Catatan Perjalanan: Prau-Dieng, Mencari Kembali Makna Kehidupan
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 46 min read
Setelah sekian lama vakum dari tulisan-tulisan catatan perjalanan, kali ini saya akan membagi kisah saya mendaki Gunung Prau, plus jalan-jalan di dataran tinggi Dieng, atau Dieng Plateau, di Kab. Wonosobo, Jawa Tengah.
Perjalanan kali ini terjadi lantaran kepenatan luar biasa dan beban pikiran yang menumpuk akibat rutinitas kantor dan kehidupan perkotaan akhir-akhir ini. Saya pikir, sudah saatnya saya piknik dan menenangkan kembali pikiran saya. Tak mengapalah melarikan diri sejenak dari realitas yang ada, jika setelah itu kita dapat merasa “hidup” kembali. Awalnya saya berencana pergi sendiri, karena, ya balik lagi ke tujuan perjalanan, yaitu menenangkan pikiran. Menikmati angin gunung dan matahari terbit sendirian di depan tenda sepertinya hal yang sangat menyenangkan. Namun akhirnya, niat ini urung saya laksanakan. Teringat beberapa waktu lalu kawan saya, Rijal, mengontak dan mengajak saya jalan-jalan. Saya pun mengontak dia dan mengajaknya sekalian. Karena sudah kepalang tanggung, lebih baik digenapkan saja jadi empat orang, biar pas satu tenda. Wacana naik gunung pun saya lemparkan ke group chat kawan-kawan kuliah saya yang juga hobi jalan-jalan.
Adapun wacana itu akhirnya hanya direspon oleh satu orang, Yoshi, kawan saya yang cantik namun berjiwa tangguh. Baru bertiga, butuh satu orang lagi pesakitan yang pikirannya perlu di-refresh untuk diajak ke gunung bersama. Setelah saya berdiskusi dan mencari alternatif bersama Yoshi, akhirnya terpilihlah Gusti, senior kami di kampus, yang menggenapi perjalanan ini.
Persiapan keberangkatan
Biasanya jika menulis catatan perjalanan, saya akan lompat langsung ke hari H, namun untuk catatan perjalanan kali ini, saya akan menceritakan sedikit mengenai persiapan keberangkatan. Fyi, dari ketiga kawan saya ini, Gusti belum pernah naik gunung. Pernah sih katanya, dulu sekali tapi pas SMA, dan itu adalah Papandayan. Yoshi baru dua kali, yaitu Papandayan, bersama saya juga, dan Gunung Gede. Itupun di Gunung Gede ia sempat cedera dan memakan waktu lebih dari sepuluh jam untuk sampai di puncak. Hanya Rijal yang sedikit lebih baik, ia pernah naik Papandayan, yang juga bersama saya, dan terakhir, Rinjani. Nama Gunung terakhir bolehlah digunakan sebagai bahan pertimbangan. Membawa tiga orang ini, otomatis saya harus memegang tanggung jawab penuh. Bagaimana pun, jika dilihat dari segi pengalaman dan kekuatan fisik, sepertinya saya yang sedikit lebih unggul. Belum lagi, ide perjalanan ini datang dari saya, jadi mau tidak mau, saya yang harus berposisi sebagai leader dan memastikan kenyamanan dan keselamatan tiga orang ini.
Tahap pertama pendakian, dimana-mana tentulah menentukan budget dan ittenary. Anggaran saya coba susun berdasarkan informasi dari kawan saya, Ayu, yang sudah makan asam garam dengan kehidupan Prau dan Dieng. Dari dia jugalah saya mendapat kontak Mas Pi’i, penjaga basecamp Patak Banteng, salah satu pos pendakian untuk mendaki Gunung Prau, untuk minta tolong dicarikan penginapan dan motor sewaan selama kami di Dieng nanti. Ittenary saya coba susun juga berdasarkan keterangan Ayu dan didiskusikan bersama Yoshi. Setelah saya dan Yoshi sepakat mengenai anggaran dan jadwal perjalanan, tinggal dilempar kepada Gusti dan Rijal, yang tentu saja, langsung setuju.
Setelah menyusun anggaran dan jadwal, saya langsung mengontak Mas Pi’i, mengabarkan bahwa kami hendak ke sana. Sial, penginapan di Dieng ternyata sudah penuh berdasarkan info Mas Pi’i. Waduh, tentu tidak lucu dong, pasukan sudah terkumpul, biaya dan jadwal perjalanan sudah disusun, masa tidak jadi berangkat karena tidak dapat penginapan. Alternatif terakhir adalah nge-camp di sekitaran Dieng pasca turun dari Prau, namun dengan resiko tidak mandi selama perjalanan dan tentu saja, tidak nyaman. Akhirnya saya minta tolong kembali ke Mas Pi’i agar coba dicarikan kembali penginapan di sekitaran Dieng, dan ia berkata akan diusahakan.
Tahap selanjutnya adalah mencari tiket bus. Nah, bagian ini yang paling tidak menyenangkan. Saya di perjalanan kali ini merangkap sebagai tukang travel, humas, seksi anggaran, seksi acara, tukang belanja, tukang masak, porter, sekaligus satpam yang bertanggung jawab atas keselamatan tiga orang ini. Sebagai tukang travel, saya memutuskan mencari tiket bus ke terminal Lebak Bulus, H-1 keberangkatan. Pagi menjelang siang, setelah izin dari kantor dan mengorbankan sesi Musrenbangnas yang harus saya hadiri, saya minta ditemani oleh kawan kampus saya, Amri, untuk mencari tiket bus di terminal Lebak Bulus.
Sebenarnya bus ke Wonosobo ini ada banyak, dan tidak mesti naik dari Lebak Bulus. Dari Margonda, Depok, dan Kelapa Dua, Depok, juga ada. Namun kawan-kawan saya ini tidak mau, sebab bus-bus tersebut berangkatnya rata-rata pukul empat dan pukul lima sore. Orang-orang ini maunya berangkat yang pukul tujuh atau malam sekalian sehabis pulang kantor. Di sini saya awalnya sempat kesal, mau jalan-jalan kok ya tidak mau berkorban waktu sedikit. Akhirnya, mau tidak mau, sebagai pemimpin perjalanan, saya coba akomodasikan kepentingan orang-orang ini walau harus panas-panasan dan bolos kerja demi ke terminal Lebak Bulus.
Berangkatlah saya dengan Amri ke terminal Lebak Bulus. Terminal Lebak Bulus ini sekarang sudah berubah, sebab ada pembangunan stasiun MRT. Tiba di terminal, saya dan Amri sempat bingung, dimana loket penjualan tiket bus-nya. Akhirnya dengan bodohnya saya bertanya ke tukang parkir, yang lebih mirip preman, loket penjualan tiket dimana. Tukang parkir itu bertanya, “mau kemana?” Saya jawab saja, “ke Wonosobo.” Dia mendadak jadi bersemangat dan menyuruh saya tunggu di situ, sebentar dia akan panggilkan agennya. Wah mampus, ini pasti calo. Benar dugaan saya, beberapa detik kemudian muncul satu orang pria bertampang sangar dan betubuh tegap dengan rambut gondrong yang menghampiri saya dan Amri. “Mau naik bus apa?” ia bertanya pada kami. “Dieng Indah”, jawab saya. Ia menyuruh saya dan Amri naik ke motornya, nanti ia antarkan ke agen bus Dieng Indah. Saya di sini sempat ragu. Demikian pula Amri, mukanya sudah was-was. Calo itu terus memaksa dan kami tidak punya pilihan. Mau tak mau, akhirnya kami terpaksa naik, bonceng tiga, ke atas sepeda motor calo itu.
Sampailah kami ke pinggir jalan, tepatnya di tikungan sebelum pool bus Sinar Jaya, beberapa puluh meter dari tempat parkir. Di sana sudah ada seperti sebuah bedeng yang dijaga tiga orang. Dua pria, yang juga bertampang sangar dan betubuh besar, dan satu perempuan. Saya di sini ditanya, hendak naik bus apa. Kembali, saya jawab Dieng Indah. Kecurigaan kembali muncul di diri saya sebab itu adalah satu-satunya bedeng dan tiket bus yang ditulis tidak memiliki nama PO. Nama PO-nya ditulis manual oleh perempuan yang menjaga bedeng. Apalagi tiket-tiket bus tersebut kursinya masih kosong, belum ada penumpang yang booking.
Saya berusaha setenang mungkin, walau sebenarnya dalam hati mulai panik. Bayangkan saja, di tempat sepi seperti itu, saya dan Amri dikelilingi tiga pria berbadan besar yang tidak tahu bisa melakukan apa saja di situasi seperti itu. Saya tanya dulu, berapa harga tiketnya. Perempuan itu menjelaskan bahwa untuk bus kelas Ekonomi AC kursi 2-3 harga tiketnya Rp. 165.000. Mahal sekali pikir saya. Saya mencoba beralasan, saya mencari yang kursi 2-2, tidak mau 2-3. Ada katanya, tapi harga tiketnya Rp. 195.000. Lebih dari dua kali lipat harga tiket normal. Terlalu mahal, “saya tidak mau”, ujar saya. Saya tanya dulu kawan saya yang lain, sebab ini kami berangkat beramai-ramai, alasan saya. Saya berpura-pura menelepon dan meng-sms. Tampaknya pria yang menjaga bedeng mulai tak sabar, ia mengatakan kalau semua bus harga tiketnya segitu. Saya katakan lagi, saya tidak punya uang kalau semahal itu. Ia terus memaksa dan mengatakan bisa DP dulu. Saya kembali berkilah, saya telepon kawan saya dulu. Akhirnya perlahan saya mulai berjalan menjauh dari bedeng tersebut ke arah tempat parkir yang lebih ramai sembari pura-pura menelepon. Amri ikut di belakang saya.
Namun sial, sepertinya calo yang mengantar kami tahu kalau kami mau kabur. Ia mengejar kami. Ia berkata, “ayo ikut saya lagi, nanti saya antarkan ke loket Dieng Indah.” Lah, lalu loket yang tadi, loket apa? Tapi saya menyetujui, dengan syarat saya ambil sepeda motor terlebih dahulu, tidak berboncengan dengan dia. Singkat cerita, saya dan Amri sudah sampai di tempat parkir dan akhirnya kembali membuntuti calo tiket itu. Ingin rasanya putar balik, tapi jalanan di Lebak Bulus itu satu arah. Di saat sepert itulah, saya melihat ada pool bus Sinar Jaya di kanan jalan, tepat sebelum masuk ke terminal bayangan. Kami tiba di terminal bayangan. Kali ini sepertinya memang tempat loket-loket yang sebenarnya. Saya diarahkan oleh calo itu ke loket PO. Dieng Indah, yang walaupun saya juga ragu itu benar Dieng Indah apa bukan. Sebab sejauh saya memandang, kebanyakan yang berdiri di loket itu adalah calo.
Perdebatan kembali terjadi di sini, situasi yang sama dengan di bedeng terulang lagi. Harga tiket yang dijual sama dan karcis bus yang ada tidak ditulisi nama PO. Saya mulai dirubungi oleh calo-calo lain. Wah, tidak benar ini, pikir saya.
Kursi yang saya cari adalah kursi 2-2, tapi kursi itu ternyata sudah full, tidak muat untuk empat orang. Saya disarankan untuk ambil yang kursi 2-3. Saya bersikeras tidak mau. Ketika saya hendak pergi, seorang calo memanggil saya dan katanya ada ini yang 2-2. Saya lihat di daftarnya, sudah full. Tapi katanya nanti bisa dipindahkan. Saya coba cari alasan lain, berapa harganya? Ternyata sama, Rp. 195.000. Saya menolak, terlalu mahal. DP dulu bisa, ia memaksa. Saya akhirnya berdebat, “iya, saya DP, tapi nanti ujung-ujungnya kan harus saya lunasi? Saya tidak punya uang”. Akhirnya calo-calo itu mengalah, saya dan Amri segera menyingkir dari tempat itu. Calo yang mengantar kami tampak dongkol, saya katakan kalau kami ke Sinar Jaya saja. Tak lupa saya kasih dia sepuluh ribu rupiah. Ya, anggap saja pengganti uang bensinnya yang tadi mengantar kami ke bedeng dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Akhirnya saya dan Amri buru-buru pergi ke pool bus Sinar Jaya. Kalian pernah nonton film Black Hawk Down? Nah situasi saat itu persis seperti di film tersebut. Terminal lebak bulus itu ibaratnya zona merah, Pasar Bakara, tempat militan-militan Somalia bersembunyi. Sedangkan pool bus Sinar Jaya ini adalah zona hijau, Stadion Pakistan, tempat pasukan PBB dan bebas dari milisi Somalia.
Situasi di pool bus Sinar Jaya bebas dari calo dan pelayanannya cukup bagus. Kami tiba di loket yang sudah berangsur sepi. Saya bertanya, tiket ke Wonosobo untuk besok. Ternyata tiketnya sudah habis, saya disarankan kembali lagi besok pagi pukul setengah sepuluh saat loket buka. Ada tiket tambahan, namun hanya dijual di hari H. Besok pagi akan dijual tiket bus tambahan yang pukul lima sore dan pukul tujuh malam. Saya di sini mulai sedikit nakal, bagaimana kalau uangnya saya titipkan saja di mas-mas penjaga loket, biar besok tiketnya tinggal saya ambil. Di sini mas-mas penjaga loketnya mengeluarkan kata-kata yang menghentak saya, “loh, justru kalau saya ambil uang dari mas, mas harusnya curiga, sebab saya mengambil uang yang belum pasti ada tiketnya besok.” Benar juga, profesional juga PO ini, beda dengan suasana vigilante di terminal bayangan tadi. Akhirnya saya dan Amri siang itu memutuskan balik lagi ke Depok dan kembali lagi ke situ besok pagi-pagi.
Urusan tiket bus belum selesai, syukurnya sorenya saya dikabari oleh Mas Pi’i bahwa kami sudah mendapat penginapan dan sepeda motor untuk di Dieng. Alhamdulillah, selesai satu urusan, dan harganya pun syukurnya masuk di anggaran kami. Selesai urusan penginapan, selanjutnya adalah belanja.
Patungan uang kelompok sepakat untuk dikumpulkan ke Yoshi, dan malam itu kami berdua berbelanja di Lotte Mart Ratu Plaza (gaya bener..). Untuk belanja kelompok ini, sebenarnya sudah saya anggarkan hanya Rp. 200.000. Itu termasuk makanan, gas, dan obat-obatan. Menurut saya ini adalah jumlah yang realistis, sebab biasanya jika di gunung, orang tidak banyak makan dan tidak usah terlalu bermewah-mewah. Makan enaknya nanti saja kalau sudah turun. Namun ya, karena berbelanja dengan Yoshi, yang notabene itu adalah perempuan, tidak bisa lihat harga murah sedikit atau diskon, langsung dimasukkannya ke dalam kantong belanja. Total belanja akhirnya membengkak menjadi hampir Rp. 300.000, kurang Rp. 7.000 saja. Dari lauk yang awalnya direncanakan hanya ikan sarden, telur goreng, dan sosis, kini sudah berkembang biak menjadi nugget bersama mayonaise dan segala sausnya. Catatan bagi kalian para lelaki, kalian tidak akan pernah bisa menang berdebat mengenai belanjaan dengan perempuan, mereka adalah ahlinya. Begitu pun saya malam itu. Tidak apalah, tiga ratus ribu masih masuk ke anggaran pikir saya.
Hari pertama, Rabu, 04 Mei 2016
Pagi di hari H, saya masih berkutat dengan tiket bus. Pagi itu saya kembali lagi ke loket bus Sinar Jaya. Kali ini sendirian, sebab Amri pagi itu ada urusan dan tiga orang anggota kelompok saya tidak ada yang dapat menemani. Loket dibuka pukul 09.30 WIB, dan saya tiba di sana 15 menit setelahnya. Ketika saya tiba, ternyata antrian sudah panjang. Waduh, alamat tidak dapat tiket nih, pikir saya.
Benar saja, baru sekitar sepuluh menit mengantri, saya dapat kabar bahwa tiket bus tujuan Wonosobo sudah habis. Kami disuruh kembali lagi pukul satu. Ah sial, masih tiga jam lagi, mana sudah buru-buru lagi dari Depok. Akhirnya hari itu saya terpaksa menunggu lagi sampai pukul satu siang, sebab tidak mungkin bolak-balik ke Depok yang memakan waktu lama. Sembari menunggu inilah saya bertemu dengan dua pendaki lain, namanya Alan dan satu lagi saya lupa, tapi ia merupakan mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan. Mereka beda rombongan, dan sepertinya team leader. Alan membawa enam orang, dan mahasiswa UAD ini membawa empat orang. Akhirnya kami mengantri bersama.
Menjelang pukul satu, antrian di loket sudah panjang, namun loket belum kunjung dibuka. Saya dan dua pendaki itu mengantri di barisan paling depan. Tepat pukul satu, loket hendak dibuka dan petugas yang menjaga mengumumkan ternyata tak ada bus tambahan menuju Wonosobo, sebab seluruh armada sudah full di semua terminal. Seketika saya mulai panik. Waduh, penginapan sudah beres, motor sudah dapat, logistik sudah dibeli dan uang sudah terkumpul, masa tidak jadi berangkat gara-gara tidak dapat tiket bus?
Akhirnya saya pun bertanya ke dua orang pendaki ini, naik apa kita? Alan menyarankan kita mencari Damri saja, di dalam terminal. Saya setuju, kami bertiga bergerak ke terminal bayangan. Kali ini, berkat dua orang ini, saya jadi tahu posisi loket Damri. Alan sepertinya sudah akrab dengan penjaga loket. Ia pandai berbasa-basi dan akhirnya, kami mendapat tiket! Patas AC, Damri kursi 2-2, harganya Rp. 135.000, masih masuk dengan anggaran yang saya susun. Tak perlu waktu lama, langsung saya booking empat kursi. Selesailah urusan tiket-meniket hari itu. Setelah tak lupa mengucapkan terima kasih pada dua pendaki tersebut dan berpamitan, kembalilah saya ke Depok siang itu untuk menyiapkan perbekalan dan packing.
Jadwal keberangkatan bus adalah pukul 18.30 WIB dengan catatan pukul 18.00 WIB penumpang sudah berkumpul di terminal. Saya berencana berangkat bareng Rijal dari Depok, Yoshi dari Ciledug, dan Gusti dari kantornya di wilayah Kebon Sirih. Janjian pukul 17.00 WIB berangkat, Rijal baru tiba pukul 18.30 WIB lebih. Sial, mana bisa kami naik mobil di jam-jam segini, mau sampai jam berapa di Lebak Bulus? Pukul 17.00 WIB jalanan Jakarta berubah menjadi neraka dengan suara klakson dan asap kendaraan tiada henti. Saya dan Rijal memutuskan naik ojek. Saya sempat panik di sini, sebab waktu sudah hampir pukul 18.00 WIB dan saya masih terjebak macet di Depok, masih jauh ke Lebak Bulus. Akhirnya setelah menyuruh abang ojeknya ngebut, sampailah saya di terminal. Pukul 18.45 WIB, lebih lima belas menit dari jadwal keberangkatan. Apakah saya ketinggalan bus? Kawan-kawan saya yang lain juga masih di perjalanan.
Segera saya berlari ke loket Damri, dan ternyata, syukurlah, busnya bahkan belum datang. Menurut keterangan si tante, penjaga loket, busnya masih di TMII, pukul sembilan malam mungkin berangkat. Ia sempat meminta maaf, namun bagi saya, itu jauh lebih baik daripada kami ketinggalan bus. Tak lama setelah saya tiba, Rijal pun tiba, disusul Yoshi, kemudian Gusti. Sebelum berangkat naik bus, kami menyempatkan dulu makan malam nasi bungkus dengan lauk ala kadarnya di terminal. Hidup susah bakal dimulai dari sini.
Menjelang pukul 21.00 WIB, kami naik ke bus. Masalah kembali muncul di sini, ternyata dua kursi yang kami tempatkan sudah ditempati oleh orang. Saya menegur orang tersebut dan mengatakan itu bangku kami. Kondektur bus pun datang untuk menengahi, dan ia juga bingung. Rupanya terjadi kesalahan penomoran kursi, dua penumpang yang menduduki dua bangku kami, nomornya double dengan dua penumpang di seberangnya. Ia disuruh oleh kondektur duduk dulu di kursi kami. Ketika kami datang, masalah ini pun muncul.
Saya sempat beradu mulut dengan kondektur dan si tante. Namun ya, namanya juga terminal dan bus rakyat, masalah begini seperti suatu kewajaran. Kami diminta mengalah. Akhirnya dua orang dari kami harus mengalah untuk duduk di kursi panjang di paling belakang. Mereka adalah Gusti dan Rijal. Saya dan Yoshi tetap di tempat semula. Saya sempat tidak enak dengan dua kawan saya ini, sebab bagaimanapun saya adalah pemimpin tim dan orang yang harusnya memastikan kenyamanan mereka selama perjalanan. Apalagi kursi sudah saya booking dan mereka bayar dengan jumlah yang sama. Tapi gara-gara masalah ini, mereka jadi dikorbankan. Belum lagi, sebenarnya kesalahan bukan di pihak kami. Nomor kursi kami tidak salah dan double, yang salah itu dua penumpang di seberang dan orang yang menduduki kursi kami. Harusnya salah satu di antara mereka yang duduk di belakang, bukan kami. Namun setelah saya lihat-lihat lagi, orang-orang ini juga sepertinya pendaki Prau, tidak enak juga memperpanjang masalah sebagai sesama pendaki, apalagi jika nanti ketemu di atas gunung. Toh, Gusti dan Rijal juga sepertinya sudah ikhlas duduk di belakang.
Tepat pukul 21.00 WIB, bus Damri berangkat. Saya dan Yoshi sejenak bercakap dan bercerita. Gusti dan Rijal demikian. Tidak banyak yang dilakukan selama awal perjalanan ini kecuali menikmati kemacetan Jakarta dan lampu jalanan.
Hari Kedua, Kamis, 05 Mei 2016
Pukul 03.00 WIB, bus masih terjebak macet di Cikampek. Ya, Cikampek, yang hanya bejarak beberapa kilometer dari Jakarta, setelah menempuh enam jam perjalanan. Yes, we are Jakartan! This is fucking long weekend, we’re going to screw your place, dear periphery towns!! Gusti meminta bertukar tempat duduk, katanya pantatnya sakit duduk di belakang. Saya menyetujui, kursi saya juga sebenarnya tidak enak. Kursinya rusak, selalu mundur ke belakang dan mengganggu penumpang di belakang. Saya harus meminta maaf gara-gara kursi ini mundur terus. Mau tidur juga tidak enak karena kepikiran penumpang di belakang. Akhirnya saya pindah ke bangku panjang di belakang, samping Rijal. Kawan saya ini tampak tertidur pulas. Ya, memang tak banyak yang bisa dilakukan di bus tengah kemacetan begini.
Pukul 07.00 WIB, bus tiba di Cirebon dan istirahat sejenak di sebuah rumah makan. Menu makanan pagi itu Pop Mie dan kopi, saya tidak tertarik. Tidak lapar juga. Saya dan kawan-kawan saya memutuskan keluar sejenak, menunaikan kewajiban pribadi masing-masing.
Hampir setengah jam kemudian, bus berangkat lagi. Kali ini melewati daerah Brebes. Di sini kemacetan kembali terjadi. Gila, pikir saya. Di tengah-tengah dusun dan kiri-kanan sawah begini masih macet. Baru kali ini saya alami. Bus sampai di tempat peristirahatan selanjutnya pukul 13.00 WIB, 16 jam setelah perjalanan dari Jakarta, dan itu masih di wilayah Brebes. Bus memutuskan istirahat di sini. Saya dan kawan-kawan saya memilih makan.
Semenjak dari sini, jadwal kami sudah kacau. Seharusnya jam segini kami lagi di perjalanan mendaki Prau. Estimasi kami, pukul sebelas siang kami sudah sampai Patak Banteng dan bersiap melakukan pendakian. Tapi sampai sekarang, kami masih di tempat antah-berantah di tengah perjalanan. Pengeluaran juga mulai membengkak, sebab selama di perjalanan, tentu perut ini lapar. Kami banyak jajan dan harga makan siang di tempat peristirahat kedua ini benar-benar mahal. Nasi ayam (yang ayamnya cuma sekali gigit)+secuil daging+teh manis hangat+sayur = Rp. 24.000. Fucking tiny capitalist!
Pukul 14.00 WIB, bus melanjutkan perjalanan. Estimasi tiba adalah pukul 16.00 WIB atau 17.00 WIB. Namun belum sampai satu kilometer dari rumah makan Bumi Ayu, tempat peristirahat kedua, bus sudah terjebak lagi di kemacetan. Dari sini rencana mulai disusun kembali. Jika masih kuat, kami akan naik sore itu, demikian juga dengan pendaki-pendaki lain di bus itu. Oh iya, di bangku belakang ini saya berkenalan dengan rombongan pendaki dari Bintaro. Leader-nya bernama Abi, ia membawa tiga orang. Mia, dan dua orang lagi saya lupa namanya. Komposisinya dua cowok, dua cewek. Sepanjang kemacetan dan perjalanan, saya sebenarnya gerah juga duduk di belakang. Bukan karena udaranya, tapi sepanjang jalan, si Abi dan Mia ini sibuk berpacaran dan bermesraan, sementara dua kawannya cuek bebek. Pusing saya lihatnya, benar-benar tidak toleransi pada kaum single ganteng seperti saya. Tapi walaupun begitu, mereka seru juga. Kami berbagi cerita, makanan, dan minuman. Abi ini orangnya lucu, terkadang kalau bicara ceplas-ceplos. Ia tidak canggung meminta air minum kami atau bahkan menawarkan makanan dan gorengan. Ya, namanya juga berada di penderitaan yang sama.

