahnya selalu gembur dan licin jika musim hujan. Pagi itu cuaca cerah dan jalur tidak terlalu basah. Namun sesekali terdapat tanjakan curam yang mengharuskan kami memanjat atau berpegangan ke akar pohon.


Cukup melelahkan perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2. 30 menit kami berjalan, akhirnya tiba juga di Pos 2. Tak lama kami di sini, karena memang tidak ada shelter untuk beristirahat dan berteduh. Selain itu, pendaki tidak disarankan berlama-lama di Pos 2 karena pos ini merupakan jalur Harimau Sumatera lewat. Tidak lucu juga jika tengah asyik melepas lelah lalu kami diterkam si hewan langka ini.


Papan petunjuk Pos 2 atau yang bisa disebut Pos Batu Lumut.


Perjalanan kami lanjutkan, dan dari sini… medannya semakin menyiksa. Mulai ngos-ngosan saya dan baju mulai basah. Bang Yoan juga mulai terengah-engah. “Ini akibatnya kalau kebanyakan merokok”, ujarnya disambut tawa kami. Sesekali kami istirahat di perjalanan menuju Pos 3. Saya mulai berpikir, pantas saja gunung tertinggi kedua di Indonesia ini bisa dicapai hanya dalam waktu dua hari satu malam, lah medan pendakiannya seperti ini. Nanjak terus tanpa ampun, bahkan Semeru yang notabene nomor 4 di Indonesia saja saya gapai dalam waktu dua hari satu malam puncaknya, demikian juga Rinjani yang satu tingkat di atasnya. Tetapi Kerinci, tanpa ampun ia memaksa kami terus naik jika ingin menggapai puncaknya.


Banyak pendaki mengatakan jika pendakian Gunung Kerinci yang sebenarnya dimulai dari Pos 3 ke Shelter 1, 2, 3, dan sampai puncak. Namun tidak bagi saya. Semenjak dari Pos 1, pendakian Kerinci sudah dimulai. Medannya yang memiliki sedikit “bonus” dan terus menanjak tanpa iba, memaksa lutut dan paha bekerja keras. Mulai saya rasakan kontraksi otot di lutut dan paha yang meronta-ronta ingin berhenti.


Pukul 10.00 WIB, setelah memaksa langkah dan tenaga, sampai kami di Pos 3. Agak lama kami istirahat di sini karena otot paha dan betis yang mulai tegang. Ketika di Pos 3 ini, kami juga bertemu dengan salah satu pemandu wisata lokal yang tengah beristirahat. Ia menemani tamu-tamu asing yang tengah memburu foto-foto burung asli Kerinci. Entah burung apa itu. Ia berdua bersama temannya yang tengah di atas, menemani para tamu, sementara ia menunggu di sini. Cukup beristirahat, kami melanjutkan pendakian menuju Shelter 1. Pendakian yang kata sebagian orang baru saja dimulai.


Beristirahat di Pos 3, ada shelter kecil juga di sini untuk berteduh. Nampak guide lokal yang memandu rombongan birdwatching asal Inggris di foto kedua.


Jika dari Pos 2 ke Pos 3 kami sudah dihajar oleh tanjakan yang tiada henti, ternyata dari Pos 3 ke Shelter 1 tanjakan tersebut masih berlanjut. Berpengangan pada akar pohon dan panjat-memanjat mulai naik frekuensinya. Jika tidak berpegangan pada akar-akar pohon, akan sangat sulit bagi kami untuk menaklukkan jalur tanjakan yang licin dan hampir melebihi tinggi badan.


Cukup banyak kami berhenti di jalur ini. Selain karena lelah, juga karena berpas-pasan dengan pendaki-pendaki lain yang baru turun dari Shelter 3. Jalur yang sempit memaksa kami saling mengalah dan melipir, sembari bertukar sapa dan senyum yang ramah. Hari itu kami berpas-pasan juga dengan rombongan pendaki asal Singapura yang turun ditemani guide dan porternya.


Sekitar satu jam kami berjalan, paha, betis, dan lutut sudah merengek minta istirahat, tiba juga kami di Shelter 1. Pukul 11.30 WIB, keril di punggung segera diselongsorkan ke tanah dan otot-otot badan dilemaskan. Paha saya mulai kram, segera saya luruskan kaki saya, menikmati angin dingin yang mulai menusuk baju yang basah.


Lama kami beristirahat di sini, sekitar satu jam. Bekal mulai dibuka, mulai dari biskuit-biskuit ringan sampai nasi bungkus. Sebenarnya kami belum terlalu lapar, namun Bang Epi dan Bang Sarman mengatakan bahwa sebaiknya kami makan dulu. Mereka juga sudah lapar katanya. Oh iya, di sini kami juga bertemu rombongan turis asing yang melakukan kegiatan birdwatching di Kerinci. Pemandu mereka adalah kawan dari pemandu yang kami temui di Pos 3 tadi. Ia nampak lelah menemani rombongan opa-opa asal Inggris ini.


Shelter 1 dan rombongan opa-opa birdwatching asal Inggris yangtetap kuat meskipun sudah tua. Ada sumber air di Shelter 1, jadi bisa untuk berkemah dan tempatnya cukup luas. Namun sayang, kebersihannya kurang terjaga.

Siang itu kami menikmati nasi ayam goreng dan sambal, bekal bungkusan Ibunda Bang Wawan di basecamp tadi. Nasi yang diberikan termasuk dalam porsi kuli, melihatnya saja sudah membuat saya kenyang. Namun apa boleh buat, nasi ini harus dihabiskan, karena mubazir jika tidak. Siapa yang mau melahap dua porsi nasi bungkus sebesar ini dan tentu sudah tidak enak jika disimpan sampai Shelter 3. Bang Yudha tampak menyerah, tak sampai setengah porsi yang ia lahap. Dibungkusnya kembali nasinya dan dimasukkan ke dalam daypack-nya. Sementara Bang Sarman, Bang Epi, dan Bang Yoan tampak lahap menikmati.

Tandas juga bekal saya, segera kami bergantian melakukan shalat Dzuhur jamak Ashar. Paha dan kaki saya mulai kram kembali di sini. Dapat saya lihat dan rasakan paha saya berkedut-kedut. Belum pernah saya merasakan hal ini sepanjang sejarah pendakian saya. Memang, trek Kerinci luar biasa, baru sampai Shelter 1 saja paha saya sudah merengek minta berhenti.

Bang Sarman dan Bang Epi menyarankan saya meluruskan kaki saja dahulu, sembari kedua tangan saya sibuk mengoleskan counterpain ke kedua paha yang bergejolak. Dua betis dan paha saya habis dilahap oleh hangatnya counterpain. Lumayan enakan.


Sejam beristirahat, perjalanan kami lanjutkan. “Wuih, baru jam 12 kita sudah sampai di Shelter 1, luar biasa. Biasanya kami tiba di sini jam 12.30 atau 13.00”, seringai Bang Sarman. “Bisalah jam 15.00 kita sudah di Shelter 3”, candanya. Canda, karena kami semua tahu itu adalah mustahil. Bahkan, tantangan sebenarnya baru akan dimulai.


