top of page

Catatan Perjalanan: Singapura. Lost in Translate, Jadi Gembel di Marina Bay

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 27 min read

Sobat, setelah sebelumnya saya hanya membagi catatan perjalanan mengenai dua pendakian gunung, kali ini saya akan membagi perjalanan saya ke luar negeri, Singapura tepatnya hehe.. Perjalanan saya ke Singapura ini sebenarnya bukanlah dalam rangka jalan-jalan atau foya-foya, namun sebenarnya dalam rangka mengikuti Nanyang Technological University Model United Nations (NTU MUN) di NTU, Singapura, tahun 2013 lalu (selengkapnya mengenai NTU MUN, sobat googling aja sendiri :p). Saya berangkat dari tanggal 14 Februari sampai dengan 19 Februari 2013 dengan tujuh orang kawan saya dari Ilmu Politik UI, yaitu Adi, Aldrin, Adlin, Deni, Rasti, Epin, dan Sere.


Hari pertama, 14 Februari 2013


Yap, ini hari valentine, tapi engga ada hubungannya sama perjalanan saya :p hehe.. Pesawat saya dan kawan-kawan sebenarnya berangkat pukul 18.00 dari bandara udara Soekarno Hatta, Jakarta. Namun entah karena over excited atau terlalu khawatir, kami sudah berkumpul di kostan Aldrin di daerah Margonda sekitar pukul 11.00 WIB :p Karena jumlah kami yang cukup banyak, yaitu delapan orang, Sere merencanakan kami menumpang taksi Alphard saja (sok orang kaya bgt wkwk). Taksi Alphard dipilih karena selain mewah :p kapasitasnya juga besar, muat untuk kami berdelapan, jadi tidak perlu menumpang dua taksi yang jika dihitung-hitung, biayanya sama kayak menumpang taksi Alphard. Akhirnya, dengan menumpang taksi Alphard, kami berangkat ke Soekarno Hatta sekitar pukul 13.30 WIB (padahal pesawatnya jam enam sore -___-). Tiba di Soekarno Hatta, kami menghabiskan waktu dengan berbincang dan main gadget :p Pukul 18.00 WIB, pesawat kami pun berangkat ke Changi Airport, Singapura.


Sekitar pukul 21.00 waktu Singapura, kami tiba di Changi. WOW!! This is the first time i go abroad!! Mom, look at your son now! :”) wkwk.. dan sebenarnya, ini juga salah satu kebanggaan sendiri dalam diri saya, karena saya ke luar negeri bukan dalam rangka jalan-jalan atau wasting time, namun dalam rangka mengikuti event internasional hehe :”) skip.. skip..


Touchdown Changi! Kiri ke kanan: Deni, saya, Rasti, Adlin, Sere, Adi, Aldrin. Photo taken by Epin.


Tiba di Changi, kami mengurus paspor di bagian imigrasi, menukar uang di money changer, dan.. bingung mau kemana! HAHA. Terang saja bingung, sebab acara di NTU baru dimulai besok malam, sedangkan kami tidak tahu harus menginap di mana malam ini. Akhirnya setelah berembug dan entah dapat ide dari siapa, kami memutuskan malam itu kami menginap di.. Changi Airport! HAHA.


Saya lupa waktu itu kami tiba di terminal berapa, yang jelas setelah mengurus segala keperluan administrasi dan menukar uang, kami beranjak naik skytrain menuju terminal yang satu lagi, tempat dimana banyak terdapat restoran dan kelak jadi kamar kami untuk semalam :”)


Tiba di terminal satunya, kami memutuskan untuk mencari makan. Maklum, terakhir kali kami menyentuh makanan rasanya siang tadi. Saya yang hobi makan tentu sudah sangat menderita saat ini hehe.. :p namun sial memang, dasar kami memang turis miskin, buat makan saja masih mikir-mikir. Tentu saja, sebab uang kami pas-pasan. Saya hanya membawa lima ratus ribu buat bekal selama di Singapura ._. itu jika ditukar di money changer dengan kurs dollar Singapura saat itu yang sekitar delapan ribu rupiah, menjadi sekitar 62,5 dollar Singapura. Karena kondisi keuangan yang kempis, kami akhirnya memutuskan mencari menu makanan termurah di Changi, dan akhirnya.. Burger King menjadi penyelamat perut saya malam itu :”) Saya, Deni, Adi, yang memang keuangannya paling mengkhawatirkan, memesan burger yang paling murah waktu itu. Sementara Rasti, karena saat itu ia sementara menjadi vegan, ia mencari makanan lain selain Burger King. Aldrin, Ephin, Sere, dan Adlin juga sama memesan Burger King, namun dengan menu yang lebih mahal sedikit dari saya, Deni, dan Adi, hehe.. Saya lupa nama menu yang saya pesan, namun isinya kalau tidak salah tuna dan keju, lumayanlah, harganya juga 1,5 dollar kalau tidak salah. Saya memesan dua potong, sementara Adi dan Deni, mereka cukup dengan satu potong hehe..