Suasana bus siang itu.. Isinya pendaki semua.
Pukul 18.00 WIB, bus masih di perjalanan. Kami mulai gusar. Tidak hanya kelompok kami, namun juga pendaki-pendaki lain di dalam bus. Dari keseluruhan penumpang bus, 29-nya adalah pendaki, dimana 25 orang akan mendaki Prau, seperti kami. Yoshi dan Gusti di sini mulai khawatir. Mereka mengusulkan perubahan jadwal. Jadi yang semula kami hari ini naik Prau dan besok sampai lusa jalan-jalan di sekitar Dieng, ditukar saja jadi besok pagi jalan-jalan di Dieng, siangnya naik Prau, camping, dan sabtu turun lalu balik ke Jakarta.
Tapi penginapan sudah saya booking untuk keesokan hari, bukan hari ini. Jika memakai alternatif kedua, maka penginapan harus kami majukan sewanya menjadi hari ini, bukan besok. Saya akhirnya mengontak Mas Pi’i untuk mengabarkan situasi yang terjadi. Namun sayang, oleh Mas Pi’i dijelaskan bahwa untuk penginapan hari ini tidak bisa dimajukan, sebab hari ini kamarnya sudah full, besok baru tersedia. Saya menyarankan kepada teman-teman saya untuk tiba saja dulu di Patak Banteng, nanti gimana-gimananya kita diskusikan lagi dengan Mas Pi’i. Saya juga menyarankan agar kita tektok saja, artinya tidak usah nge-camp. Naik dini hari nanti, sunrise, lalu turun paginya. Hal ini agar sesuai dengan skenario awal. Namun anggota tim sepertinya masih belum setuju. Wajar sih, fisik dan niat kami sudah cukup tergerus di perjalanan menuju Wonosobo yang tak kunjung sampai ini.
Pukul 21.00 WIB, bus akhirnya tiba di Wonosobo. 24 jam, dua kali lipat dari waktu normal, you break the fucking record! Masalah lagi-lagi terjadi di sini. Kami semua rombongan pendaki Prau, total 25 orang, hendak naik mikro bus, angkutan umum menuju Dieng. Saat itu ada dua mikro bus yang menunggu. Sebenarnya sudah tidak ada mikro bus pukul segini, namun kenek Damri yang kami tumpangi mengontak supir mikro bus kenalannya. Kasihan mungkin dia karena kami jadi terlambat gara-gara dia.
Namun sial, supir mikro bus ini mematok harga cukup tinggi, Rp. 25.000 satu orang, dari yang normalnya Rp. 15.000. Alasannya karena ini hanya akan jadi perjalanan satu arah, ketika mereka turun lagi dari Dieng, mereka pasti tidak membawa penumpang, makanya ongkos kami dinaikkan. Tawar-menawar sempat terjadi di sini.
Namun ada yang saya salut di sini, walaupun tawar-menawar di malam hari dalam kondisi sepi dan kelelahan, supir-supir mikro bus ini tetap terlihat ramah, santun, namun tegas. Beda halnya kalau misalnya ini di Jakarta, atau bandingkan dengan suasana di Lebak Bulus beberapa hari lalu ketika saya mencari tiket. Jika ini di Jakarta, mungkin suasana sudah cukup tegang, apalagi kami semua sudah lelah di perjalanan. Sikap supir-supir mikro bus yang tetap tenang namun tegas ini sepertinya cukup menahan luapan emosi para pendaki. Setelah perdebatan yang alot, akhirnya kami di kubu pendaki kalah, satu orang harus membayar Rp. 25.000 ke supir mikro bus. Tak apalah, beda lima ribu doang dari harga normal long weekend, daripada kami tidak sampai-sampai di Dieng.
Oh iya, dalam mikro bus ini, kami ternyata satu bus lagi dengan rombongan pendaki yang kursinya sempat bermasalah dengan kami di Damri tadi. Untung saya tidak memperpanjang masalah kursi tadi, sebab bayangkan saja jika kami sampai ribut, mau seperti apa suasana perjalanan ini. Di sini kami saling bercengkerama dan berbagi cerita. Proses tawar-menawar tadi sudah menyatukan seluruh pendaki malam itu, walau akhirnya juga kalah hehe...
Rombongan pendaki yang sempat cekcok dengan kami di Damri tadi ternyata seru juga. Saya kira mereka masih menyimpan rasa kesal atau dendam gara-gara muka masam saya yang hendak berdebat dengan mereka. Namun di luar dugaan, mereka sangat ramah dan juga lucu. Bahkan pemimpin rombongannya, Dwi, seperti menghargai kami. Entah karena ia tidak enak akibat perkara di Damri tadi, atau karena memang inilah sejatinya keramahan para pendaki yang dipertemukan di satu nasib yang sama. Dwi dan kelompoknya sendiri sepakat untuk naik ke Prau pukul 01.00 dini hari nanti.
Sepanjang perjalanan, supir mikro bus berbagi cerita ramah mengenai Prau dan Dieng. Tidak ada sama sekali bekas-bekas percekcokan tarif mikro bus di awal tadi. Bayangkan saja jika ini di terminal Kampung Rambutan, kalian sudah cekcok dengan supir angkot, bersikeras, dan berharap ia akan dengan berbaik hati menjelaskan tentang tujuann wisata kalian? Nyaris mustahil. Yang ada, justru muka supirnya malah masam dan cuek bebek sepanjang jalan.
Tapi hal ini tidak terjadi di supir mikro bus kami. Ia justru sangat antusias dan ramah menjelaskan destinasi-destinasi wisata apa saja dan aksesnya di Dieng. Ia juga bahkan berbaik hati menunjukkan barisan-barisan lampu para pendaki yang dari kejauhan sudah kelihatan berbaris mendaki Prau. Di sini saya kembali salut dengan orang-orang ini. Bagaimana mereka terlihat bangga dengan daerahnya dan sangat santun pada wisatawan. Mereka sepertinya paham benar bahwa Prau dan Dieng merupakan sumber kehidupan mereka. Menjaga dua tempat itu untuk tetap nyaman bagi wisatawan seperti menjadi kewajiban agar mereka dapat terus menyambung hidup.
Setelah sempat mampir di sebuah minimarket untuk membeli air minum, pukul 22.00 WIB kami sampai di Patak Banteng, namun bukan di basecamp. Supir mikro bus berbaik hati mengantarkan kami ke sebuah warung dan tempat peristirahatan dekat basecamp. Istirahat dulu sebelum naik, katanya. Namun saya dan kelompok saya memilih langsung ke basecamp Patak Banteng. Kami sudah janji dengan Mas Pi’i. Saya dan kawan-kawan pun akhirnya berpamitan dengan rombongan pendaki lain, nanti ketemu di basecamp saja. Bahkan kami sempat bertukar kontak dengan Dwi. Kontras kan, bagaimana yang awalnya sempat hendak ribut, namun ujung-ujungnya menjadi akrab. Coba bayangkan, bagaimana seandainya masalah di Damri tadi dibiarkan berlarut-larut?
Satu pelajaran berharga saya dapat di sini, tahanlah emosi sebisa mungkin dan coba selalu berpikir positif. Orang yang kita benci atau musuhi, bisa jadi justru menjadi teman yang baik di masa depan. Apalagi jika kita belum mengetahui secara pasti karakternya, jangan menjustifikasi dari yang terlihat di permukaan.
Sekitar lima menit kami berjalan menuju basecamp Patak Banteng, setelah terlebih dahulu menghubungi Mas Pi’i. Akhirnya kami tiba di basecamp dan disambut oleh Mas Pi’i. Inilah pertama kalinya saya bertemu Mas Pi’i, setelah sebelumnya hanya melakukan kontak melalui telepon genggam. Kesan pertama, keramahannya tidak jauh berbeda dari yang di telepon genggam. Fyi, sebenarnya hari ini ia harus menjadi guide untuk pendakian ke Prau. Namun karena hendak menunggu kami, ia membatalkan tugas tersebut dan menyerahkan ke temannya. Wah, sungguh terharu. Apalagi ia sudah banyak membantu kami.
Setelah berkenalan dan tatap muka, saya menjelaskan mengenai alternatif rencana malam ini. Saya bertanya, bagaimana kemungkinan kalau kami naik dini hari ini saja, pukul 02.00 pagi dan tektok, tidak nge-camp, besok pagi turun lagi. Mas Pi’i justru antusias, “nah, bisa, kayak gitu aja!” begitu ujarnya.
Akhirnya malam itu kami sekelompok sepakat bahwa nanti pukul 01.00 dini hari kami naik Prau. Sebelum berpamitan, Mas Pi’i sempat berpesan, “selamat datang di Dieng, selamat menikmati. Hati-hati, orang yang datang ke sini biasanya tidak mau pulang.” Hmm.. mari kita buktikan ucapan Mas Pi’i ini. Obrolan dengan Mas Pi’i selesai, saya mulai mengantri simaksi. Bayarnya cukup Rp. 10.000 saja.
Beres simaksi, saya menyarankan kawan-kawan untuk makan dan bersih-bersih saja dulu di basecamp. Malam itu kami makan di warung sekitar basecamp. Lagi-lagi kali ini saya takjub. Penduduk yang berlalu lalang dan ibu-ibu penjual makananya benar-benar ramah. Kami merasa sangat dihargai. Dan tentu saja, seseorang yang merasa dihargai, pasti akan balik menghargai orang yang menghargainya. Ah, rasanya sudah lama sekali saya merindukan susasana seperti ini.
Suasana basecamp malam itu ramai sekali. Menurut keterangan Mas Pi’i, sampai pukul 21.00 WIB tadi saja sudah ada 3.700 orang yang naik Prau. Jumlah yang fantastis, kebayang kan bakal seramai apa di atas sana. Setelah selesai makan, kami mulai packing ulang sembari bersih-bersih. Keril yang dibawa diputuskan dua, yaitu keril saya dan Rijal. Keril Gusti disimpan di basecamp dan digunakan untuk menampung barang-barang yang tidak dibawa. Keril Yoshi juga demikian. Kondisi fisiknya sudah lelah, akan jauh lebih baik jika ia tidak membawa keril, walau saya masih yakin dengan kekuatannya. Dua keril yang dibawa nanti akan dipakai bergantian oleh tiga orang anggota lelaki.
Selesai bersih-bersih dan packing, kami memutuskan beristirahat sejenak. Masih ada waktu dua jam sebelum keberangkatan. Saya memutuskan tidak tidur. Gusti dan Rijal sudah tepar duluan, disusul Yoshi. Saya berpikir, jika saya tidur, lalu siapa yang bakal menjaga barang dan orang-orang ini? Apalagi jika bablas ketiduran sampai pagi, amburadul semua rencana yang sudah disusun.
Sejenak saya mengamati ketiga kawan saya ini. Kasihan juga rasanya, gara-gara ide saya mereka jadi terdampar malam ini di sini. Tapi mau bagaimana lagi, ini semua di luar kuasa saya. Kami semua tidak tahu bahwa jalanan akan semacet itu dan perjalanan memakan waktu 24 jam. Bagaimana pun, perjalanan ini harus menjadi perjalanan yang menyenangkan. Saya harus menjaga dan membawa kembali orang-orang ini dalam keadaan selamat ke rumahnya, apapun risikonya.