Langkah kembali diseret. Medan yang dilalui tak jauh berbeda, tetap hutan hujan tropis yang rapat dan tentu, akar pohon dan tanjakan-tanjakan. Baru sekitar 15 menit berjalan, perut saya mulai bermasalah lagi. Padahal tadi pagi saya sudah menelan dua tablet obat maag dan sepertinya baik-baik saja. Mesti akibat porsi makan yang terlalu banyak dan sambal di ayam tadi, pikir saya. Sedikit menyesal, mengapa saya mesti memaksakan menghabiskan porsi makan super besar, padahal perut saya mungkin belum siap. Belum lagi hembusan angin dingin yang menerpa baju yang basah akibat peluh. Klop sudah menjadikan saya masuk angin.


Masih kuat, saya berjalan perlahan sembari bersendawa dan menahan sakit yang pelan-pelan mulai menusuk. Formasi kini berubah, Bang Yudha dan Bang Epi sudah agak jauh di depan. Bang Yoan di tengah dan beberapa langkah di depan saya. Saya di baris keempat dengan Bang Sarman di paling belakang.


Sekitat 1,5 jam berjalan, kami tiba di Shelter 2 Bayangan. Bayangan karena ia bukanlah Shelter 2 yang sesungguhnya, shelter 2 yang sesungguhnya masih sekitar 20 menit di depan kami. Saya melepas lelah di sini sembari memijit-mijit punggung leher yang terasa mual. Kaki kembali diluruskan dan keril disapihkan sebentar di samping. Bang Yudha sudah lebih dulu tiba di sini. Kami memutuskan beristirahat sejenak.


Tak lama, perjalalan kami lanjutkan kembali. Sakit di perut saya tak berhenti, justru malah semakin menjadi. Tapi tak mungkin saya berhenti sampai di sini. Sudah terlalu jauh untuk putar balik dan turun ke bawah. Sempat terbersit pikiran negatif, saya sudah sejauh ini, masa tidak bisa sampai puncak? Haruskah berakhir di sini? Selintas terbayang wajah orang tua dan orang-orang yang saya sayang. Memang, di titik paling rendah dalam hidup seseorang, ia kadangkala memikirkan orang-orang yang ia sayang.

Namun segera saya tepis jauh-jauh segala pikiran negatif. Saya masih yakin dan kuat untuk setidaknya sampai di Shelter 3, pos terakhir untuk berkemah. Tidak lama lagi adalah Shelter 2, lalu berjalan sedikit adalah Shelter 3. Saya lebih dari ini, pikir saya menguatkan diri.


Dalam keadaan seperti ini, penting untuk menguatkan diri, karena tidak ada yang dapat menolong kita kecuali diri kita sendiri dan Yang Maha Kuasa. Teman sependakian tentu ada, namun tentu juga kita tidak ingin merepotkan mereka. Bagaimanapun juga, keselamatan, persiapan, dan proses pandakian adalah tanggung jawab masing-masing individu.


Syukurlah, setelah kira-kira setengah jam berjalan, tiba kami di Shelter 2. Shelter 2 ini hanyalah sepetak tanah dengan papan petunjuk yang sudah rompal oleh coret-coretan vandal pendaki yang bandel. Sudah setinggi ini masih saja ada orang-orang yang tidak bisa menjaga sikap. Oh iya, mulai dari sini, kami sudah sering bertemu pendaki-pendaki yang turun dari puncak. Termasuk, rombongan pendaki asal Singapura yang ternyata rombongan besar dengan 30 anggota lebih dan 12 porter. Pantas saja dari tadi mereka tidak ada habis-habisnya kami temui.


Shelter 2, sayang papan petunjuknya sudah roboh dan penuh coretan.

Shelter 2 ini juga sebagai pembatas antara jalur pendakian Kerinci yang manusiawi dan tidak manusiawi. Tidak manusiawi sebab dari langkah pertama kita beranjak dari Shelter 2 ke Shelter 3, jalurnya sudah bukan jalan setapak lagi, melainkan lubang-lubang besar seperti parit yang licin, naik-turun, dan becek apabila musim hujan. Terdapat akar pohon di kanan-kiri parit yang sempit, itulah jalur pendakian yang sebenarnya. Para pendaki harus bergantian bergelantugan, memanjat, bertumpu, pada akar-akar pohon yang menjulur kokoh, terkadang rapuh, di kanan-kiri parit. Bisa saja melalui parit, namun tanggung sendiri risikonya yang licin dan terkadang ada tanjakan yang melebihi tinggi badan. Tak ada tempat berpegangan kecuali melipir ke akar-akar pohon di kanan dan kiri parit.


Tepat di atas Shelter 2, jalur seperti ini yang terbentang dari Shelter 2 ke Shelter 3.


Tak lama kami di Shelter 2, karena sudah cukup beristirahat di Shelter 2 Bayangan. Perjalanan kali ini sedikit lebih semangat karena membayangkan sebentar lagi tiba di Shelter 3 dan mendirikan tenda. Bang Yoan yang biasanya santai, kini mulai memacu langkah. Sementara Bang Yudha juga sudah jauh di depan. Saya sendiri, mesti memaksakan niat dan langkah untuk menaklukkan jalur di depan. Bukan apa-apa, sakit perut saya semakin menjadi. Memang, terkadang ia hilang jika saya bersendawa, namun terkadang ia muncul dengan rasa mual, dan kini sedikit pusing. Bang Epi berpamitan ke kami hendak berjalan duluan karena ia mau mendirikan tenda terlebih dahulu. Bang Yudha dan Bang Yoan juga menyusul di belakangnya. Resmi, kini saya tertinggal di belakang bersama Bang Sarman dan rasa sakit yang menyusahkan.

Banyak istirahat saya di jalur ini, tak enak juga dengan Bang Sarman. Ia setia menemani saya sembari memotivasi dan mengingatkan untuk pelan-pelan saja. Sungguh, keberadan kawan di situasi seperti ini adalah anugerah yang tak terkira. Pembawaan Bang Sarman yang tenang cukup membuat saya waras. Kembali, deretan gambar-gambar wajah orang-orang yang saya sayang melintas di pikiran. Saya pasti bisa, sedikit lagi. Tak mungkin saya mati di tengah hutan dan gunung seperti ini. Tidak, tidak, saya tidak ingin kematian yang demikian.

Langkah yang terseret dan sakit yang tertahan, setidaknya terhibur oleh pemandangan dari jalur yang mulai indah. Hal ini juga menjadi motivasi saya untuk terus memacu langkah. Di atas sana pasti lebih indah pikir saya. Praktis, sore itu di jalur hanya ada saya, Bang Sarman, dan suara-suara angin. Sebab tiga orang kawan saya yang lain sepertinya sudah ada di Shelter 3 dan mendirikan tenda. “Ayo, sedikit lagi..”, motivasi Bang Sarman.


Pemandangan sore yang indah menjelang Shelter 3.


Sakit semakin menjadi, namun tujuan di depan terus memotivasi dan tak ada alasan berhenti. Pukul 17.00, setelah melalui satu tikungan tanjakan yang curam dengan berpegangan pada akar pohon, sampailah saya di Shelter 3. Sebuah dataran terbuka yang cukup luas di lereng puncak Gunung Kerinci. Kawan-kawan saya tampak tersenyum gembira melihat saya dan Bang Sarman. “Yeahh..!!” teriak saya. Bang Epi sudah mendirikan dua tenda, tinggal memasang flysheet saja dan rumah sementara kami siap ditempati.