Me and Rasti were having dinner. Say thanks to BK :")


Setelah mengisi perut, kami memutuskan mencari tempat beristirahat. Setelah berjalan-jalan, akhirnya kami berhenti dan menetapkan tempat istirahat kami di salah satu ruang tunggu, di depan papan informasi yang sangat besar. Bersama kami, tampak pula beberapa turis lain yang beristirahat di bangku ruang tunggu tersebut. Kami mulai menggelar “kamar” masing-masing :p


Saya dan Deni baru ingat, kami belum sholat isya’. Akhirnya saya dan Deni memutuskan mencari musholla. Dan ternyata.. Changi tidak punya musholla -__- Akhirnya karena bingung, kami pun bertanya ke petugas resepsionis di Bandara Changi mengenai arah kiblat, kami memutuskan akan sholat di pojokan terminal saja. Namun lagi-lagi sial, dua resepsionis cantik dari etnis Melayu itu tampak bingung ketika saya menanyakan arah kiblat. Mereka seperti tidak paham dengan kiblat. Karena tahu mereka bingung, saya pun mengganti pertanyaan saya dengan kemana arah barat, saya mau sholat (sambi memeragakan gaya orang takbiratul ihram dan bersedekap) ke arah barat. Mereka lagi-lagi bingung, katanya tidak tahu dimana arah barat, mereka bukan muslim katanya sambil sedikit tertawa. Oalah.. Sia-sia pikir saya. Akhirnya saya dan Deni pun meninggalkan dua resepsionis itu.


Kami tetap memutuskan harus sholat. Akhirnya saya memutuskan bertanya pada petugas kebersihan atau keamanan saja, di antara mereka pasti ada yang muslim menurut saya. Namun sial, kebanyakan petugas kebersihan di Changi adalah orang-orang etnis India dan sepertinya mereka beragama Hindu, mana tau kiblat pikir saya. Akhirnya setelah beberapa saat mencari, kami menemukan salah satu petugas kebersihan beretnis Melayu dan alhamdulillah, ia muslim. Kami tidak hanya ditunjukkan arah kiblat, namun juga diantar ke tempat sholat yang ternyata.. hanya di sudut sempit dekat lift barang bandara Changi. Satu-satunya yang memperlihatkan itu tempat sholat adalah petunjuk arah kiblat di langit-langitnya. Ya sudah, daripada tidak ada, di sini saja kami sholat, toh Allah Maha Mengerti.


Ada cerita lucu saat saya dan Deni sedang mengambil air wudhu di toilet Bandara Changi ini. Jadi saat itu kebetulan sudah cukup larut malam, hampir seluruh toilet sedang dibersihkan jam-jam segitu, jadi kami harus menunggu agak lama untuk berwudhu. Nah saat menunggu toilet dibersihkan inilah tiba-tiba seorang bapak-bapak paruh baya beretnis Tionghoa dan sepertinya berasal dari Malaysia, dengan tampang seperti supir truk ikan yang kumel, datang ke toilet. Ia memaksa masuk rupanya karena kebelet kencing. Namun oleh petugas kebersihan perempuan beretnis India, ia dilarang dan diomeli. Sempat terjadi adu mulut yang lucu di sini. Lucu karena dialek dua orang ini aneh menurut saya dan Deni haha.. saya sempat mendengar omelan terakhir bapak ini kepada petugas kebersihan tersebut yang kira-kira berbunyi “cilaka kalian, bersihin toilet jam segini” haha :D