Rupa-rupa kelelahan kawan-kawan saya pagi itu. Maaf guys sudah membawa kalian bermacet-macetan hehe..
Hari Ketiga, Jumat, 06 Mei 2016
Waktu semakin mendekati pukul 01.00 WIB, rombongan pendaki-pendaki lain yang tadi satu bus dengan kami perlahan satu per satu mulai mendaftar simaksi di basecamp Patak banteng. Rombongan Abi dan ketiga kawannya yang pertama, kemudian disusul rombongan Dwi. Saya menyempatkan diri bersalaman dan mengatakan sampai jumpa di atas. Saya belum melihat rombongan Alan dan pendaki asal UAD tadi, sepertinya mereka naik besok pagi.
Menjelang pukul 01.00, saya mulai membangunkan kawan-kawan saya. Yoshi yang paling pertama bangun, kemudian disusul oleh Gusti dan Rijal. Kami mulai packing lagi dan bersiap berangkat. Sisa perlengkapan yang tidak dibawa, kami titipkan di basecamp Patak banteng.
Pukul 01.00 WIB, pendakian Gunung Prau dimulai. Sebelum berangkat, tentu tidak lupa kami berdoa. Medan awal pendakian Gunung Prau via jalur Patak Banteng berupa anak-anak tangga yang melewati rumah penduduk. Cukup lelah sebenarnya, karena naik tangga. Akan lebih mudah jika jalannya datar namun menanjak.
Kami berjalan dengan formasi saya di depan, Yoshi kedua, Gusti ketiga, dan Rijal di belakang. Baru sekitar sepuluh menit berjalan, ketika jalur anak tangga berganti menjadi pavin block yang menanjak, masalah mulai muncul. Rijal mulai tumbang. Ia tidak kuat membawa keril di punggungnya dan mengeluh bahwa air liurnya terasa pahit. Wah, bagaimana ini, belum apa-apa, anggota tim sudah ada yang tumbang. Kami memutuskan istirahat sejenak. Terlambat makan mungkin sepertinya si Rijal, apalagi sepanjang hari ini dia cuma makan Pop Mie siang tadi.
Di sini saya sedikit cemas. Rijal terlihat kepayahan, padahal sebenarnya dia orang yang saya harapkan dapat diandalkan untuk mem-back up saya selama perjalanan ini. Untung ada Gusti, keril Rijal akhirnya berpindah ke punggung dia. Walaupun dia awalnya komplementer perjalanan (mengutip kata-katanya Yoshi), ternyata cukup membantu juga.
Oh iya, selama beristirahat ini, kami cukup menikmati lautan bintang di atas langit Dieng. Sesuatu yang langka di Jakarta, dan tentu saja, sungguh indah. Yoshi bahkan tiduran di jalanan dan hampir menolak bangun hehe..
Ketika fisik Rijal dirasa sudah cukup kuat lagi, kami mulai melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, kami akhirnya tiba di Pos 1, pos pemeriksaan karcis yang tadi dibeli saat pendaftaran simaksi. Di sini kami bertemu lagi dengan rombongan Abi dan Dwi. Sepertinya mereka berjalan berbarengan, total ada sebelas orang. Mereka sedang beristirahat di Pos 1. Saya dan rombongan berpamitan dan izin jalan duluan kepada mereka. Kembali, sampai jumpa di atas adalah salam perpisahan yang selalu diucapkan.
Mulai dari Pos 1 sampai atas ini, barulah pendakian yang sebenarnya dimulai. Jalannya cukup curam dan menanjak. Medannya berupa tanah basah yang licin. Terkadang ada tali-tali pengaman di samping jalur pendakian untuk membantu pendaki yang hendak naik. Pelan-pelan, kami mendaki bersama.
Jika sudah dirasa tidak kuat, maka anggota tim akan meminta istirahat. Inilah esensi pendakian. Bukan merasa siapa yang paling hebat atau paling cepat, namun bagaimana kalian tetap bersama dalam tim menempuh perjalanan. Toh, tidak ada yang dikejar, puncak Prau tetap berdiri dengan gagah di atas sana, ia tidak kemana-mana.
Cukup sering juga kami istirahat. Saya sendiri juga kadang merasa sangat lelah, apalagi medannya licin dan curam begini, ditambah gelap, dan membawa keril. Namun perlahan saya mencoba memaksakan langkah. Gusti terlihat cukup segar, kabar baik bagi kami. Sebab jika dia tumbang juga seperti Rijal, maka kami berempat tentu akan pusing. Yang paling bersemangat adalah Yoshi. Jaket ungu menterengnya bergerak lincah naik-turun gunung sambil sesekali berpegangan. Harus saya akui, teman perempuan saya yang cantik ini boleh juga. Sifat ambisiusnya dikeluarkan di waktu yang pas malam ini. Sementara Rijal, sepertinya ia juga sudah mulai baikan. Perlahan ini bisa menyesuaikan dengan medan dan tidak mengalami masalah lagi.
Setelah Pos 1, kami beristirahat di Pos 2. Jarak antara Pos 1 dan Pos 2 ini kira-kira 30 menit. Kawan-kawan saya terlihat bahagia, syukurlah, sepertinya mereka menikmati perjalanan ini. Walau memang, ya melelahkan. Tapi namanya juga naik gunung, kalau tidak mau lelah, ya jangan naik gunung hehe..
Ketika beristirahat di Pos 2, saya merasa badan saya sungguh segar. Udara pegunungan dan olahraga semacam ini memang sungguh menyenangkan. Walaupun lelah, namun badan menjadi segar.
Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan lagi perjalanan. Kali ini medannya terus sama, curam, menanjak, dan licin. Harus pandai-pandai memilih pijakan dan pegangan agar tidak jatuh. Oh iya, seperti yang sudah saya jelaskan di awal, pendaki Prau begitu membludak malam ini. Saya dan kawan-kawan saya tak jarang harus mengantri, sebab jalur pendakian juga sempit. Tapi tak apalah, sekalian kami beristirahat juga.
Setelah Pos 2, selanjutnya adalah pos 3. Kami beristirahat kembali. Nah dari Pos 3 menuju Puncak Prau inilah kami menyaksikan ada satu orang pendaki yang ditandu oleh tim SAR. Lelaki, tidak jelas mengapa ia sampai ditandu. Yang jelas, ia malam itu ditutupi oleh kupluk dan di dalam tandunya diselipkan beberapa botol air hangat. Proses evakulasi pendaki ini cukup menyita perhatian. Apalagi jalur pendakian juga sempit, jadi pendaki yang hendak naik juga harus mengalah dan memberi jalan bagi tim SAR.
Pasca peristiwa itu, saya mendadak disergapi rasa takut. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Apakah hal yang sama akan menimpa saya dan tim saya? Penting bagi kami untuk terus berjalan bersama dan saling menjaga diri. Mulai dari sini, saya mencoba untuk mempertahankan keutuhan anggota tim. Jika ada yang sudah terlalu jauh dan meninggalkan kawannya, saya akan menyuruh pelan-pelan dan menunggu. Jika perlu, saya akan berteriak. Di sini jugalah kalian akan bisa melihat bagaimana watak seseorang. Ketika fisik sudah semakin lemah, rasa sabar semakin habis dan keinginan untuk sampai puncak semakin kuat, seberapa tinggi kesadarannya untuk menunggu kawannya?
Masalah juga tidak selesai di sini. Headlamp saya mendadak buram. Entah apa masalahnya, padahal baterainya sudah saya ganti sebelum perjalanan tadi. Mana semakin lama, cahayanya malah semakin hilang. Hal ini cukup menghambat saya, sebab headlamp merupakan salah satu peralatan paling penting dalam melakukan pendakian malam seperti ini. Kondisi penglihatan yang terbatas karena headlamp tidak maksimal, ditambah jalur pendakian yang curam dan licin, serta fisik yang mulai terkuras, terkadang membuat saya tertinggal di belakang rombongan. Saya akhirnya memilih menggunakan lampu flash dari telepon genggam saya sebagai sumber penerangan, yang walau sebenarnya, cukup mengggangu saya dalam berpegangan di medan yang curam.
Syukurlah saya mempunyai tim yang cukup kompak dan pengertian. Kami sebisa mungkin selalu berjalan bersama dan menunggu kawan yang lain. Setelah beberapa lama menderita di perjalanan, akhirnya kami tiba juga di atas, puncak Prau, tempat para pendaki mendirikan tenda. Syukurlah..
Tiba di atas, lautan tenda mulai menutupi jalur. Kami berjalan saja susah dan harus berhati-hati agar tidak menendang pasak tenda pendaki lain. Pendaki yang menginap di Prau malam itu benar-benar banyak, bahkan sampai menutupi jalur pendakian. Kami berempat akhirnya bersepakat mencari tempat paling enak untuk menggelar matras dan masak-masak. Setelah berjalan-jalan dan mencari, akhirnya dapatlah tempat yang cukup nyaman untuk menggelar matras, walaupun itu harus nyempil-nyempil di antara tenda pendaki lain.
Sampai di atas, matras mulai digelar dan barang mulai dikeluarkan. Saat itu pukul 04.30 WIB, tiga setengah jam sejak pendakian. Tidak buruk untuk pendaki-pendaki yang menghabiskan waktunya 24 jam di perjalanan.
Seperti yang saya jelaskan di awal, di perjalanan kali ini saya merangkap sebagai tukang travel, humas, seksi anggaran, seksi acara, tukang belanja, tukang masak, porter, sekaligus satpam yang bertanggung jawab atas keselamatan tiga orang ini. Sebagai tukang masak, maka tugas saya selanjutnya adalah memasak buat kawan-kawan saya ini. Kompor gas, nesting, dan gas mulai dikeluarkan. Ketika sudah menemukan tempat yang agak mantap dan datar, saya mulai memasak. Yang pertama tentu masak air untuk minuman-minuman hangat. Sebagai pembuka, kami minum energen. Roti tawar juga menjadi makanan pembuka.
Tak berapa lama, sang mentari mulai mempelihatkan semburat merahnya di kejauhan, tepat di depan kami. Beberapa pendaki lain juga satu per satu sudah mulai keluar dari tenda. Sebentar lagi sunrise..
Akhirnya momen yang ditunggu-tunggu pun tiba.. Manis-manis manja, sang surya yang menawan mulai menampakkan dirinya. Ibarat gadis cantik yang baru bangun dari tidur, sungguh menyenangkan dilihat. Kami pagi itu sungguh beruntung, cuaca Prau sangat cerah. Pemandangan yang ada terlihat sempurna. Tak sia-sia kami memanaskan bokong di kursi bus 24 jam dan mendaki dini hari. Sunrise dan pemandangan Prau pagi itu sungguh sempurna