Tenda kami sudah jadi. Dari kiri ke kanan: Bang Yoan, Bang Epi, dan Bang Yudha.

Satu hal yang segera saya lakukan begitu tiba di Shelter 3 adalah, muntah. Iya, perut saya semakin mual dan sudah saatnya ia dibebaskan. Setelah merebahkan keril sekenanya dan berjalan ke pojokan shelter, resmilah seluruh isi perut saya keluar. Agak enakan rasanya.

Beres dengan tenda dan flysheet-nya, kami mulai mendekor kamar masing-masing. Saya, Bang Yudha, dan Bang Yoan, satu tenda, sementara Bang Epi dan Bang Sarman satu tenda bersama peralatan masak. Sebelum merebahkan diri di tenda, kami sempat foto-foto dahulu. Sore itu di Shelter 3 Gunung Api Tertinggi di Asia Tenggara sungguh cerah.


Pemandangan sore di Shelter 3. Kami, di atas awan.

Tak lama, karena perut mulai sakit kembali dan udara mulai dingin, saya masuk tenda dan berganti pakaian. Tak lupa sebotol minyak kayu putih saya oles ke seluruh permukaan badan. Sleeping bag dibuka dan digelar, masuklah saya ke dalamnya untuk menikmati malam panjang di Shelter 3.

Saya sempat tertidur sampai selesai Maghrib. Bang Yudha dan Bang Yoan membangunkan saya untuk makan malam. Saya tidak bernafsu sebenarnya, namun lebih bahaya jika perut saya kosong. Setelah terlebih dahulu shalat Maghrib jamak Isya, saya mulai melahap santap malam yang diantarkan oleh Bang Epi ke tenda kami. Makan malam itu bukanlah nasi, namun nugget ajaib, begitu kata Bang Epi dan Bang Sarman. Sebenarnya, itu bukan nugget, hanyalah cireng yang digoreng. “Ini mah cireng kalau di Bandung”, ujar Bang Yudha. “Oh iya? Di sini kami menyebutnya nugget ajaib bang”, ujar Bang Sarman sembari terkekeh. Saya hanya memakan setengah potong cireng, menenggak secangkir air hangat, dan dua tablet obat maag. Setelah meminta izin pada kawan-kawan, kembali saya rebah dalam sleeping bag. Sementara keempat kawan saya memilih melanjutkan mengopi dan berbincang.


Tak bisa nyenyak saya tidur malam itu, sebab sakit perut yang mendera menyebabkan tak ada posisi tidur yang enak. Belum lagi rasa pusing yang tak mau kalah turut menghujam. Saya paksakan mata terpejam dan otot-otot beristirahat. Bagaimana tidak, besok subuh adalah perjalanan terpenting yang harus kami lakukan, summit attack puncak Gunung Kerinci.


Tengah malam saya bangun. Kali ini perut saya semakin tak enak dan berubah menjadi mules. Wah, harus diselesaikan ini urusan di belakang, pikir saya. Agak malas juga sebenarnya mau keluar dan buang air, sebab suara angin yang menerpa tenda sudah cukup memberi bayangan akan dinginnya suhu di luar. Mencoba menahan, namun apa daya tak sanggup. Keluar saya dari sleeping bag dan meminjam sandal Bang Yoan. Bang Yudha tebangun dan bertanya saya mau ke mana. Hendak ke belakang ujar saya, sakit perut. Ia mengangguk sembari menatap cemas. Berbekal headlamp, pisau lipat, dan masing-masing satu pak tisu basah dan tisu kering, ditunaikanlah hajat ini.

Ini adalah pengalaman pertama saya buang air di gunung. Dari rangkaian pendakian saya sebelum-sebelumnya, tak pernah sekalipun saya buang air di gunung, bahkan termasuk kelompok yang paling anti. Mendaki Rinjani yang lima hari itupun saya juga tidak buang air. Maklum, saya lebih memilih menahan hingga tiba di toilet daripada menggali-gali seperti kucing. Bahkan logika saya sempat tak sampai ketika melihat ekspresi gembira dan nada bahagia Mulyanto, kawan pendakian saya sebelum-sebelumnya yang hobi buang air di gunung. “Enak tahu, sambil lihat pemandangan bagus”, ujarnya dengan senyum sumringah. Aneh, pikir saya.


Namun kali ini prinsip saya yang kokoh itu harus saya telan bulat-bulat. Ia hanya mampu bertahan sampai Shelter 3 Gunung Kerinci. Sekalinya saya buang air di gunung, saya lakukan selama tiga kali berturut-turut dalam semalam. Saya diare, di atas gunung. Diare di kostan sendiri saja sudah susah, apalagi ini di atas gunung, di Shelter 3 Gunung Kerinci, Gunung Api Tertinggi di Asia Tenggara, Puncak Tertinggi nomor dua di Indonesia, di tengah lereng yang sepi berselimut debu, yang tim SAR bahkan PMI pun berpikir sepuluh kali untuk naik dan menolong orang di sini. Namun, pengalaman pertama itu tidaklah sepenuhnya buruk. Saya mendapat spot yang bagus dan menikmati pemandangan malam yang luar biasa indah dari Shelter 3. Lampu-lampu Kota Jambi, Padang, dan mungkin Bengkulu, terlihat dari sini. Akhirnya sampai juga saya pada logika si kampret Mulyanto, ternyata memang tidak seburuk itu. Apalagi angin malam itu hanya besar di bunyi namun terpaannya cukup lembut.

Tiga kali bolak-balik, enam tablet Diatab sudah saya tenggak. Bang Yudha nampak cemas dan prihatin. Ia adalah seorang dokter, jiwa menolongnya keluar mungkin. Ia memberikan saya Gazero, obat masuk angin andalannya. “Coba minum ini, saya biasanya enakan kalau sudah minum Gazero”, ujarnya. Namun, tidak membantu banyak. Menjelang subuh, saya harus melipir keluar tenda untuk keempat kalinya.


Pendakian Hari Kedua, Sabtu 21 Oktober 2017

Pukul 04.00 WIB, kami semua telah bangun dan bersiap melakukan summit attack. Kondisi saya masih setengah mengantuk dan lemas karena hampir semalaman dihajar oleh diare. Bang Yoan masih membungkus diri di sleeping bag sembari duduk menghirup air hangat. Bang Yudha sibuk mengurusi perlengkapan yang akan ia bawa ke atas. Pagi ini kami tidak akan membawa barang banyak, hanya dailypack milik Bang Yudha dan beberapa botol air minum.

Bang Epi dan Bang Sarman juga nampaknya telah terjaga. Dapat kami dengar suara mereka berbincang di antara klontang-klenteng bunyi alat masak. Sepertinya mereka tengah menyiapkan sarapan, bekal sebelum menggapai ketinggian 3.805 MDPL. Saya pun mulai menyiapkan peralatan tempur.


Sial, belum selesai saya menyiapkan peralatan untuk summit attack, sakit perut kembali mendera. Bang Yoan tersenyum kecil ketika melihat ekspresi saya yang mendadak terdiam. Bang Yudha angkat bicara, “Kenapa? Sakit perut lagi?” Saya hanya tersenyum kecut. Kedua kawan saya tertawa.