Bapak itu akhirnya menyerah, ia akhirnya bergabung di antrian bersama kami dan sepertinya orang ini memang doyan ngoceh. Ia bertanya kami berasal dari mana. Setelah menjelaskan kami dari Indonesia, ia tiba-tiba bersemangat. Katanya ia punya banyak pekerja dari Indonesia di kebun kelapa sawitnya di Malaysia. Haha orang ini bos TKI rupanya -__- dan lagi-lagi, kalimat “cilaka” keluar dari mulutnya karena toilet itu cukup lama dibersihkan :D


Setelah sholat, saya dan Deni bergabung dengan yang lainnya di ruang tunggu. Di sini kami gabut :p ehehe.. Aldrin, Sere, Adlin, dan Epin memutuskan berjalan-jalan di sekitar terminal. Karena mungkin kelewat bosan, Sere dan Aldrin melakukan beberapa kekonyolan yang membuat saya tidak bisa menahan tawa.


Kelakuan Aldrin dan Sere di Changi....


Tidak berapa lama, kami akhirnya memutuskan tidur. Sekitar pukul 23.00 waktu Singapura kalau saya tidak salah ingat.


This is how we slept..


Hari kedua, 15 Februari 2013


Kami bangun agak pagi, sebelum aktivitas bandara terlampau sibuk, yaitu sekitar pukul 05.00 waktu setempat. Saat itu beberapa penumpang terlihat sudah ada yang menunggu penerbangan di bandara dan mereka, tampak cuek dengan adanya delapan turis asing yang tidur seperti gembel di lantai dan kursi ruang tunggu bandara :p Setelah mencuci muka sebentar, berangkatlah kami menuju stasiun MRT di Bandara Changi untuk menumpang MRT menuju ke Little India.


Hari pertama menjelajah Singapura, tujuan awal kami adalah Little India. Kami tiba di Little India cukup pagi, pukul 06.30 kalau tidak salah. Belum banyak orang-orang setempat yang berangkat kerja. Karena dasar perut orang Indonesia, kami hari itu sudah sangat mengidam-idamkan.. nasi! Ya, saya harus makan nasi hari itu! Demikian juga kawan-kawan yang lain haha..


Akhirnya dengan semangat 45, kami berjalan mencari restoran yang menjual nasi. Namun sial, karena kami semua buta lokasi, bingunglah kami mencari kemana. Akhirnya setelah berpusing-pusing ria, tujuan kami mantap ke salah satu restoran India di perempatan jalan, dekat dengan Buffalo street. Dari luar, restoran ini kelihatan meyakinkan dan harganya tidak terlalu mahal. Apalagi di etelasenya terlihat ada nasi briyani berwarna kuning keemasan yang tampak menggoda. Pilihan kami semakin mantap setelah bertanya ke penjual yang beretnis India namun terlihat masih sangat muda tersebut, ia menjawab seporsinya hanya satu dollar :”) Saya dan yang lainnya akhirnya kompak memesan satu porsi nasi briyani yang hanya dihiasi dengan dua macam saus India, entah apa namanya, beserta “kue”, semacam kue donat namun terbuat dari rempah-rempah, sebagai lauk. “Kue” ini harganya juga satu dollar.

Baru suapan pertama, dengan harapan hasrat akan nasi bisa terpuaskan, saya langsung.. mau muntah! Kenapa?? Karena nasi briyaninya ternyata.. tidak enak! Eww.. Entahlah, apakah memang nasi India seperti itu, dengan rasa yang lebih mirip makan ketumbar dan kunyit ketimbang nasi, atau masakan orang itu memang tidak enak. Saya benar-benar tidak tahan dengan rasa rempah-rempahnya yang terlalu kuat dan menurut saya tidak enak dan aneh. Begitu juga dengan kue, itu hanya bentuk lain dari nasi briyani yang memiliki rasa yang sama. Satu-satunya yang enak adalah sausnya yang berwarna putih, yang terasa seperti keju, namun juga tentu tidak enak jika dimakan tanpa pelengkap. Tidak sampai lima suap, saya menyerah, mau muntah saya.