Semburat fajar yang mulai nampak di kejauhan
Luapan manusia juga mulai keluar dari tenda. Mendadak camp yang awalnya sepi kini menjadi ramai. Untunglah posisi kami saat itu cukup pas untuk menikmati sunrise, tak perlu bergeser kemana-mana. Pendaki-pendaki lain juga mulai menghampiri tempat kami duduk. Kamera, Go-Pro, dan makhluk sejenisnya, kini menjadi aktor utama di momen seperti ini.


Inilah dia, sang fajar..
Yoshi dan Gusti tampak bersemangat berfoto-foto. Apalagi bagi Yoshi, ini pengalaman pertama baginya menikmati sunrise yang indah di atas awan setelah sebelumnya gagal di Papandayan dan Gede. Ia tampak paling bersemangat mencari tempat berfoto. Berdua dengan Gusti, mereka paling banyak mengambil gambar. Saya dan Rijal tidak terlalu banyak mengambil gambar, kami memilih menikmati momen ini sejenak tanpa lensa kamera. Saya dan Rijal sebenarnya agak risih karena suasana Prau yang terlalu ramai. Tidak pas dan tidak enak saja rasanya. Tapi ya, mau bagaimana, namanya juga gunung sejuta umat.



Suasana Prau pagi itu, ramai oleh pendaki
Sembari menunggu Yoshi dan Gusti selesai sesi foto-foto, saya dan Rijal memilih kembali memasak. Kami memasak air untuk teh hangat. Saat itu susasana sudah mulai terang. Oh iya, ketika selesai memasak air ini, tiba-tiba kami dihampiri oleh seorang pendaki. Ia meminta air panas kami, karena rupanya ia terpisah dari rombongannya. Sepertinya ia kelelahan. Saya dan Rijal iba juga. Namun air panas sudah habis untuk teh kami. Akhirnya saya masakkan ia air panas lagi. Saya pun mengobrol dengan dia. Katanya ia berasal dari Tangerang, rombongannya sekitar empat puluh orang, namun ia naik terpisah, berempat bersama temannya. Waduh, ramai juga empat puluh orang, sungguh tidak efisien pikir saya. Tiga temannya tertinggal di belakang, ia jalan duluan. Ia mau minta air untuk menyeduh kopi di termos. Rencananya ia akan menyusul kawan-kawannya yang sudah duluan tiba. Setelah airnya matang, segera ia mengucapkan terima kasih pada kami dan pergi.


Inilah kami, Power Rangers, di puncak Prau
Tak berapa lama, Gusti dan Yoshi kembali ke tempat duduk. Kami melanjutkan memasak di tengah kumpulan-kumpulan manusia yang memilih berfoto ria. Pagi itu menu makanan kami adalah sosis, nugget, dan telur dadar. Menu pertama, sosis. Yoshi bertugas memotong-motong sosis dan menghidangkan, saya memanaskan margarin dan menggoreng, Gusti memasukkan sosis dalam nesting. Wangi semerbak margarin sukses menggugah selera kami dan menambah semangat untuk terus memasak.
Tak berapa lama, sosis siap dihidangkan. Oh iya, saat sesi makan-makan ini kami mulai berkenalan dengan beberapa pendaki lain. Pendaki yang tendanya tepat di sebelah kami, berasal dari Jakarta Timur. Orangnya cukup lucu dan asyik. Ia senang sekali menggoda Yoshi yang memang sepertinya paling cantik seantero pendaki. Yoshi sendiri hanya tersenyum-senyum dan terlihat salah tingkah. Mereka juga sempat meminta minyak goreng kami yang tidak terpakai. Tentu saja dengan senang hati kami memberi. Toh, memang tidak kami pakai dan kami hendak turun juga.