Menjelang summit attack, kembali untuk kelima kalinya dalam satu malam saya harus berurusan dengan gali, tisu basah, dan tisu kering. Sudah habis satu pak tisu basah dan tisu kering milik saya, inipun saya membawa persediaan Bang Yoan. Sial memang, namun jika urusan ini tidak diselesaikan, bisa lebih gawat nanti di atas jika tiba-tiba kebelet.


Subuh itu benar-benar saya selesaikan dengan urusan perut. Balik ke tenda, rasanya sudah agak enakan. Bang Yudha memberikan setermos air hangat. Bang Yoan menanyakan apakah saya baik-baik saja. Tidak, saya tentu tidak baik-baik saja setelah apa yang terjadi semalaman ini, namun untuk sekarang, sudah agak enakan. Rasanya isi perut saya sudah keluar semua.

Bang Epi dan Bang Sarman menyiapkan teh dan kopi hangat untuk kami. Cireng sisa semalam juga dihangatkan kembali. Saya tidak makan, rasanya lebih baik seperti ini, daripada masuk makanan tapi tak berapa lama sudah meronta ingin keluar. Saya menenggak segelas teh panas. Cukup enak rasanya.

Setelah sholat Subuh dan menyiapkan perlengkapan, pukul 05.30, kami keluar tenda. Saya membungkus diri saya dengan sweeter hangat, jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki, syal, gaiter, dan buff. Pagi itu cuaca sepertinya cerah, angin juga relatif tak ada, pas untuk summit attack. Sedikit ajaib karena kami mendaki di musim hujan dan seminggu lalu Kerinci diguyur badai sepanjang hari.


Sempat ragu saya meninggalkan tenda karena tidak ada yang menjaga. Saya bertanya ke Bang Epi, apakah tak apa jika kita pergi ke puncak tapi tendanya dibiarkan kosong tidak dijaga? Tak apa katanya, di sini tidak ada maling. Kondisi ini kontras ketika saya naik Rinjani, dimana tangan-tangan jahil para pencoleng tak segan merobek tenda. Jika barang dan makanan tak raib oleh penyamun, maka monyet-monyet seukuran anak kecil di Plawangan Sembalun yang harus diwaspadai.


Memang, pagi itu hanya ada tiga tenda di Shelter 3, dua tenda kami, dan satu tenda pendaki dari Makassar yang sepertinya mereka juga bersiap untuk summit attack. Situasi ini jauh berbeda dibanding gunung-gunung lain yang pernah saya daki, yang notabene kamp menuju puncak selalu penuh. Tapi inilah Kerinci dan segala tantangannya, pagi ini hanya ada kami dalam hitungan jari.


Kami mulai berjalan dalam formasi berbaris. Bang Epi di depan, disusul Bang Yoan, Bang Yudha, saya, lalu Bang Sarman. Mulai dari Shelter 3 sampai puncak Kerinci, vegetasinya terbuka dengan jalan berpasir halus dan berkerikil, khas vegetasi menjelang puncak. Tak ada jalur landai di sini, jalurnya terus menanjak melewati jalan berkelok, sesekali berpegangan pada akar pohon dan batu, walau tidak securam jalur puncak Mahameru.


Terserang diare semalaman sepertinya berpengaruh pada kondisi fisik saya. Rasa lelah cepat menyergap saya, belum lagi perut saya kosong. Namun sedikit lagi, sedikit lagi pikir saya. Saya sudah menempuh perjalanan ratusan kilometer ke kaki Gunung Kerinci, berjalan menembus jalur terjal seharian penuh, hingga akhirnya tiba di sini. Tidak mungkin saya putar arah dan berhenti di sini. Tidak, saya harus sampai puncak.


Rasa sakit perlahan mulai menyerang perut saya, syukurlah tidak diikuti rasa mules. Langkah saya semakin kecil, namun kaki saya tetap bergerak. Bang Yudha sudah beberapa langkah di depan saya. Sementara Bang Epi dan Bang Yoan sudah jauh di atas. Hanya Bang Sarman yang setia mengimbangi langkah saya di belakang.


Setelah sekitar setengah jam berjalan, kami beristirahat sejenak. Bang Yudha dan Bang Epi menunggu kami di atas. Segera saya bergabung dengan mereka. Sementara Bang Yoan, tampaknya ia paling bersemangat. Ia beberapa puluh meter di atas, beristirahat juga. Pemandangan pagi itu di perjalanan menuju Puncak Kerinci sungguh cantik. Kami memang terlambat untuk sunrise di puncak, namun setidaknya mendapatkan matahari terbit di jalur pendakian juga sudah luar biasa.


Sunrise di perjalanan menuju puncak.


Pemandangan dari jalur puncak Gunung Kerinci.


Istirahat sejenak. Nampak Bang Yoan, Bang Yudha, dan Bang Epi.


Beres foto-foto dan istirahat, kami berjalan kembali. Kali ini rombongan pendaki asal Makassar sudah beriringan bersama kami. Langkah saya semakin payah dan perut saya semakin menjadi sakitnya. Terkadang saya harus berhenti sembari menunduk dan menarik nafas panjang. Sempat terpikir untuk menyerah dan sampai di sini. Sudah puas di perjalanan menuju puncak.


Kenangan saya terlempar ke Dimas, kawan pendakian saya di Gunung Rinjani yang memutuskan berhenti di jalur menuju puncak, padahal tinggal setengah jam lagi untuk menggapai Puncak Dewi Anjani. Saya membayangkan berada di posisinya, sungguh menyesal jika saya menjadi dia waktu itu. Sedikit lagi, dan saya menyerah. Padahal bisa jadi ini adalah kesempatan sekali seumur hidup, entah kapan, atau mungkin tidak akan lagi, saya mendaki Gunung Kerinci. Sudah sejauh ini, saya tidak boleh berhenti atau menyesal seumur hidup.

Terus saya seret langkah yang tentu, banyak istirahatnya. Posisi saya dan Bang Sarman makin jauh di belakang. Bang Yoan sudah tiba di Tugu Yudha, tugu peringatan akan hilangnya pendaki bernama Yudha secara misterius di jalur pendakian puncak Gunung Kerinci. Tugu itu juga pertanda bahwa puncak sudah lebih dari setengah jalan. Sementara Bang Epi dan Bang Yudha juga sebentar lagi mencapai Tugu Yudha. Saya, masih meringis menahan sakit beberapa puluh meter di belakang. Kecil sekali nampak tubuh Bang Yoan.

Akhirnya setelah sekitar setengah jam berjalan, pukul 07.30, saya tiba di Tugu Yudha. Duduk sebentar saya di situ. Sementara Bang Epi dan Bang Yudha juga baru saja selesai istirahat dan bersiap berjalan. Bang Yoan, ia sudah jauh di atas, hampir sampai di bibir puncak.


Tugu Yudha. Dan setiap yang bernyawa, pasti akan merasakan mati.


Kami berempat memutuskan berjalan beriringan. Namun baru sekitar 10 menit berjalan, perut saya sakit kembali dan memaksa saya menyeret langkah perlahan. Sedikit demi sedikit Bang Epi dan Bang Yudha pun makin jauh jaraknya. Bang Sarman saja yang masih tenang di belakang.