I was looking at briyani like "ew..". Yang mirip seperti kue di pinggir itu adalah "kue" yang sama tidak enaknya dengan nasi briyani x_x


Bukan hanya saya yang merasa enek, begitu juga Deni, Adi, Rasti, dan yang lainnya. Namun beberapa di antara mereka akhirnya memaksakan diri menghabiskan nasi tersebut karena memang hanya ini yang ada, daripada tidak makan. Sesekali Deni dan Rasti tampak tidak mengunyah, hanya memasukkan sedikit ke mulut, lalu minum air haha.. Nyesal saya, tahu begini, saya pesan roti canai saja, sebab pria etnis Tionghoa di meja seberang tampak nikmat makan roti canai di restoran itu, pun demikian dengan seorang supir taksi beretnis India di meja lainnya. Karena enek, saya memutuskan memesan teh tarik yang harganya 1,5 dollar, lebih mahal dari nasi briyani -__- agaknya kini saya paham mengapa rasa nasi itu tidak enak. Untung saja teh tariknya cukup enak.


Setelah makan yang tidak nikmat itu, kami memutuskan menuju Mustofa, salah satu pusat oleh-oleh di Singapura, untuk membeli oleh-oleh lebih awal hehe.. Cukup lama kami di situ, sampai pukul 10.00 kalo tidak salah. Kebetulan hari itu hari jumat, saya, Deni, dan Adi berencana menunaikan sholat jum’at. Kami bertiga pun berjalan menyusuri jalan di Little India mencari masjid, sementara kawan-kawan yang lain menunggu di daerah sekitar Mustofa sembari berjalan-jalan. Akhirnya, setelah berjalan beberapa saat, kami menemukan masjid dan alhamdulillah.. ada toiletnya!! :”) ya kalian tahulah hendak ngapain kami setelah makan yang aneh-aneh semenjak di Changi semalam :p

Syukurnya, toilet masjid itu cukup bersih. Saya, Deni, dan Adi sukses membuang limbah dengan lancar. Kami lalu membersihkan diri, berwudhu, dan menuggu waktu jum’at. Di sinilah beberapa cerita unik terjadi. Saya tidak paham, apakah di Singapur masjid memang tidak diketahi sebagai tempat suci dan untuk beribadah atau bagaimana. Karena ketika saya sedang asyik beristirahat, beberapa turis asing tampak tertarik ingin masuk ke masjid dan berfoto. Bahkan seorang turis sempat masuk dengan memakai sepatu ke areal sholat namun dengan cepat disuruh pergi oleh salah satu jamaah. Demikian juga dengan warga lokal, seperti tidak mengetahui masjid itu apa. Salah seorang bapak-bapak paruh baya dari etnis Tionghoa malah dengan entengnya jalan dari sisi masjid satu ke masjid lain bersama keluarganya dengan memakai sepatu, padahal itu adalah tempat sholat. Jama’ah tadi pun dengan cepat melarang keluarga tersebut dan menjelaskan kepada lelaki Tionghoa tersebut bahwa masjid ini suci. Bapak itu tampat tidak mengerti dan hanya menganggguk-angguk kebingungan.


Oh iya, cerita unik lain juga ternyata masjid ini adalah masjid yang rata-rata diisi oleh imigran Bangladesh muslim di Singapura. Seiring semakin dekatnya waktu sholat jum’at, semakin banyak imigran Bangladesh yang datang ke masjid ini. Sembari menunggu waktu jum’at, saya dan dua kawan saya mencoba ramah dan tersenyum dengan beberapa jamaah. Maklum, kami turis, takutnya dianggap bagaimana gitu hehe..


Beberapa imigran tampak tertarik, sekitar tiga atau empat orang imigran yang terdiri dari pemuda dan lelaki paruh baya duduk mengelilingi kami. Dari tampangnya dan pakaiannya, mereka kelihatan seperti pekerja kasar di Singapura. Saya dan kawan saya bercakap-cakap dengan orang-orang ini yang bahasa Inggrisnya ternyata lebih buruk dari kami hehe.. Saya ditanya beberapa pertanyaan di sini, termasuk apa mazhab saya? -__- karena tidak tahu, saya jawab saja saya Islam Sunni :p ehehe.. Dari obrolan tersebut, banyak fakta-fakta baru yang saya temui tentang dunia kerja dan Islam yang menjadi keluhan orang-orang Bangladesh ini.


Sholat jumat di masjid ini juga unik karena khotbahnya memakai bahasa.. Bangladesh! Sepanjang khotbah saya tidak paham khatibnya bicara apa, mana lama banget lagi, hampir satu jam -__- sholatnya juga aneh, enam raka’at totalnya seingat saya. Jadi setelah sholat jum’at dua rakaat, kami sholat dzuhur lagi empat raka’at -__- Hal ini menjadikan saya dan dua kawan saya cukup lama di masjid, sampai sekitar pukul 13.30 kalau tidak salah.