GGM (Ganteng-Ganteng Masak)
Sosis habis disantap, menu kedua adalah nugget. Kembali, saya yang bertugas memasak dan Gusti yang memasukkan nugget ke nesting. Rijal dan Yoshi membantu menghidangkan. Nugget selesai, selanjutnya adalah telur dadar. Saat itu kami membawa delapan butir telur. Daripada dibawa turun lagi dan takut pecah, akhirnya kami memilih menggoreng saja semuanya. Gusti di sini merasa kelelahan, ia memlih tidur sejenak. Saya dan Yoshi menyiapkan telur dadar. Yoshi yang menyiapkan bumbu-bumbu campuran telur seperti bawang dan cabai, saya yang menggoreng. Rijal betindak sebagai tim hore saja hehe..
Di sini kami berkenalan lagi dengan rombongan pendaki lain. Saya tidak tau darimana, namun dari daerah Jawa sepertinya. Mereka meminta roti tawar kami. Tentu saja langsung kami berikan. “Ambil saja semuanya mas, kami mau turun”, ujar saya. Awalnya ia malu-malu mau mengambil semuanya, hanya satu lembar. Namun tak lama kemudian, ia mengambil lagi satu lembar dan akhirnya semuanya. Haha.. Saya dan Yoshi juga memberikan mereka ceres yang tersisa, lumayan buat pelengkap roti mereka. Yoshi terlihat bahagia di sini, memang kebahagaian itu akan terasa nyata ketika kita dapat berbagi ke sesama. Apalagi ke rekan sesama perjuangan yang membutuhkan. Terlihat rombongan pendaki yang mendapat roti tawar dan ceres tersebut tertawa bahagia dan menyantap pemberian kami. Tak lupa mereka mengucapkan terima kasih. Ah, memang suasana seperti ini yang selalu saya rindukan..
Tak lama, delapan butir telur dadar yang sudah menyerupai martabak itu telah matang. Gusti dibangunkan, dan kami mulai menyantap hidangan yang ada. Nugget yang ada terasa sedikit asin. Namun, ya, namanya juga di gunung, semua terasa enak. Untungnya telur dadar yang ada rasanya cukup enak. Ditambah lagi dengan saus dan mayonaise yang dibeli Yoshi. Tak lupa kami juga menawarkan ke pendaki asal Jakarta Timur itu nugget buatan kami.

Telur dadar dan nugget
Telur dadar itu memang porsinya terlalu besar, kami tidak sanggup menghabiskannya. Yang kayak begini hendak bawa banyak makanan?? Untung kami tidak jadi membawa sarden, indomie, dan makanan-makanan lain yang tertinggal di bawah. Walau akhirnya mubazir karena sudah membawa beras yang tidak jadi dimasak. Belanja makanan yang sampai Rp. 300.00 jadinya sedikit mubazir, padahal rencananya kami hendak bikin nasi goreng di atas sini. Berdasarkan usulan Yoshi, sisa telur yang ada harus dihabiskan oleh masing-masing anak. Telur dibagi empat dan setiap orang harus memakan. Sayang, daripada mubazir atau dijadikan bekal di jalan, sementara alat makan sudah mau dibersihkan.
Akhirnya telur dadar tersebut pun habis, demikian juga nugget. Beres, tinggal bersih-bersih, packing, lalu turun. Saat itu pukul 07.30 WIB. Setelah beres-beres dan packing, kami bersiap turun. Kali ini Rijal terlihat sudah fit. Keril di Gusti dipindahkan ke punggungnya. Saya membawa keril yang sama, Gusti membawa trashbag berisi sampah, dan Yoshi, hanya ada dia dan kameranya.
Perjalanan pulang ini kami tidak lewat jalur Patak Banteng, namun jalur Dieng. Menurut keretangan Mas Pi’i, lebih baik pulang lewat jalur Dieng, sebab jalurnya lebih landai dan pemandangannya juga bagus, melewati bukit Teletubbies. Kami setuju, sekalian biar tahu jalur juga, mana tahu suatu saat balik lagi ke sini.
Sebelum turun, kami sempat bertanya dulu kepada pendaki-pendaki lain jalur Dieng lewat mana. Maklum, kami berempat baru sama-sama naik Prau, belum ada yang tahu jalur. Setelah memperoleh keterangan dari beberapa pendaki lain dan insting mengikuti rombongan pendaki lain, dimulailah perjalanan turun kami.

Selamat tinggal, Prau

Pose dulu sebelum turun
Yoshi di sini tidak henti-hentinya berfoto. Ia sepertinya terhipnotis oleh keindahan alam Prau yang memang, harus diakui sungguh menawan. Hamparan sabana, lautan awan, dan Sindiro-Sumbing yang berdiri tegak di depan sungguh komposisi yang pas. Ini adalah pengalaman pertamnya naik gunung dengan pemandangan seperti ini, dan sepertinya ia benar-benar jatuh cinta. Tak ketinggalan saya dan Gusti pun terkadang berfoto. Gusti juga sempat berfoto pencitraan ala-ala forester dan pecinta lingkungan dengan trashbag-nya. Hanya Rijal yang sudah lebih dulu jalan di depan.





Kalian tentu harus iri dengan pemandangan yang kami dapat seperti ini.

Foto ala forester si Gusti

Kakak-adik

Cinta dan Rangga?
Jalur pulang lewat Dieng ini relatif lebih nyaman, treknya landai dan dipenuhi hamparan sabana. Sejenak mengingatkan saya pada jalur Sembalun di Rinjani. Sesekali ada jalur naik turun yang curam dan licin, namu tidak separah jalur Patak Banteng. Jika mulai lelah, sesekali kami memilih beristirahat sembari menyapa pendaki-pendaki lain. Keramahan di gunung yang tidak akan pernah hilang, walau katanya sekarang gunung diserbu oleh para pendaki alay dan ikut-ikutan. Nilai dan tata krama tersebut selalu ada. Ia terus hidup, dan terkadang, itu yang begitu saya rindukan.. Kontras dari kehidupan perkotaan.

Dieng dari Ketinggian
Perjalanan turun ini sangat seru, jauh lebih seru dari perjalanan pulang. Kami berempat banyak bercanda. Yoshi juga banyak berhenti untuk berfoto-foto. Terpaksa kami menunggu, karena tidak mungkin ditinggal di belakang, bisa-bisa dia hilang nanti. Ketika sudah setengah perjalanan, Rijal kembali bermasalah. Ia mendaki menggunakan sandal, dan sialnya sandalnya licin ketika turun ini. Sesekali ia terjatuh, dan kami, bukannya menolong, malah menertawakan. Orang yang ditertawakan tampak salah tingkah dan sok baik-baik saja.
Ketika di perjalanan turun ini, saya sempat berceletuk. “Gue kalau turun gunung gini biasanya lari sih. Mutar lagi senam, pakai headset, terus lari.” Dan celetukan itu bukan sekedar celetukan, saya akhirnya berlari sembari menenteng keril, walau jalurnya cukup licin. Namun jujur saja, di jalur turun begini, sebenarnya lebih enak berlari, karena langkah kaki tidak perlu terlalu lama berpijak di satu tempat dan memantapkan pijakan. Keseimbangan badan bisa dipindahkan di langkah kaki selanjutnya yang berpindah dengan cepat.
Apa yang saya lakukan rupanya menarik perhatian Yoshi, Gusti, dan Rijal. Mereka ikutan berlari. Gusti dan Yoshi paling bersemangat, mereka berlari duluan. Maklum, pengalaman pertama bagi mereka. Saya lama-lama kepayahan juga karena sambil menenteng keril dan jalannya licin. Rijal tampak mengenaskan, ia jauh tertinggal di belakang.
Pengalaman seru dimulai kembali ketika berlari ini. Yoshi menyebutnya kami menuruni gunung ala-ala Dauntless di film Divergent karena berlari dengan penuh keberanian di jalur yang licin. Saya sendiri menganggapnya seperti peserta acara Benteng Takeshi yang kegirangan, berlari turun gunung, setelah lolos dari tantangan sebelumnya. Walaupun deg-degan juga karena takut jatuh, namun saya akui, rasanya sangat seru. Rasanya seperti seluruh emosi dan beban pikiran tersalurkan ketika tertawa bersama melihat anggota tim yang susah payah menjaga dirinya agar tidak kepeleset atau deg-degan menjaga keseimbangan.
Kali ini korban pertama yang jatuh adalah Rijal. Gusti dan Yoshi sudah duluan di depan, saya di belakang dan Rijal paling belakang. Ketika Yoshi dan Gusti sudah sampai di agak bawah, Rijal di belakang berusaha mengejar dan.. Brukk..!! Ia terjatuh. Hahaha.. seluruh anggota tim tertawa, tak terkecuali saya. Rijal tampak kesakitan, terbaring dan meringis. Namun sedetik kemudian ia bangun dan senyum-senyum. Saya pun naik lagi untuk membantu.
Selesai giliran Rijal, kali ini saya yang hampir jatuh. Dua kali, nyaris saya terpeleset namun segera menyeimbangkan badan. Ekspresi saya yang goyang-goyang menyeimbangkan badan sukses membuat anggota lain tertawa. Itu yang pertama, yang kedua adalah ketika saya memaksa lari di jalanan yang lumayan curam dan licin, tapi tidak mampu mengerem. Panik, tidak ada pegangan, akhirnya saya pun menyambar Yoshi dan berpengangan padanya agar tidak jatuh. Ia tampak terkejut karena ada makhluk besar yang tiba-tiba menyergapnya dari atas. Untung saja kami tidak jatuh berdua. Gusti dan Rijal malah berteriak dan menggoda saya modus, padahal saya memang tidak ada pilihan hehe..
Kali ini giliran orang yang paling bersemangat, Yoshi, yang terjatuh. Ia berlari ke bawah dan, brukk..!! Ia terjatuh terduduk. Hahaha.. kami tertawa lagi, “akhirnya jatuh juga”, ujar saya sembari tertawa. Gusti dan Rijal juga tertawa. Yoshi sendiri hanya senyum-senyum masam dan segera bangkit. Ia tidak kapok, malah kelihatannya semakin tertantang, dan kembali berlari. Hanya Gusti yang tidak terjatuh ketika turun.
Menjelang sampai di pintu jalur pendakian, saya menyuruh Gusti dan Yoshi pelan-pelan sedikit, jangan berlari terus, kasihan Rijal di belakang. Semenjak kejadian jatuh tadi, Rijal memilih berhati-hati dalam melangkah. Sepertinya ia trauma. Kami sepakat untuk memperlambat ritme dan berjalan berbarengan sampai di bawah. Hanya Yoshi yang sesekali kadang masih semangat berlari. Ia sepertinya puas sekali di pendakian kali ini.
Tak berapa lama, sayup-sayup suara orang mengaji di masjid sudah kedengaran. Hari ini hari jumat, dan kami sebentar lagi sampai. Ketika memasuki akhir-akhir jalur pendakian, jalurnya berubah menjadi kebun cabai milik warga di kanan-kiri jalan. Setelah berjalan beberapa lama, voila.. sampailah kami di pintu jalur pendakian. Tak lupa kami berpose, meminta tolong pendaki lain yang juga turun.

Tiba juga di bawah
Perjalanan selanjutnya melewati kebun cabai hingga tiba basecamp Dieng. Kami di sini banyak foto-foto dan tentu saja, senang. Bau kotoran hewan yang menjadi pupuk di kebun cabai warga sesekali menyeruak dalam hidung.