Setengah jam saya berjalan sembari sesekali beristirahat dan disemangati Bang Sarman, kawan-kawan saya mulai terlihat jauh. Bang Yoan sudah tak tampak, sepertinya ia sudah tiba di puncak. Bang Epi dan Bang Yudha sedikit lagi tiba di bibir puncak. Kenangan orang-orang yang saya sayang kembali melintas. Sakit sekali perut saya. Beberapa kali saya bisikkan nama-nama mereka yang saya cintai yang tiba-tiba hadir di tengah hembusan angin gunung. Entah, itu menjadi semacam energi bagi saya untuk terus menyeret langkah.


Kini ketiga kawan saya sudah tak nampak lagi di bibir puncak, sepertinya mereka sudah tiba di puncak. Saya sendiri masih beberapa puluh meter di tanjakan menuju puncak. Hanya terlihat dua pendaki asal Makassar yang dari tadi sudah mendahului saya. Mereka nampak duduk dan berbincang santai di bibir puncak.


Lima belas menit berjalan, sembari menahan sakit, saya tertunduk sejenak. Bang Sarman juga berhenti dan terdiam di belakang. Ia tampak santai. Dua pendaki asal Makassar tinggal beberapa puluh langkah di depan saya. “Ayo, dikit lagi bang! Itu puncaknya sudah keliahatan!” mereka menyemangati.


Saya tersenyum dan mulai melangkah kembali. Bang Sarman mengikuti perlahan. Akhirnya, setelah dua jam lebih berjalan kaki, menyambut uluran tangan pendaki asal Makassar, saya tiba di bibir puncak. Pancang pertanda Puncak Kerinci ada lima meter di depan saya. “Wuaaahhh!!” teriak saya lantang sembari mengepalkan kedua tangan di udara. Resmi sudah, Puncak Tertinggi Kedua di Indonesia, Gunung Api Tertinggi di Asia Tenggara, saya capai. Luar biasa senang dan haru saya pagi itu. Segera saya bersalaman dengan Bang Yudha dan Bang Yoan. Bang Epi tersenyum lebar dan Bang Sarman pun demikian. Sesi foto-foto pun dimulai.

Saya mulai mengeluarkan bendera PK-108 dan LPDP yang saya titip di daypack Bang Yudha sebelum berangkat tadi. Inilah tujuan utama saya menembus terjalan jalur Kerinci dan menekan rasa sakit sedari hari kemarin. Mengibarkan bendera yang bisa jadi tidak akan saya lakukan lagi di masa mendatang. Secarik kertas berisi pesan penyemangat untuk orang tersayang pun saya keluarkan juga. Alasan kedua untuk menggapai puncak 3.805 MDPL.


Berfoto di puncak Gunung Kerinci. Bendera merah putih dan bendera PK-108 dan LPDP, alasan utama saya menempuh ribuan langkah ke Kerinci.

Berlima kami berfoto di puncak, kawan-kawan pendakian saya yang luar biasa hebat dan baik hati. Walau pertama kali bertemu di Kerinci ini, namun keakraban kami terasa seperti kawan lama. Memang, alam adalah tempat paling pas untuk menyatukan manusia. Tersembunyi ketulusan, kebaikan, dan pengorbanan di balik hembus dingin angin gunung dan untaian debu sepatu para pendaki.


Kami berlima, komplit. Dari kiri ke kanan: Bang Epi, Bang Sarman, Bang Yoan, Bang Yudha, saya.

Tak lupa kami juga berfoto dengan para pendaki asal Makassar. Luar biasa perjalanan mereka, sampai di pulau seberang hanya demi puncak Kerinci. Tak lama kami di puncak, karena hari mulai merangkak siang. Selain itu, perut saya sakit kembali dan mulai mules. Celaka ini. Saya meminta satu pak tisu basah dan tisu kering dari Bang Yudha, jaga-jaga jika di tengah jalan tidak bisa menahan. Repot jika ia yang bawa dan saya tertinggal di belakang, tamat sudah.

Pukul 08.30 WIB, kami berenam harus berpamitan dengan keelokan dan suasana pagi yang cerah di puncak Gunung Kerinci. Deretan pegunungan bukit barisan dan selimut awan tampak gagah dan menawan di bawah mata kami. Iya, kami berdiri di atas gumpalan awan dan memandang rendah pada deretan bukit barisan yang indah.


Pemandangan dari puncak dan kawah Gunung Kerinci.


Kali ini jarak kami ketika turun tidak terlalu terpisah. Perlu dicatat di sini, pendaki sering kali keluar jalur ketika turun dari puncak Kerinci. Hal ini dapat dipahami, sebab vegetasi yang berupa hamparan pasir kerikil yang luas, membuat para pendaki sering lengah, ditambah kelelahan ketika summit, dan tidak memperhatikan jalur turun dari puncak yang memang samar. Pendaki biasanya turun sekenanya saja dengan bermain seluncur atau berlari di atas pasir. Padahal, hal ini berbahaya. Jika Mahameru memiliki Zona Blank 75, yaitu jalur tengkorak dengan jurang di sampingnya yang kerap memakan korban, maka di Kerinci juga ada jalur-jalur berbahaya yang jika kita tidak memperhatikan jalur turun, bisa jadi juga akan hilang. Ingat kisah Tugu Yudha di atas? Konon katanya, ia juga hilang ketika turun dari puncak Kerinci dan tubuhnya tak dapat ditemukan sampai sekarang, meski telah dicari oleh Tim SAR dan TNI.

Jalur turun ini sama seperti jalur naik. Jalur naik-turun puncak Kerinci ditandai dengan parit besar yang membelah lereng puncak. Pendaki disarankan mengikuti aliran parit tersebut untuk naik dan turun. Tanjakan dan turunan sudah tentu banyak sepanjang jalur. Belum lagi strukturnya yang berpasir, licin, dan dipenuhi batu. Terkadang batu-batu tersebut berguna untuk berpegangan ketika turun dan naik, namun beberapa di antaranya menipu, rapuh dan rawan tergelincir kala dipegang atau diinjak. Pendaki disarankan pintar-pintar memilih langkah dan waspada.

Sekitar setengah jam turun, kami sudah sampai di Tugu Yudha. Kami masih berjalan beriringan dengan jarak sekitar tiga meter. Perut saya sedari tadi telah sakit, namun tetap saya tahan. Kini melewati Tugu Yudha, rasa sakit itu berganti menjadi momok menakutkan bernama mules. Sial, harus saya selesaikan urusan ini, jika tidak, akan tersiksa saya sampai Shelter 3.

Kali ini kami mulai agak berjarak. Bang Epi sudah jauh di depan, ia mengejar waktu sebab ingin masak sebelum turun dari Shelter 3. Bang Yoan juga sudah beberapa puluh meter di depan saya, sementara Bang Yudha masih relatif dekat dari saya. Bang Sarman dengan santai berjalan di paling belakang.

“Aduh, saya sakit perut nih”, ujar saya ke Bang Yudha. “Sakit perut lagi?” tanya Bang Yudha dengan tatapan kasihan sekaligus menahan senyum. “Duluan aja bang, nanti saya nyusul”, ujar saya padanya.

Bang Yudha mengangguk dan ia pun menyusul Bang Yoan yang menunggu di depan. Saya segera memberi tahu Bang Sarman bahwa saya sakit perut dan ingin melipir sebentar. Ia mencoba memastikan saya, tak mau nanti saja di Shelter 3? Saya menggeleng dan mengatakan bahwa ini sudah tak dapat dikompromikan lagi.