Oh iya, di masjid ini kamu juga berkenalan dengan Pak Salame. Dia Melayu muslim, dan ketika mengetahui kami dari Indonesia, dia seperti bersemangat. Kami mengobrol banyak hal. Ia menceritakan kalau kakeknya dulu berasal dari Indonesia, yaitu dari Kebumen kalau tidak salah. Oalah wong ngapak toh :p dia juga menceritakan kalau dia pekerja imigrasi di pemerintahan Singapura dan punya rumah di Malaysia. Pak Salame ini baik banget. Jadi sepulang sholat, saya, Adi dan Deni hendak langsung ke tempat Sere dkk yang menunggu kami dari tadi. Namun ketika hendak pergi, Pak Salame memanggil kami. Makan dulu katanya. Alhamdulillah, rezeki anak sholeh, jum’at barokah :”) tau saja dia perut saya yang masih kelaparan dan tidak enak gara-gara nasi briyani tadi pagi..


Saya sebenarnya tidak enak dengan kawan-kawan yang lain yang sudah menunggu. Akhirnya, saya dan Adi mencoba menjelaskan pada Pak Salame kalau kami sebenarnya memiliki kawan-kawan lain lagi yang menunggu kami. Pak Salame bertanya, apakah mereka semua muslim? Saya dan Adi menjawab mereka kebanyakan non muslim, namun ada satu orang perempuan yang muslim. Wah Pak Salame ini sepertinya penganut Islam garis keras, ia hanya mau mentraktir yang muslim saja. Saya, Adi dan Deni tentu tidak enak dong sama yang lain, di satu sisi kami tidak mungkin menolak tawaran baik Pak Salame. Akhirnya saya, Adi dan Deni pergi ke tempat kawan-kawan, menjelaskan bahwa kami berkenalan dengan orang di masjid, ia mengajak kami bertiga makan sebentar. Untungnya kawan-kawan saya mengerti, mereka mau menunggu kami makan dan paham akan situasi tersebut :”) akhirnya makanlah kami di salah satu restoran Timur Tengah milik kawan Pak Salame di daerah Mustafa, yang jauh lebih mewah dan enak dibanding kedai tempat kami sarapan tadi sore. Kali ini saya tidak mau terjebak lagi, saya memesan nasi putih, dan alhamdulillah, ada nasi putih di sana! :”) Pak Salame, Adi, dan Deni, mereka makan nasi briyani -__- tapi dari keterangan Adi dan Deni, nasi briyani restoran tersebut enak sekali, jauh dari yang kami makan tadi pagi. Saya sendiri alhamdulillah bersyukur menyantap nasi putih dengn lauk kambing guling dan segelas jus alpukat :“)


Selesai makan, kami langsung pamit ke Pak Salame. Baik sekali orang ini, makan pun kami disuruh tambah, namun tentu saja tidak kami lakukan karena tidak enak :”) ia bahkan dengan bangganya memperkenalkan kami sebagai tamunya dari Indonesia kepada pemilik restoran, padahal kami baru saja kenalan di masjid tadi siang. Ia juga sempat memberikan kartu namanya ke Deni dan menulis di buku catatan saya tempat-tempat wisata di Singapura yang bagus unutk dikunjungi. Sayangnya, kami tidak datang berwisata pak, seandainya kami punya waktu lebih :”)

Menjelang sore, kami bertujuh sudah menuju ke NTU dengan MRT. Kami tiba di NTU sore hari, saya lupa pukul berapa. Masalah di sini mulai muncul lagi. Kami ini memang benar-benar anak hilang, tidak tahu hendak kemana dan tidak tahu arah hehe.. Kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke Student Center (SC) milik NTU. Tiba di stasiun MRT, kami harus naik bus kampus ke SC. Namun sialnya, kami tidak tahu naik bus yang rute apa dan bus mana. Akhirnya dengan nekat, kami bertanya-tanya ke mahasiswa-mahasiswa NTU yang juga menunggu bus di situ. Beruntungnya, ada salah satu mahasiswi yang bersedia menunjukkan kami jalan ke SC, kami naik bus bareng dia.