Wajah-wajah bahagia

Pemandangan indah di bawah, bersebalahan dengan kebun warga
Akhirnya, sampailah kami di basecamp pendakian Dieng. Saat itu pukul 11.00 WIB. Gusti membuang sampahnya di tempat pembungan sampah dan saya melapor ke penjaga pos. Namun oleh penjaga pos, saya disarankan untuk melapor ke penjaga basecamp Patak Banteng. Saya pun setuju, dan kami segera beranjak dari sana.
Dari Dieng ke Patak Banteng, kami menumpang mikro bus lagi, harga tiketnya Rp. 5.000,-. Sekitar sepuluh menit, tibalah kami di basecamp Patak Banteng dari Dieng. Namun ketika kami tiba, petugasnya ternyata lagi istirahat, sholat Jumat sepertinya. Saya dan kawan-kawan sepakat menunggu di salah satu warung di dekat basecamp. Saat itulah, rasa lelah baru terasa di tubuh saya. Gusti dan Rijal memilih untuk sholat Jumat dan meminjam sarung dari pemilik warung, saya sendiri memilih tidak, karena pakaian saya kotor semua, tidak layak untuk sholat. Saya memilih makan siang bersama Yoshi.
Kali ini, kembali, saya dibuat takjub oleh perilaku orang-orang Dieng. Ibu-ibu penjaga warung ini, dengan ramah ia melayani kami. Bahkan ketika Rijal dan Gusti bertanya apakah ada sarung bersih yang dapat dipinjam, ia dengan bersemangat menjawab ada, namun harus dia ambil dulu di rumahnya. Bayangkan saya, ia rela bela-belain dulu pulang ke rumah untuk mengambilkan sarung buat dua pendaki kumal yang tidak jelas. Sembari ia mengambil sarung, warungnya dititipkan dulu di kami. “Nanti kalau ada yang mau makan, suruh ambil sendiri saja.”, begitu katanya. Luar biasa, padahal jika dia malas, tinggal katakan saja tidak ada dan ia tidak perlu capai-capai pulang ke rumahnya, toh, kami juga tidak akan marah.
Makan di warung ini sistemnya ambil sendiri, jadi saya pun sedikit lebih banyak mengambilnya hehe.. Yoshi juga ikut makan. Tak lama, Rijal dan Gusti sudah selesai sholat Jumat dan mereka juga bergabung makan. Saya sudah selesai makan dan memilih mengantri di loket basecamp untuk mengambil barang titipan kami.
Ketika mengantri ini, rasa lelah dan kantuk mulai terasa menyerang saya lagi. Kali ini lebih hebat, hendak berbaring dan rebahan saja rasanya. Untung saja saya cepat, jadi saya mengantri paling depan. Ketika saya menoleh ke belakang, antrian pendaki sudah mengular sampai di luar basecamp. Pukul 13.00 WIB, loket basecamp dibuka. Saya pun segera mengurus barang titipan kami. Gusti dan Rijal turut membantu membawakan barang. Sementara Yoshi, kasihan, ia tertidur di warung makan tadi.
Pukul 13.30, saatnya kami ke penginapan. Berdasarkan keterangan Mas Pi’i, penginapan kami sekitar beberapa puluh meter dari warung tempat kami diturunkan oleh supir mikro bus ketika pertama kali datang. Saya pun mengikuti arahan Mas Pi’i. Saat itu rasa lelah sudah hampir sampai di puncaknya. Wajar saja, tenaga kami sudah habis diforsir sejak keberangkatan. Setelah bertanya-tanya ke penduduk sekitar, akhirnya sampailah kami di penginapan tersebut. Saya dan kawan-kawan pun masuk dan bertanya. Pemilik penginapan adalah seorang pria paruh baya, saya lupa namanya. Setelah menjelaskan asal-usul kami dan maksud kedatangan, pemilik penginapan akhirnya tersadar. Namun ternyata penginapan kami bukanlah di sini. Ia menjelaskan bahwa penginapan kami sebenarnya adalah di rumah saudaranya, di desa seberang, karena di sini kamarnya sudah penuh.
Saya dan kawan-kawan setuju saja, karena memang Dieng saat itu sangat ramai, penginapan mana saja boleh, asalkan nyaman dan ada air panasnya. Kami pun diantarkan oleh dia menuju desa seberang, berjalan lagi, melewati sawah dan menyeberangi got yang hanya dijembatani sebalok kayu. Sempat terjadi keseruan saat menyeberang jembatan ini. Yoshi sempat takut menyeberang, namun setelah kami semangati, ia akhirnya berani juga. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, sampailah kami di penginapan tersebut.
Alhamdulillah kami dapat kamar yang luas dan cukup bersih. Kamar mandinya juga ada air panasnya. Satu kamar bisa diisi oleh kami berempat, dan kami memutuskan menyewa satu kamar saja. Hal ini berbeda dari rencana semula, dimana kami berencana menyewa dua kamar, cowok dan cewek terpisah, karena katanya tidak boleh laki dan perempuan yang bukan suami istri sekamar. Tapi ternyata, Yoshi boleh tidur bersama kami dan harga sewanya menjadi lebih murah. Rp. 200.000 dibagi empat, tidak jadi Rp. 300.000 untuk dua kamar.
Pemilik penginapan cukup ramah. Ia menjelaskan mengenai cara pakai air panas di kamar mandi, dan memastikan sepeda motor untuk kami. Awalnya ia mau memberikan kami dua motor besar, namun saya tolak dan lebih memilih dicarikan motor matic. Wajar saja, agak malas naik motor besar dan narik-narik kopling di kondisi capai begini. Lebih enak naik motor matic, tinggal gas dan rem hehe..
Pemilik penginapan segera mencarikan motor matic untuk kami. Harga sewanya sama saja, Rp. 100.000 per motor. Kami setuju, masih sesuai anggaran. Tak berapa lama, dapatlah kami dua unit motor matic yang bagus. Setelah sempat bertukar kontak, pemilik penginapan berpamitan. Penginapan ini juga menyediakan satu termos air panas, kopi, satu termos teh panas, gelas bersih, gula, dan kue kering sebagai camilan kami, dan gratis. Senangnya..
Beres urusan kamar dan motor, saatnya bersih-bersih dan istirahat. Kamar mandi di penginapan ini ada dua, kamar mandi luar. Satu di atas, depan kamar kami, dan satu di bawah. Kamar mandi yang hanya ada air panasnya hanya di kamar mandi bawah. Rijal dan Yoshi pada awalnya sempat tidak mau bersih-bersih di kamar mandi atas. Alasannya, Gusti baru saja membuang limbah dan baunya tengik sekali. Gusti sendiri membela diri dan cuek-cuek saja. Rijal dan Gusti berganti pakaian, langsung tidur. Yoshi dan saya memilih begantian mandi di kamar mandi bawah.
Tak berapa lama, Yoshi sudah selesai mandi. Sebelum mandi tadi, saya sudah mengajarkan padanya cara menggunakan air panas, sesuai petunjuk pemilik penginapan. Namun ketika ia naik ke atas, ia ceritakan pada saya kalau ia tidak mandi pakai air panas. Takut katanya, karena pemanasnya dari gas. Saya sempat bingung, namun karena capai dan ingin segera mandi, saya abaikan.
Turunlah saya ke kamar mandi bawah. Saat itulah saya baru sadar maksud perkataan Yoshi. Rupanya mesin pemanas airnya memakai gas LPG 3 Kg sebagai sumber bahan bakar. Jadi, gas LPG disambungkan melalui semacam pipa ke mesin, dan di dalam mesin, air dipanaskan dengan api dan disalurkan melalui shower. Saya awalnya sempat cuek-cuek saja. Namun lama-kelamaan takut juga, karena tiba-tiba muncul bau gas yang saya tidak tahu darimana. Saya mencium tabung gas, tidak ada. Sepertinya bau itu dari mesin pemanas. Jika memang demikian, berarti gasnya bocor dong?? Walah.. tentu bahaya, bagaimana kalau tiba-tiba meledak karena ada api. Namun, ya, karena capai, saya tidak mempedulikan. Saya tetap saja mandi pakai air berbau gas tersebut. Walau lama-lama kerasa sesak juga. Tapi, ya, namanya juga orang lelah, ingin mandi air panas. Air biasa dinginnya kayak air es, tidak mau saya.
Selesai mandi, saya ke kamar. Tiga kawan saya ternyata sudah tepar. Yoshi tidur di tengah-tengah memakai sleeping bag. Haha, kasihan juga dia, perempuan sendiri, untung cukup tangguh. Dari awal dia memang sudah katakan kalau dia tidak masalah tidur berempat sekamar, asal nanti dia memakai sleeping bag. Lagipula, sleeping bag-nya juga sangat tebal.
Lelah, saya pun segera mengambil posisi dan tertidur..
Sekitar pukul 16.30, kami mulai terbangun karena suara mengaji di masjid. Keras sekali suaranya, karena memang penginapan ini di depan masjid. Awalnya kami berencana sore ini main-main ke Candi Arjuna. Namun karena lelah dan sudah terlalu sore, kami batalkan. Besok pagi saja sekalian. Diputuskan bahwa malam itu kami akan jalan-jalan ke Wonosobo dan mencoba mie ongklok, kuliner khas Wonosobo katanya.
Saya pun mulai mengontak junior saya di kampus yang orang Wonosobo, Rizka, untuk mengetahui mie ongklok dan kuliner apa saja yang enak di Wonosobo. Rizka menyarankan Mie Ongklok Pak Muhadi atau Mie Ongklok Longkrang. Letaknya sekitar 20 km dari Dieng. Kami sepakat, selepas sholat maghrib kami akan naik motor ke Wonosobo.
Malam pun tiba, kami bersiap melakukan perjalanan. Saya berboncengan dengan Yoshi, Gusti dengan Rijal. Jaket tebal, celana panjang, dan sepatu, menjadi perlengkapan saya menembus dinginnya 20 km Dieng-Wonosobo. Demi seonggok mie ongklok....
Jalanan Dieng-Wonosobo malam itu relatif sepi, kami keluar pukul 19.00 WIB. Hanya ada beberapa sepeda motor yang touring dan beberapa mobil, mikro bus, dan bus. Jarak 20 km relatif cepat ditempuh, walau harus menahan dingin dan berliak-liuk di jalanan yang berbelok-belok. Sekitar 30 menit, kami tiba di Wonosobo. Yoshi sebagai navigator dengan google maps, mengarahkan kami ke Mie Ongklok Pak Muhadi.
Setelah menempuh beberapa kilometer di jalanan Kota Wonosobo, sampailah kami di Mie Ongklok Pak Muhadi yang ternyata... tutup!! Ah, sial. Memang sih, sesuai keterangan Rizka, kalau mau makan mie ongklok sebaiknya cepat, karena pukul delapan atau sembilan, mereka sudah tutup.
Destinasi diubah, ke Mie Ongklok Longkrang. Namun ternyata jaraknya cukup jauh dari situ. Akhirnya saya dan Yoshi sepakat untuk mampir di Mie Ongklok mana saja yang terlihat ramai di pinggir jalan. Akhirnya, setelah melewati jalan Kota Wonosobo, kami sepakat berhenti di depan Warung Mie Ongklok Pak Tris, yang pengunjungnya sampai mengantri ke luar warung.
Masalah mulai terjadi di sini, Gusti dan Rijal ternyata terpisah. Sepertinya mereka salah belok. Yoshi pun menghubungi Gusti dan ia menyuruh kami send location saja. Kami pun setuju. Saya dan Yoshi memilih mengantri dulu sembari menunggu mereka.
Jadi ternyata, antrian mie ongklok ini terbagi dua. Satu antrian memesan mie-nya, satu lagi antrian memesan satenya. Awalnya saya tidak tahu, saya hanya antri satenya saja. Setelah melihat ada yang aneh dengan antrian ini, akhirnya saya bertanya pada pengunjung di sebelah. Oalah.. Akhirnya setelah itu saya baru paham metode antriannya. Itu berarti, saya tidak bisa mengantri sendiri, Yoshi juga harus ikut mengantri mie-nya, sebab saya mengantri satenya. Namun jika Yoshi ikut mengantri, siapa yang akan menunggu kedatangan Gusti dan Rijal? Bisa-bisa mereka tidak tahu tempatnya di sini. Yoshi di sini mulai kelihatan kesal, karena ia memang yang paling bersemangat makan mie ongklok. Ini dua begundal kawan saya malah pakai acara terpisah lagi. Saya juga sempat panik karena antrian semakin panjang dan kami belum juga mulai mengantri.
Akhirnya saya memutuskan bahawa saya antri sate saja dulu, mie-nya nanti saja. Sebab sate sebenarnya yang agak lama karena orang-orang sini mesannya banyak-banyak. Tak berapa lama, akhirnya Gusti dan Rijal pun datang. Yoshi mulai mengantri mie, dan Gusti bertugas sebagai pengantar. Rijal bertugas untuk menjaga tempat duduk.
Sekitar lima belas menit, sate kami pun jadi. Tinggal menunggu antrian mie. Ternyata Yoshi beberapa kali disela antriannya dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Setelah sekitar setengah pukul menunggu, akhirnya mie ongklok kami datang. Jadi, mie ongklok itu adalah mie yang disiram bumbu khusus dan disajikan bersama sate sapi. Ada juga tempe gumul sebagai pelengkap. Untuk ukuran kami, mie ongklok itu porsinya kecil, sangat kecil malahan. Cuma empat suap mungkin, tidak sepadan dengan lama antriannya. Untung rasanya cukup enak. Harganya juga murah, hanya Rp. 7.000 semangkok. Tahu begitu kami memesan dua porsi...