Ia paham dan mengatakan akan menunggu di bawah, sekitar sepuluh meter di depan. Saya naik kembali untuk mencari spot aman guna menyelesaikan urusan perut ini. Tentu harus dipinggir jalur tetapi jangan sampai melenceng terlalu jauh. Apalagi kabut sudah mulai turun dan jarak pandang saya terbatas. Bang Sarman yang menunggu di bawah pun sudah tak kelihatan karena terhalang kabut.

Dapat tempat yang pas, segera saya selesaikan urusan perut. Benar-benar saya habiskan semua sakit dan penderitaan di sini. Habis ini tinggal turun, pikir saya. Sekitar setengah jam saya berkhidmat dengan urusan perut. Udara mulai dingin dan kabut makin tebal, menghalangi pandangan saya. Pagi itu hanya ada saya dan Bang Sarman di jalur menuju puncak. Para pendaki asal Makassar juga telah turun sedari tadi, mendahului kami.


Selesai dengan urusan perut, saya mulai berjalan kembali ke bawah. Namun sial, kabutnya tebal sekali, tak dapat saya melihat jalur tiga meter ke depan. Vegetasi yang terbuka dan hamparan pasir yang rupanya serupa membingungkan saya mengambil langkah. Mungkin ini yang sedari kemarin dikhawatirkan Bang Sarman dan Bang Epi. Mereka begitu perhatian pada kabut dan ketika kami summit attack, mereka selalu mengingatkan kami agar berhati-hati ketika kabut mulai turun.


Kabut mulai turun.


Saya mulai panik karena benar-benar tak tahu jalur yang benar ada di sebelah mana. Siapa yang tak panik di kondisi tersebut, sendirian di jalur puncak, tak dapat melihat jalur, dan diselimuti kabut tebal yang kita tidak tahu sampai kapan kabut ini akan menyelubung.


Pelan-pelan saya turun sembari berteriak memanggil Bang Sarman, untuk memastikan arah suaranya darimana. Ia menjawab sahutan saya, dan saya pun bergegas mengikuti arah sumber suara. “Sebelah sini”, teriaknya. Ia berada di sisi kiri saya. Saya pun memotong haluan dan menyeberangi parit, hingga akhirnya dapat melihat sosoknya. Wah, lega juga.


“Lama banget, ku kira abang sudah tertidur”, candanya. Aku tertawa dan kami pun melanjutkan perjalanan. Perut saya sudah enakan saat ini dan dalam waktu setengah jam, pukul 10.00 WIB, kami sudah tiba kembali di Shelter 3. Tampak dua kawan saya sudah sibuk membereskan peralatan dan Bang Epi yang masih memasak.


Isi tenda kami hampir kosong, sepertinya saya melewatkan banyak waktu di atas, karena barang-barang milik Bang Yoan dan Bang Yudha sudah mereka kemas semua. Hanya barang saya yang berserakan di dalam tenda.


Segera saya kemasi barang dan keril. Sarapan dari Bang Epi juga sudah jadi. Pagi itu kami menikmati sepiring nasi goreng dengan telur dadar. Seperti biasa, saya tak mampu menghabiskan satu porsi sendirian, takut perut saya bergejolak kembali. Saya hanya makan lima suap ditambah telur dadar. Sisanya dihabiskan oleh Bang Sarman hehe..


Bang Epi dan Bang Sarman menyarankan kami bertiga turun saja duluan, mereka mau membereskan peralatan dan tenda dahulu. Kami meyakinkan mereka apakah tidak apa? Mereka berdua hanya tertawa, “santai aja bang, kami kan udah biasa.” Baiklah, maklum akamsi, anak kampung sini. Bagi mereka berdua, Kerinci mungkin halaman belakang rumah. Puncak tertinggi kedua di Indonesia, puncak impian banyak pendaki, hanyalah halaman belakang rumah.

Pukul 10.30 WIB, kami bertiga pun berpamitan, menggendong keril, dan mulai turun. Kali ini saya belajar dari pengalaman kemarin. Saya turun menggunakan jaket tebal sebagai pelapis tubuh, mengantisipasi angin gunung yang menghantam baju yang basah sehingga saya masuk angin. Enak juga rasanya, apalagi perut saya juga sudah enakan, tidak ada gejolak sejauh ini. Meski, konsekuensi dari pakaian tebal ini adalah saya sedikit gerah. Namun lebih baik dibanding harus masuk angin.


Kami berjalan beriringan bertiga, Bang Yudha, saya, dan Bang Yoan. Melewati jalur Shelter 3 ke Shelter 2 yang penuh akar pohon, memaksa kami menjadi tarzan ala-ala. Perjalanan turun ini terasa lebih cepat dan lebih ringan. Memang, dimana-mana turun selalu lebih enak daripada naik. Baru 30 menit berjalan, Bang Yoan mengatakan ia kebelet buang air kecil. Saya dan Bang Yudha hendak menunggu, namun olehnya, disarankan kami duluan saja. Kami menyetujui dan tinggallah saya dan Bang Yudha berjalan duluan.


Kurang dari satu jam, kami sudah sampai di Shelter 2. Bang Yoan menyusul tak berapa lama. Sedikit merenggangkan badan, perjalanan kami lanjutkan kembali. Kali ini Bang Yoan di depan, disusul Bang Yudha, dan saya di belakang. Cepat sekali jalannya Bang Yoan ini, saya dan Bang Yudha berjalan berdua di belakang.


Bang Yoan berpose dulu di Shelter 2 sebelum turun.


Tak berapa lama, kami tiba di Shelter 2 Bayangan. Bang Yoan telah tiba terlebih dahulu, ia asyik mengopi dan duduk berbincang dengan rombongan pendaki asal Jambi. Saya dan Bang Yudha pun bergabung.


“Kopi bang”, tawar pendaki asal Jambi ramah. Mereka bertujuh, baru naik kemarin sore dan memutuskan berkemah di Shelter 2 Bayangan karena tak mampu mencapai Shelter 3 malam itu. Rencananya, tadi subuh mereka hendak summit attack ke puncak Kerinci, namun ternyata mereka tak kuat, dan turun lagi ketika sudah memasuki jalur puncak.


“Lelah kami bang, jauh juga kalau summit dari sini. Mungkin besok subuh kami summit”, ujar salah seorang dari mereka. Dapat saya bayangkan memang jauhnya, apalagi ditambah kondisi fisik yang lelah sehabis berjalan semalaman. Cukup lama kami berbincang di sini, mereka sangat santai dan baik hati. Biskuit kelapa dan air hangat mereka menjadi perantara yang bagus untuk terus bertahan. Bang Epi dan Bang Sarman belum terlihat di sini.


Akhirnya setelah sekitar 20 menit beristirahat, kami bertiga pamit dan melanjutkan perjalanan. Ucapan hati-hati dan semoga sukses menjadi kalimat perpisahan di antara kami. Memang, gunung adalah tempat terbaik untuk melihat kebaikan manusia. Kami turut mendoakan satu sama lain karena perjalanan sesungguhnya adalah perjalanan pulang ke rumah masing-masing.