We're goin to NTU! Those faces looks so pathetic and deadly tired haha


Tiba di SC, kami bertanya ke petugas SC yang ternyata juga mahasiswa NTU yang part time, beda sekali dengan petugas-petugas administrasi di UI hehe.. Dari keterangan mereka, kami diberitahu bahwa tujuan kami adalah Nanyang Executive Center (NEC). Jika berjalan, cukup jauh katanya. Sebenarnya bisa naik bus, cuma kami tidak tahu bus yang mana dan turun dimana. Akhirnya karena waktu juga semakin mepet sebab acara dimulai pukul 19.00 malam, kami bertujuh sepakat naik taksi saja dari SC ke NEC. Petugas di SC pun membantu memesankan kami taksi.

Taksi datang, kami segera meluncur ke NEC. Untungnya biayanya tidak terlalu mahal buat kami untuk patungan. Sesampai di SC, kami disambut oleh panitia NTU MUN dan segera diarahkan ke bagian registrasi. Adi sebagai kepala delegasi segera mengurus registrasi sementara kami beristirahat dulu di sofa. Sudah terlihat juga beberapa delegasi negara lain yang sudah maupun baru tiba di NTU.

Setelah registrasi, kami diantar menuju kamar masing-masing yang menyerupai hotel bintang tiga :”) alhamdulillah setelah kemarin malam hanya tidur beralas ubin dingin Changi. Saya sekamar dengan Adi, Aldrin dan Deni di kamar sebelah kiri, Rasti dan Sere di kamar depan saya, Epin dan Adlin di kamar depan kamar Deni, di samping kamar Rasti dan Sere. Tiba di hotel, kami langsung mandi dan berdandan rapi, sebab malam itu adalah malam pembukaan acara NTU MUN. Kami akan diantar dengan bus jemputan ke tempat acara yang juga masih dalam lingkup kampus NTU.


Sekitar pukul 19.00 WIB, kami menuju ke tempat acara. Sudah ramai rupanya, kami agak terlambat, dan langsung duduk di aula. Setelah beberapa pidato basa-basi, acara pembukaan selesai. Kami disuruh berkumpul ke council masing-masing. Adi dan Deni misalnya ke Human Rights Council, Sere ke Security Council, Adlin ke ECOSOC, Rasti saya lupa apa, sementara saya dan Epin ke bagian press delegate. Di sini kami berkenalan dengan masing-masing anggota council dari berbagai negara. Kawan pertama yang saya kenal adalah Lulwah Darwis dari Bahrain. Setelah perkenalan singkat dan briefing job desk untuk besok, kami diberi waktu bebas dan makan malam. Saya pun bergabung kembali dengan kawan-kawan saya dan mengantri santap malam yang prasmanan hehe..


Opening ceremony of NTU MUN 2013


Ketika mengantri inilah seseorang mencolek bahu saya. Rupanya dia adalah delegasi dari Cina, anggota delegasi pers juga seperti saya dan Epin. Kami berbincang di sini, ia sedikit tertarik nampaknya pada saya (bukan, ini bukan ge-er, tapi benar :p) sebab saya memang sedikit nyeleneh ketika sesi perkenalan tadi. Ketika delegasi lain hanya memperkenalkan nama dan asal universitas serta negaranya, saya memperkenalkan diri sampai dengan medsos-medsos saya bahkan bertanya apakah mereka hendak meng-add saya di fb apa tidak? :p hal ini cukup memancing tawa ringan para peserta.. Skip.. skip..


Sepanjang makan malam, saya berbincang dengan Peng Min Jie, nama perempuan tersebut. Namun ia menyuruh saya untuk memanggilnya Min Jie saya. Ia rupanya berasal dari Beijing Language and Culture University. Perbincangan saya dan Min Jie berakhir ketika saya memutuskan pamit hendak kembali ke kawan-kawan saya. Balik ke kawan-kawan saya, saya diledek oleh Rasti dan Sere, belum apa-apa sudah dapat perempuan Cina :p haha padahal sebenarnya tidaklah demikian.. Saya juga di sini berkenalan dengan Wang Ling, yang rupanya juga berasal dari Beijing Language and Culture University, sama seperti Min Jie. Wang Ling ini rupanya satu council dengan Aldrin. Saya, Aldrin, Deni, dan Adi akhirnya mengobrol bersama Wang Ling.