Mie Ongklok itu
Beres makan mie ongklok, kali ini Gusti mulai meminta yang aneh-aneh. Ia ingin berendam air panas katanya bersama Rijal di Kali anget. Aduh, saya sebenarnya sudah malas, ini sudah malam dan dingin, dia malah sempat-sempatnya mau berendam..
Saya ingin segera balik ke penginapan, namun Yoshi menyarankan agar kami ikut saja ke pemandian. Tidak usah mandi, duduk-duduk saja katanya. Dengan berat hari, saya pun setuju. Meluncurlah kami berempat menuju pemandian air panas Kali anget yang juga searah kembali ke Dieng.
Sepertinya doa saya terkabul, pemandiannya tutup, gerbangnya tertutup rapat. Namun dasar Gusti, ia bersikeras. Ia malah sampai memeriksa gerbangnya apakah benaran ditutup atau tidak. Katanya, di internet pemandian ini buka sampai pukul 02.00 dini hari. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda demikian. Kami berempat akhitnya memutuskan balik ke penginapan.
Perjalanan pulang ini lebih sepi dari perjalanan turun tadi. Udaranya juga jauh lebih dingin. Saya memutuskan pelan-pelan saja karena Yoshi mulai kedinginan di belakang. Namun ketika memasuki jalanan yang sepi dan gelap, karena memang jalanan Dieng-Wonosobo ini tidak dilengkapi lampu jalan, saya mulai was-was. Saya memutuskan menaikkan sedikit kecepatan, takut jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, ya, namanya juga motor matic, tidak kuat ia menanjak. Akhirnya di sinilah saya baru menyadari mengapa pemilik penginapan tadi menyarankan kami naik motor besar.
Oh iya, setelah sudah sampai di dekat penginapan, Gusti dan Rijal lagi-lagi hendak melakukan sesuatu. Mereka ingin mampir terlebih dahulu ke basecamp Patak Banteng untuk mengecek kemeja Gusti dan topinya yang ketinggalan. Rupanya ia lupa membawa kemeja dan topinya sehabis makan di warung tadi. Terpaksa kami putar balik lagi sedikit. Saya dan Yoshi malas naik ke basecamp, kami menuggu di pinggir jalan saja. Sembari menunggu Gusti dan Rijal, saya sempat berbincang dengan penjaga gerbang basecamp. Ia megatakan sudah ramai pendaki Prau di atas, namun tidak seramai kemarin. Gusti dan Rijal tidak kunjung datang, saya dan Yoshi mulai bosan. Akhirnya Yoshi menyarankan kami berdua balik saja duluan ke penginapan. Saya setuju. Kasihan dia, sepertinya sudah kedinginan.
Saya dan Yoshi akhirnya tiba di penginapan. Tak berapa lama, Gusti dan Rijal juga muncul. Namun sayang, kemeja dan topi Gusti tidak ada, hilang, entah kemana. Kasihan. Kami berempat mulai menyusun rencana untuk jalan-jalan besok pagi. Sepakat, kami pertama ke Bukit Sikunir, melihat sunrise, pukul 03.00 pagi, jalan-jalan di sekitaran Dieng, lalu balik ke penginapan pukul 10.00 WIB. Bus yang berangkat ke Jakarta berangkat pukul 14.00 WIB-16.00 WIB, kami harus tiba lebih awal di terminal besok untuk berburu tiket.
Setelah beres-beres, kami memutuskan tidur. Di sini keisengan kami kembali terulang. Ketika saya di kamar mandi, saya sempat mendengar seperti ada suara pasangan cowok dan cewek yang tengah berbincang-bincang, dari kamar di sebelah kamar mandi, di depan kamar kami. Saya pun bertanya kepada teman-temana saya, apakah orang di kamar depan sudah datang? Sebab tadi saya mendengar suara pasangan mengobrol. Namun jawaban dari kawan-kawan saya sungguh mengejutkan. Katanya tidak ada siapa-siapa di kamar depan. Tadi Rijal dan Gusti sudah mengintip dan tidak ada orang. Tamunya tidak jadi datang. Suasana mendadak menjadi horror, dan tentu saja, Yoshi yang paling menjadi korban.
Hehe saya baru tahu kalau teman saya yang cantik, ambisius, terlihat tangguh, dan menggentarkan hati setiap laki-laki yang mendekatinya ini, ternyata takut sama setan. Ia mulai bete karena cerita saya dan meminta jangan dilanjutkan. Hehe, salah jika menunjukkan hal itu pada kami. Saya, Rijal, dan Gusti justru makin menakut-nakuti. Drama horror dimulai. Kasihan juga sebenarnya, namun lucu hehe.. (maaf Yosh). Saat itu yang di kamar adalah saya, Yoshi, dan Rijal. Gusti ke ruang tengah dan entah sedang apa, mau wirid katanya. Aneh-aneh saja. Saya dan Rijal tetap melanjutkan keisengan sampai Yoshi jadi bete dan akhirnya, kami kasihan juga dan memilih untuk tidur.
Hari Keempat, Sabtu. 07 Mei 2016
Sebelum tidur, tak lupa kami memasang alarm pukul 03.00 pagi. Namun, ya, namanya juga orang kecapaian, tidak ada yang bangun. Dua kali alarm berdering dari telepon genggam Rijal dan Gusti, dan dua kali pula jeritannya diabaikan. Kami baru benar-benar bangun pukul 05.00 WIB. Gusti bersikukuh untuk melanjutkan ke Sikunir. Bahkan ia berencana pergi berdua saja bersama Yoshi jika saya dan Rijal tidak mau. Saya dan Rijal sudah tidak berminat karena sudah sangat terlambat dan harus tracking lagi 45 menit. Akhirnya kami memilih bersiap-siap saja dulu, jika memang sudah siap dan waktunya sempat, kita ke Sikunir.
Namun ternyata, kami baru selesai bersiap-siap dan mandi itu pukul 06.30 WIB. Otomatis tidak mungkin ke Sikunir, sangat terlambat. Yoshi akhirnya membuatkan sarapan untuk kami dengan sisa Indomie yang ada. Setelah semua selesai mandi, kami mulai sarapan.
Kembali, saya harus mengalah lagi kali ini. Setelah sebelumnya sebagai tukang travel, humas, seksi anggaran, seksi acara, tukang belanja, tukang masak, porter, sekaligus satpam, kali ini saya juga merangkap tukang cuci piring. Ya, sabar-sabar saja, namanya juga pemimpin perjalanan, harus siap-siap berbesar hati. Alasannya karena saya yang paling terakhir mandi dan tidak ikut mambantu masak mie, jadi bertugas mencuci piring. Padahal Gusti dan Rijal hanya bertugas membuka bungkusan mie.....
Beres mencuci piring dan beres-beres, kami bersiap jalan lagi. Kali itu pukul 07.30 WIB, kami bersiap menyusuri wisata di seputaran Dieng. Sebelum berangkat, kami bercakap-cakap dulu dan berpamitan ke pemilik penginapan. Sebelum pergi, pemilik penginapan sempat bertanya pada saya, “kok tidak memakai jaket?” saya agak heran, sebab ini kan sudah pagi.
Destinasi pertama tentu Candi Arjuna. Setelah naik motor selama lima belas menit dari penginapan ke Dieng, yang walau pagi hari juga tetap dingin, kami tiba di lokasi wisata Dieng. Akhirnya saya tahu maksud pertanyaan pemilik penginapan tadi. Segera sepeda motor saya belokkan ke Candi Arjuna.
Tiket masuk Candi Arjuna ini Rp.10.000, sudah termasuk tiket terusan ke Kawah Sikidang. Kami berempat segera membeli tiket dan menyusuri komplek Candi Arjuna. Kembali, kamera, Go-Pro, dan teman-teman sejenisnya yang menjadi andalan di sini.
Seperti biasa, Yoshi yang paling bersemangat dan banyak foto di sini. Saya sendiri sebenarnya masih sedikit capai dan mengantuk, jadi terlihat kusut. Saya lebih memilih menikmati suasana daripada terlalu banyak berfoto. Setelah merasa cukup lama di Candi Arjuna, saya mengingatkan lagi kawan-kawan saya untuk segera beranjak, karena masih banyak destinasi wisata lain yang ingin kita sambangi. Apalagi waktu sudah menujukkan hampir pukul 09.00 WIB. Oh iya, sebelum beranjak dari komplek Candi Arjuna, kami sempat berbelanja jagung susu keju (jasuke) dan Yoshi membeli oleh-oleh edelweiss kering.

Jasuke


Candi Arjuna pagi itu

Kami, orang-orang bahagia
Tujuan selanjutnya adalah Batu Pandang, tempat foto yang katanya hits. Sebenarnya kami hendak mampir di Kawah Sikidang, namun sepertinya destinasi wisatanya biasa saja dan waktu kami sudah mepet. Kami memutuskan langsung loncat ke Batu Pandang, lalu pulang, Setelah bertanya-tanya ke warga sekitar dan sempat berputar-putar, kami akhirnya samapai di jalan yang mengarah ke Batu Pandang. Kelucuan kembali terjadi di sini. Batu Pandang itu terletak di atas perbukitan, jalanannya sedikit menanjak. Namun, ya, karena kami memakai motor matic, lagi-lagi motornya tidak kuat nanjak. Gusti terpakasa turun dari boncengan, namun Yoshi tidak. Susah payah Rijal menggas motor untuk naik, dan saya sendiri tetap memacu gas sembari menggunakan kaki saya untuk berjalan dan mendorong motor.
Tak berapa lama, sampailah kami di lokasi Batu Pandang yang bersamaan dengan Dieng Teater. Baru parkir di kawasan wisata Batu Pandang, kami sudah disuguhi pemandangan wahana wisata flying fox. Yoshi, si perempuan energik dan penuh semangat, ingin mencoba flying fox. Anggota lainnya setuju, kecuali Rijal yang masih ragu-ragu karena katanya takut ketinggian. Kami akhirnya memutuskan nanti saja mencoba flying fox-nya, setelah turun dari Batu Pandang. Kami bahkan sempat digoda oleh penjaga-penjaga flying fox untuk mencoba. Kami jawab nanti saja.
Untuk menuju Batu Pandang dari Dieng Teater, harus naik tangga lagi dan sedikit tracking selama lima belas menit. Namanya juga Batu Pandang, ya tentu harus di atas dong, dan untuk sampai ke atas, tentu harus tracking, masa mau naik lift.
Belum hilang rasa pegal di paha akibat perjalanan kemarin, kembali, harus dipaksakan bekerja untuk naik anak tangga. Untungnya saya memakai sepatu gunung, jadi sedikit lebih enak langkahnya. Sebab tangganya terkadang licin dan dari tanah liat.

Komplek wisata Batu Pandang
Seperti biasa, langkah kami sedikit terhambat karena Yoshi sibuk nyangkut foto-foto. Duh, khawatir juga saya dengan kawan saya ini. Ia naik pakai sendal jepit dan perempuan satu-satunya. Kalau tertinggal di belakang dan kenapa-kenapa, saya bisa jadi sasaran amuk para fansnya. Terpaksa kami para lelaki harus bersabar menunggu si ibu-ibu ini.
Setelah naik beberapa lama, sampailah kami di salah satu spot berfoto yang bagus, dan untungnya, hanya kami yang berfoto di situ. Segera saya menyuruh kawan-kawan saya untuk memonopoli tempat ini, biarkan kita saja yang foto dulu. Selanjuntya, jadilah satu sesi photoshoot di batu pandang.


Pemandangan dari Batu Pandang. Sungguh indah.

Kami, orang-orang bahagia lagi

Princess Yoshi, yang sesi fotonya lama bener
Puas berfoto, saatnya turun dan mencoba flying fox. Tak butuh waktu lama untuk kami turun ke bawah. Dalam perjalanan turun ini, Yoshi sempat melihat penjual bunga edelweiss kering yang lebih lucu. Raut menyesal sedikit terlukis di wajahnya, ia sepertinya menyesal sudah membeli lebih dulu di Candi Arjuna tadi. Hehe, sudah saya bilang di awal-awal kan, perempuan itu tidak bisa diajak belanja sedikit, Lihat yang bagus dan murah, lapar matanya.
Akhirnya kami sampai di belakang Dieng Teater, gerbang naik ke Batu Pandang. Mulai dari sini, kami menemukan banyak penjaja makanan khas Dieng. Gusti iseng ingin mencoba jamur goreng. Katanya, salah satu khas Dieng adalah jamur. Kami setuju. Oh iya, di sini Rijal sempat hilang. Sembari menunggu dia, kami makan jamur.
Ternyata, jamurnya enak! Beda jauh dari jamur di Jakarta yang isinya tepung doang. Jamur di sini isinya gemuk-gemuk dan gurih. Tak berapa lama, Rijal pun muncul. Rupanya ia baru dari kamar kecil.

Tempe Gumul

Jamur yang enak itu!
Puas makan jamur, kami lanjut ke agenda selanjutnya, flying fox! Rijal atas desakan kami, akhirnya mau mencoba flyimg fox. Ia naik duluan agar tidak takut setelah melihat kami. Tak masalah, justru bagus, sebab ia akan jadi tukang foto ketika kami sudah tiba di garis finish.
Sebelum naik wahana, kami tentu berfoto dulu. Wahananya juga tidak terlalu mahal, hanya Rp. 35.000. Saya sempat berbincang dengan penjaganya, dan ia menjelaskan bahawa flying fox ini panjangnya 310 meter. Sangat panjang untuk ukuran flying fox.