Kami bertiga terus berjalan. Perut saya sudah tidak kambuh lagi sakitnya, sepertinya jaket ini cukup ampuh menahan angin gunung. Walau di dalam, baju saya sudah banjir oleh keringat. Terasa sekali gerahnya ketika beristirahat tadi

Namun masalah lain muncul, kaki saya dan Bang Yudha sudah lemas, paha dan betis kami seperti sudah tidak ada rasanya. Kaki kami seperti kami banting saja sekenanya dan asal berpijak, kerena memang sudah sedikit sekali tenaganya. Dan sialnya, dimana-mana perjalanan turun adalah tentang rem dan tahan, yang berarti, walau sudah dipaksa bekerja keras sedari kemarin, mereka masih harus bekerja ekstra untuk menahan dan mengerem siang ini. Beres dengan rem dan tahan, mereka harus berjalan dengan langkah yang seperti melayang. Ibarat kata, betis dan paha kami ini sudah “doll” ketika berjalan.

Baru sekitar 15 menit kami berjalan dari Pos 2 Bayangan, kami mendengar suara-suara orang berbincang-bincang. Bang Epi dan Bang Sarman tahu-tahu sudah di belakang kami, mereka tampak tersenyum. Mulai dari sini, lengkap kembali formasi kami menjadi berlima. Bang Yoan sudah agak jauh di depan, punggungnya sudah tak nampak lagi, terhalang tikungan-tikungan dan barisan pohon. Sementara saya dan Bang Yudha yang sama-sama payah, berjalan dengan langkah santai. Bang Epi dan Bang Sarman santai mengikuti di belakang kami.

Sekitar satu jam berjalan, tiba juga kami di Shelter 1. Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB, cepat juga kami berjalan. Di perjalanan menuju Shelter 1 ini, kami berjumpa dengan rombongan pendaki remaja cowok dan cewek yang kami temui ketika di pintu pendakian kemarin. Sepertinya mereka bermalam di Shelter 1 dan melanjutkan perjalanan ke Shelter 3 hari ini. Botol air minum mulai kami tenggak dan sholat Dzuhur jam Ashar kami di Shelter 1.


Sekitar 20 menit beristirahat, perjalanan kami lanjutkan kembali. Tak enak berlama-lama beristirahat, udara mulai dingin dan menyentuh pakaian kami yang basah. Selain itu, awan hitam juga sudah mulai nampak di atas dan sesekali terdengar bunyi petir. Satu-dua bulir air terkadang turun walau frekuensinya sangat jarang.


Kembali, Bang Yoan paling semangat dan paling jauh jaraknya dari kami di sini. Baru berjalan sebentar, punggungnya sudah timbul-tenggelam di antara rimbunan pohon. Kami berempat memilih berjalan lebih santai.

Sekitar satu jam berjalan, tiba kami di Pos 3. Bang Yoan nampak tengah asyik beristirahat, sepertinya ia sudah tiba di sini dari tadi. Tak lama kami di sini, kembali kami berjalan. Paha saya semakin lemas, kaki saya semakin asal saya banting. Sesekali saya dan Bang Yudha memilih beristirahat satu-dua menit di sini.


Tak berapa lama, formasi mulai berubah. Bang Yudha dan Bang Sarman berjalan agak cepat di depan, sementara saya dan Bang Epi cukup santai di belakang. Asal melempar langkah, saya tak waspada. Ketika melewati satu gundukan, pijakan saya keliru dan “kreekk..”, engkel kaki kiri saya menekuk ke dalam. Walau telah memakai kaos kaki tebal dan sepatu gunung, rasa sakitnya tetap naik ke ubun-ubun. Seketika langkah saya langsung lemas. “Aarghh..”, pekik saya. Bang Epi yang ada di belakang saya nampak khawatir dan bertanya, “kenapa bang?”

Saya jelaskan kalau kaki saya terkilir, namun tak apa. Engkel kaki kiri saya memang bermasalah semenjak cedera bermain futsal beberapa tahun lalu, penyakit kambuhan. Ketika mendaki Gunung Rinjani tahun 2015 lalu, saya juga sempat mengalami hal ini, dan sekarang terjadi lagi. Saya hanya minta waktu untuk istirahat sebentar dan melemaskan engkel kaki kiri saya, sembari pelan-pelan saya coba gerakkan.

Sekitar lima menit kami di situ, pelan-pelan saya langkahkan kaki saya dan syukurnya, sakitnya sudah agak berkurang. Walau tetap, kaki kiri saya masih agak lemas untuk menahan beban. Perlahan kami lanjutkan perjalanan, tentu dengan langkah yang sedikit tertatih. Bang Yudha dan Bang Sarman sudah tak terlihat lagi di sini. Bang Epi menyarankan saya untuk pelan-pelan saja.


Baru sebentar berjalan, perlahan rintik hujan mulai turun. Saya mulai mempercepat langkah yang mulai terasa normal kembali. Bang Epi menyarankan saya memakai ponco saja dahulu, namun saya urung. Masih gerimis pikir saya, pakai kupluk jaket saja sudah cukup, apalagi jaket saya juga anti air. Kami berdua mulai mempercepat langkah. Sekitar 15 menit berjalan, tiba juga kami di Pos 2 dan hujan semakin deras. Bang Yudha dan Bang Sarman sudah terlebih dahulu di sini, tampak mereka sudah membungkus diri dengan jas hujan plastik. Bang Epi pun segera mengeluarkan jas hujannya, yang walau, ujung-ujungnya hanya ia gunakan untuk menutup kepala dan kerilnya saja. Saya memilih bertahan cukup dengan jaket gunung saya. Sementara Bang Yoan, kami sudah tak melihatnya lagi.


Dari Pos 2 kami lanjutkan lagi perjalanan, beriringan berempat. Saya paling depan, Bang Yudha, Bang Sarman, dan Bang Epi. Langkah kami semakin cepat karena jalannya pun sudah mulai jarang tanjakan. Hujan semakin deras, tubuh kami semakin basah. Tak sampai sejam berjalan, kami akhirnya tiba di Pos 1.


Ketika tiba di Pos 1, pemandangannya cukup ramai. Rupanya opa-opa asal Inggris pemburu foto burung kemarin juga tengah beristirahat. Mereka menunggu hujan reda dan menyalakan api unggun. Hanya ada satu shelter beratap seluas 3 x 5 meter di Pos 1, dan itu penuh oleh tubuh kami yang berteduh. Kembali, kami tak menemui Bang Yoan di sini.

Tak ingin terlalu lama membuang waktu, tak sampai 15 menit, perjalanan kami lanjutkan kembali menuju Pintu Rimba untuk selanjutnya ke titik awal pendakian. Saat itu sudah pukul 16.00 WIB, hujan cukup deras kami terobos. Trek yang sudah mulai lurus mempermudah kami untuk berjalan cepat. Sayup-sayup dari rimbunan pohon di hutan, terdengar suara musik orang hajatan di desa. Bunyi-bunyi mesin kendaraan juga mulai terdengar. Sedikit lagi, pikir saya.


Dalam perjalanan menuju Pintu Rimba, kami berpas-pasan dengan bapak-bapak yang membawa payung. Ia bertanya apakah rombongan bule-bule asal Inggris itu ada di Pos 1? Kami mengiyakan dan ia segera bergegas mempercepat langkah. Sepertinya ia hendak menjemput bule-bule itu dengan menggunakan payung.


Perjalanan kami lanjutkan, dan tak sampai sejam dari Pos 1, tibalah kami di Pintu Rimba. Hujan sudah mulai reda di sini. Tak ada Bang Yoan dan kami juga tak berhenti di Pintu Rimba. Terus kami berjalan sampai titik mula pendakian kemarin. Bang Epi dan Bang Sarman mulai menelepon ayahanda Bang Wawan untuk mengabarkan bahwa kami hampir sampai di titik kemarin dan minta dijemput.