Bersiap Flying Fox!
Giliran pertama, Rijal. Kami kembali merasa seperti prajurit penantang di Benteng Takeshi yang hendak menaklukkan benteng. Kami saling menyemangati satu sama lain dan tertawa bahagia. Giliran kedua adalah Gusti, disusul Yoshi, lalu saya. Sebelum naik flying fox ini saya sempat bête juga dengan Yoshi dan kawan-kawan saya, Mereka menilai penampilan saya dan mengatakan saya sekarang gendut sekali. Padahal Yoshi pernah mengatakan pada saya bahwa perempuan itu tidak suka dan akan sangat kepikiran jika fisiknya dikomentari. Hmm dipikirnya lelaki juga tidak sama apa?
Tiba giliran saya, saya pun meluncur di tali. Wohooo…! Rasanya sungguh menyenangkan, walau kurang puas menurut saya karena flying fox-nya kurang tinggi. Untuk panjangnya, bolehlah. Puas main flying fox, kami diantar kebnali menuju sepeda motor dari titik finish ke titik start. Di sini saya kembali digoda kawan-kawan saya karena motor yang memboncneg saya tidak mau menyala. Mereka mengatakan hal tersebut terjadi karena saya terlalu gendut. Ok, fine guys!


I'm Flyinggg!!!
Tenyata, orang yang membonceng saya adalah anak pemilik penginapan tempat kami bermalam. Pantas saya merasa wajahnya familiar. Ia duluan yang berceltuk, “mas yang menginap di rumah saya ya?” Haha, dunia memang sempit. Sepanjang jalan, ia cerita bahwa waktu yang pas untuk menikmati Dieng adalah sekitar bulan Agustus. Nanti akan nada beragam festival, termasuk pemotongan rambut gimbal. Kembali, di sini saya takjub dengan para penduduk Dieng. Mereka seperti sangat bangga dengan daerahnya dan selalu menjaga sikap. Bahkan pada pemudanya. Inilah bentuk nyata dari simbiosis mutualisme antara lingkungan dan manusia.
Akhirnya, saya tiba di tempat parkir, Setelah puas tertawa-tawa bersama dan mengembalikan peralatan, saya dan kawan-kawan beranjak pergi meninggalkan kawasan Wisata Dieng. Waktu saat itu menujukkan pukul 10.00 WIB, masih sesuai jadwal. Kami berempat pun segera turun.
Saat turun itu, kami berempat berpencar. Saya dan Yoshi akan ke basecamp Patak Banteng terlebih dahulu, memberi bingkisan pada Mas Pi’I sebagai tenda terima kasih, sementara Gusti dan Rijal mampir membeli oleh-oleh. Namun sayang sekali, ketika saya dan Yoshi tiba di basecamp Patak Banteng, Mas Pi’I ternyata lagi di atas Prau, menemani tamu. Yah, sedih juga tidak sempat berpisah dan mengucapkan terima kasih secara langsung. Saya sendiri kagum dengan Mas Pi’I, ia mau capai-capai mencarikan penginapan dan sewa motor untuk kami, berusaha mengakomodasi, hanya demi kami merasa nyaman di Dieng. Benar-benar kuat perasaan orang-orang sini pada daerahnya. Akhirnya, bingkisan buat Mas Pi’I pun saya titipkan ke kawan Mas Pi’I, sesame penjaga basecamp Patak Banteng.
Beres urusan bingkisan, saatnya membeli oleh-oleh milik Yoshi. Kami berdua mampir di sebuah toko dekat penginapan. Yoshi masuk ke dalam toko, saya menunggu di motor. Ketika di sinilah saya bertemu dan berkenalan lagi dengan pendaki lain yang baru turun dari Prau, Ia dari Jakarta juga ternyata, dan perjuangannya mencari tiket ternyata lebih parah dari kami. Ia sudah berputar-putar mulai dari Grogol sampai Kampung Rambutan, dan tetap tidak mendapat tiket. Ia dan rombongan pendaki di Kampung Rambutan akhirnya menyewa satu mobil untuk ke Prau. Sungguh perjuangan, dan itu pun masih terkena macet.
Pendaki tersebut pergi, saya bosan di luar. Akhirnya saya pun masuk ke dalam toko. Yoshi sudah hamapir selesai berbelanja. Ia membeli carica, dan saya disuruh mencoba. Sebenarnya semalam di sepeda motor ke Wonosobo saya sudah jelaskan ke dia kalau saya tidak suka carica dan pernah mencobanya. Namun kali ini dia menyuruh saya mencoba lagi. Saya pun menurut, dan karena memang tidak suka, caricanya tidak saya habiskan dan saya tinggalkan di atas meja. Ketika sudah selesai berbelanja dan sudah di atas motor hendak balik ke penginapan, Yoshi bertanya, “carica yang tadi mana? Sudah lo habisin?” “Engga, gue simpan di dalam”, ujar saya. Dan.. Seketika saya kena omel. “Iiihhh, kenapa tidak dihabiskan??”, ujarnya. Saya mencoba menjelaskan bahwa kan semalam sudah saya katakana bahwa saya tidak suka carica. Dia tetap keras kepala dan mengatakan sayang kalau dibuang. Akhirnya saya kena omel lagi siang itu. Nasib, nasib..
Akhirnya kami tiba di penginapan. Barang sudah di-packing dari semalam, kami tinggal berangkat. Setelah menyerahkan kunci motor dan berpamitan dengan pemilik penginapan, kami pun menuju jalan raya untuk menunggu mikro bus untuk selanjutnya ke terminal Wonosobo. Oh iya, sekali lagi saya kagum dengan keramahan orang Dieng. Ibu pemilik penginapan, tutur kata dan bahasanya lembut sekali, saya bahkan sempat segan ketika berpamitan. Bahasa Jawa-nya bahasa Jawa halus. Entahlah, saya hanya jarang saja menemukan orang yang bertutur kata halus di ibukota.
Tiba di jalan raya, kebetulan sudah ada mikro bus yang ngetem. Tak usah menunggu lama, langsung kami naik. Namun sial, ternyata mikro bus ini ngetem lama sekali. Saya sampai kesal, mana kami belum dapat tiket bus ke Jakarta. Kalau terlambat dan tidak dapat, bagaimana?
Saya pun mulai gusar, sempat saya bertanya ke kernetmya, “kapan jalan pak? Ayo buruan, mau nyari tiket bus ini”. “Iya, dua penumpang lagi mas”, ujarnya, halus, berusaha menenangkan. Emosi saya sempat teredam. Tidak hanya saya, pendaki-pendaki lain yang hendak pulang dan belum dapat tiket bus juga mulai gusar.
Kepanikan lain juga terjadi di sini, karena kebetulan ada salah seorang kawan Gusti yang juga baru turun dari Prau. Ia sudah di terminal dan mengatakan bahwa tiket bus ke Jakarta sudah habis. Waduh, bencana. Saya sih tidak masalah pulang besok, tetapi kawan-kawan saya ini tidak bisa. Akhirnya Gusti meminta tolong pada temannya untuk mencarikan lagi.
Tak berapa lama, mikro bus pun penuh dan kami berangkat juga, setelah menunggu setengah jam. Kabar dari kawan Gusti datang lagi, katanya ada tiket Damri tujuan Jakarta, namun kursi yang tersisa hanya tujuan Grogol, Kalideres, Kemayoran, dan Cempaka Putih. Kami sepakat ambil yang Grogol saja, daripada tidak pulang. Toh, masih di Jakarta-Jakarta ini. Gusti minta tolong pada temannya untuk bookingkan terlebih dahulu, dan kami menuju terminal dengan perasaan harap-harap cemas tidak mendapat tiket.
Akhirnya setelah lebih dari satu jam perjalanan, kami tiba di terminal Wonosobo. Pukul 13.00 WIB. Gusti segera berlari ke pool Damri, saya, Rijal, dan Yoshi, mengambil barang. Syukurlah, kami akhirnya mendapat tiket, dan harganya lebih murah dari sisa anggaran. Damri Ekonomi AC, kursi 3-2, Rp. 100.000. Sisa anggaran masih Rp. 150.000 lebih, sepakat kami gunakan untuk membeli makan di terminal dan makan malam di jalan nanti.
Beres urusan tiket, kami pun mulai makan dengan nasi padang di terminal. Ini adalah keinginan Yoshi yang sedari turun dari Prau sudah ingin makan nasi padang. Kami siang itu makan seperti kuli panggul terminal, lahap sekali.
Selama menunggu keberangkatan bus, saya sempat mengobrol dengan seorang pendaki dari Jakarta juga. Ia berempat dan baru turun dari Sumbing. Katanya Sumbing hujan deras, petir, dan longsor. Untung mereka bisa kembali dengan selamat. Mereka kebagian tiket bus jurusan Pulogadung. Saat seperti ini memang tak penting ke terminal mana, yang penting masih di Jakarta. Siang itu saya juga melihat, bagaimana seorang pendaki marah-marah dan memaki temannya karena tidak mendapat tiket bus. Sepertinya temannya tersebut lama. Padahal itu baru sekitar satu jam dari waktu kami tiba di pool Damri.
Akhirnya, setelah sholat dan menunaikan kewajiban pribadi, menjelang pukul empat kami sudah naik ke bus. Pukul 16.30 WIB, bus menuju Jakarta pun berangkat. Saya duduk sederet dengan Gusti dan Yoshi, sementara Rijal duduk sendiri di seberang. Gusti dan Yoshi ini diperjalanan malah asyik curhat-curhatan ala termehek-mehek. Saya yang sudah lelah dan mengantuk jadi malas sendiri. Akhirnya saya menegur mereka dan dibalas dengan cibiran. Terserahlah, saya memakai headset dan memejamkan mata.

Perjalanan kembali ke Jakarta syukurnya tidak macet. Pukul 21.00 WIB, kami sudah sampai di rumah makan Bumi Ayu, tempat kami singgah kemarin. Sisa uang di kelompok digunakan untuk membeli makan malam itu.
Oh iya, di bus perjalanan pulang ini saya bertemu dengan rombongan pendaki asal Jakarta juga. Mereka tampak bahagia dan tertawa-tawa, padahal dari cerita mereka, mereka lebih miris dari kami. Mereka double summit Sindoro-Sumbing dan hanya berbekal sebungkus indomie karena tidak punya biaya. Tidak nampak raut wajah menyesal dan menggerutu dari mereka. Pemimpin rombongan mereka sangat ramah dan dipenuhi tawa-tawa bahagia serta humor-humor renyah. Ketika kami beristirahat di rumah makan, pemimpin pendaki itu sempat bertanya pada saya ketika saya membeli nasi, “mahal gak bang? Berapaan?” saya hanya tersenyum dan mengangkat bahu. Setelah membayar, saya akhirnya tahu harganya mahal. Sekali lagi ia bertanya, “berapaan bang?” Saya hanya membalas dengan suara tak enak, “tujuh belas ribu pakai ayam doang”. Sementara lauk di piring saya menggunung. Ya, namanya juga dibayarin sisa uang kelompok.
Pendaki itu lalu kembali ke rombongannya. Berdiskusi, saya tidak tahu mereka membicarakan apa. Saya memilih menghabiskan makanan. Setelah makan, lantas saya kembali ke bus dan saya melihat rombongan pendaki itu hanya menikmati Pop Mie sembari tertawa bahagia. “kenyang gak bang?” lagi, pemimpin pendaki itu bertanya pada saya dengan tersenyum. “Alhamdulillah”, ujar saya tersenyum kecut.
Pada titik itu saya tersadar, bahwa selama ini begitu kurangnya saya bersyukur. Saya dan kawan-kawan di perjalanan dianugerahi banyak kemudahan, tidak kurang makan, dan bahkan materi sebenarnya bukan masalah. Namun saya sendiri sempat beberapa kali bête dan kesal di perjalanan. Bayangkan dengan rombongan pendaki-pendaki itu, dari segi dana pas-pasan dan dari segi cerita cukup miris. Tapi mereka tampak senang dan bahagia. Saat itulah saya merasa seperti kembali menemukan makna hidup. Bahwa kebahagiaan sebenarnya bukanlah hanya tentang uang, ia bersembunyi di antara peluh dan debu, di antara tawa bahagia setelah lelahnya perjuangan, dan di antara hangatnya persahabatan. Saya berusaha menginstropeksi diri dan sejenak kemudian merasa malu. Saya mungkin masih jauh dari pribadi yang baik, sabar, dan bertanggung jawab.
Perlahan bus mulai melaju kembali. Kerlap-kerlip lampu jalan di kejauhan menyadarkan saya bahwa masih banyak titik-titik terang kehidupan, yang walau nampak kecil, namun bersinar terang, yang luput dari pandangan saya. Malam itu, ke Jakarta, kami kembali. Perjalanan kali ini sangat berkesan, banyak makna-makna hidup yang saya pelajari kembali. Terima kasih, Dieng dan Prau.
Comments