Hamparan kebun teh yang hijau mulai terlihat dan kami pun keluar dari hutan. Jalur yang ada berganti menjadi bebatuan cokelat menembus kebun teh. “Wuahh!! Sampai!” teriak saya girang sambil mengepalkan tangan ke udara. Bang Yudha di sebelah saya juga nampak lega. Santai kami susuri jalan setapak di antara rimbunan kebun teh, sampai akhirnya tiba di titik pendakian kemarin. Bang Yoan tampak duduk santai di bale-bale kayu tanpa ada kebasahan sedikit pun. “Loh, kalian kehujanan? Aku dari tadi berteduh di sini pas hujan”, ujarnya polos. Saya dan Bang Yudha hanya tersenyum kecut namun lega.


Cukup lama kami menunggu mobil jemputan, sampai menggigil badan ini menahan udara dingin yang bercampur dengan baju yang basah. Bang Yudha nampak lemas, ia masuk angin sepertinya. Sepatunya sudah ia buka dan jaketnya sudah ia sapihkan. Setelah 30 menit menunggu, datang juga akhirnya ayahanda Bang Wawan, lengkap dengan senyum ramahnya. “Gimana, sudah sampai puncak? Ayo, naik, naik”, ujar beliau.

Petang itu kami menempuh perjalanan dari titik awal pendakian menuju basecamp rumah Bang Wawan. Langit jingga berjilat merah dan kuning menjadi warna perpisahan kami dengan Gunung Kerinci. Hampar kebuh teh yang hijau dan subur nampak kontras dengan suasana langit sore itu. Sementara di belakangnya, sosok Gunung Kerinci yang perkasa berdiri tegak berwarna gelap seolah menantang kami untuk datang kembali di lain waktu. Setelah drama sakit perut dan diare, paha berkedut, dan kaki terkilir, tercapai sudah salah satu impian saya, menyentuh hamparan pasir kasar di puncak Gunung Kerinci 3.805 MDPL. Sungguh, Kerinci kembali mengajarkan saya bahwa dari kumpulan langkah yang ditempuh, hanya tekad sekeras baja yang mampu menggerakkkan dan tak ada yang lain yang ditemukan di gunung kecuali menyelami diri sendiri. Kerinci nampak berdiri dengan agung di sana, tidak kurang suatu apapun dari kami naik hingga kami turun. Ia ada di sana, tidak kemana-mana dan siap menanti kami untuk kembali.


Hari Terakhir Perjalanan, Minggu. 22 Oktober 2017

Setelah semalam membersihkan diri dengan air sedingin es, makan malam dengan masakan penuh sambal dan santan kembali, kami tertidur pulas hingga kini telah bangun pagi-pagi buta. Kasur lipat dan selimut hangat yang disediakan oleh kawan-kawan JMN sukses membuat kami lupa akan dinginnya udara gunung.

Pukul 04.00 WIB, saya sudah terjaga dan bersiap untuk mandi. Bang Yudha nampak sibuk membereskan pakaian, ia akan pulang duluan subuh ini, mengejar mobil yang akan mengantarkannya ke Bandara Kerinci. Berbeda dengan saya dan Bang Yoan yang mengambil jalur pulang melalui Padang, sama seperti kedatangan kemarin, Bang Yudha memilih jalan pulang melalui udara dari Bandara Kerinci.


Beres ia memasukkan segala pakaian dan perlengkapannya, segera ia berpamitan pada kami. Ucapan hati-hati dan jabat tangan hangat menjadi simbol perpisahan kami. Ia beranjak ke tepi jalan, menunggu mobil bersama ayahanda Bang Wawan, sementara saya bergegas menuju kamar mandi.

Pukul 06.00 WIB, Bang Yudha sudah berangkat dan saya serta Bang Yoan sudah selesai mandi. Pagi ini kami akan dijemput mobil travel untuk selanjutnya diantar menuju Kota Padang seperti kemarin. Berdua kami membuka termos berisi air panas yang disediakan ibunda Bang Wawan, mengambil sebungkus teh Kayu Aro, memasukkan beberapa sendok gula, dan menuangkannya ke dalam gelas-gelas kecil milik kami.


Bang Yoan membuka lebar-lebar pintu balkon lantai dua. Udara sejuk dari luar sontak menghampiri kami. Berpindah kami dari ruang tengah ke balkon lantai dua sembari menghirup wangi teh Kayu Aro. Teh manis panas yang harum, udara sejuk dan pemandangan gunung berselimut awan, sungguh kombinasi yang pas untuk memulai hari. Habis teh saya, saya memilih turun ke bawah, mengamati aktivitas di pinggir jalan. Bang Yoan memilih berbaring dan menunggu di ruang tengah.


Aktivitas minggu pagi di Desa Kayu Aro sungguh sepi namun khidmat. Beberapa bapak dan ibu-ibu berjalan ke ladang dengan menggendong semprotan pestisida. Satu-dua sepeda motor berlalu-lalang dan sesekali mobil berkecepatan tinggi. Saya memilih berdiri dan berbincang dengan sepupu Bang Wawan di depan bengkel motor miliknya.

Cukup lama kami berbincang, umumnya tentang bengkel dan onderdil sepeda motor. Ayahanda dan ibunda Bang Wawan sendiri sudah ke ladang sejak pagi, itulah sebabnya suasana rumah cukup sepi.


Pukul 09.00 WIB, saya dan Bang Yudha mulai merapikan barang dan turun sarapan. Menu makannya tetap nikmat seperti biasa, balado teri kentang, sayur santan, dan telur rebus. Pukul 10.00 WIB, mobil jemputan kami datang. Saya tak sempat berpamitan pada ayahanda dan ibunda Bang Wawan, karena mereka masih di ladang. Setelah menitipkan salam pada si sepupu, dan tak lupa membeli kaos Kerinci yang juga dijual Bang Wawan bersama kawan-kawan JMN, saya dan Bang Yoan pun naik ke mobil travel.


Ada tiga orang yang bergabung bersama kami di perjalanan, dan sepanjang tujuh jam perjalanan itu, saya habiskan lebih dari separuhnya untuk tertidur. Perut Pulau Sumatera perlahan kami tinggalkan.


Pukul 17.00 WIB kami tiba di Kota Padang. Bang Yoan turun di sebuah pertigaan sebelum bandara, ia hendak menunggu dan menyambung perjalanan dengan bus menuju Kota Pariaman. Jabat tangan hangat dan ucapan hati-hati menjadi tanda perpisahan kami. Saya dan pak supir pun menuju ke bandara. Petang itu saya tiba di bandara dan ternyata, pesawat saya ditunda 1,5 jam. Kesempatan bagus, saya pun kembali lagi ke Kota Padang untuk mencicipi masakan Padang di Rumah Makan Lamun Ombak yang terkenal enak dan murah. Pukul 21.00 WIB, beres makan dan kenyang, saya kembali lagi ke bandara dengan menggunakan taksi dan akhirnya pukul 22.00 WIB, kembali lagi menuju ibukota.

Comments

Couldn’t Load Comments
It looks like there was a technical problem. Try reconnecting or refreshing the page.
Post: Blog2_Post
bottom of page