Waktu makan malam sebenarnya sekaligus penutupan acara pembukaan, kami boleh bebas kembali ke penginapan setelah makan. Menjelang pulang, saya, Deni, Adi, dan Aldrin terpisah dengan para perempuan. Tampaknya mereka sudah kembali duluan ke penginapan pikir kami. Kami pun memutuskan kembali ke penginapan. Di sini masalah muncul lagi, sebab pihak panitia hanya memberi bus antar, tapi tidak dijemput -__- pulangnya kami disuruh naik bus kampus saja dari halte terdekat ke NEC. Tentu kami bingung, NEC dimana, naik bus apa, dan turun dimana. Mana saat itu kami tidak ada barengan lagi dengan delegasi lain. Sebenarnya ada dua delegasi lain, namun rupanya mereka warga lokal, Singapura, tidak hendak ke NEC. Mereka juga tidak tahu NEC dimana dan naik bus dengan rute yang berbeda.


Akhirnya daripada pusing, dasar memang mental backpacker, saya, Aldrin, Adi dan Deni pun memutuskan berjalan kaki sampai NEC. Kami terus saja jalan sembari mengingat-ingat rute bus. Masalah muncul ketika kami mulai.. kesasar._. Untungnya di sini ada salah satu mahasiswa NTU yang kami temui. Anak ini sepertinya hendak kembali ke asrama mahasiswa, pakaiannya hanya celana pendek, sendal jepit, dan kaos oblong. Aldrin pun bertanya arah ke NEC pada anak ini. Namun sial, kami agak bingung menangkap maksud dan petunjuk orang ini, ia memakai Singlish yang agak susah dipahami -__- akhirnya karena pusing menjelaskan atau entah tidak mau ribet, anak itu pun menawarkan diri agar ia mengantar kami ke NEC. Akhirnya berangkatlah kami ke NEC dengan guide mahasiswa ini. Kami beberapa kali melewati asrama yang tampak seperti rumah susun dengan jemuran dimana-mana. Sempat pula kami melewati kantin suatu fakultas yang ramai dan menjadi pusat perhatian. Tentu saja, siapa orang aneh yang berjalan malam-malam di kantin fakultas dengan memakai setelan jas dan sepatu pantofel lengkap?

Setelah jalan beberapa lama, sampailah kami di NEC dengan bantuan mahasiswa tadi. Rasti dan anak perempuan lainnya sudah menunggu di lobby. Berbarengan, kami langsung menuju kamar masing-masing untuk beristirahat. Cukup lelah perjalanan hari ini, besok ada event penting yang akan dimulai.


Hari ketiga, 16 Februari 2013

Hari ketiga, agenda kami adalah konferensi all-day long sampai sore. Sebagai press delegate, saya ditempatkan di Security Council bersama empat orang lainnya untuk meliput jalannya sidang council. Ada Sere juga di Security Council ini, ia sebagai delegasi negara Azerbaijan. Saya di sini ternyata bersama dengan Min Jie juga, such a surprise. Kami berbincang kembali dan ia duduk di samping saya. Di sini juga saya berkenalan dengan delegasi pers lainnya, yaitu Minaal Pervaiz, dari Nottingham University, Malaysia.

Menjadi delegasi pers lebih sulit dibanding delegasi di council menurut saya. Kenapa? Jika delegasi di council hanya perlu menyampaikan pendapat dan mosi terkait satu isu, kami, delegasi pers, harus mengikuti keseluruhan proses sidang, mencatat hal yang penting, mengetik ulang, untuk kemudian dijadikan berita dalam buletin Bastion milik NTU MUN. Saya di sini agak kesusahan menangkap pembicaraan para delegasi, maklum aksen mereka bukan English America atau British, melainkan Singlish dan Ind-lish (India English), karena kebanyakan delegasi berasal dari etnis Tionghoa dan India, sedangkan yang etnis Arab dan kulit putih terbilang sedikit.


Singlish agak sulit saya pahami, karena selain nada bicarnaya yang cepat, pronouncenya juga tidak jelas seperti bahasa Cina. Demikian juga dengan Ind-lish yang menurut saya lebih lucu. Orang India jika ngomong Bahasa Inggris seperti ada qolqolah di belakangnya. Misalnya mereka mau ngomong “what” menjadi whad”. Aksennya juga aneh seperti bahasa India. Untungnya di sini ada Minaal, ia beberapa kali saya repotkan untuk bertanya apa poin dari masing-masing delegasi. Minaal berbahasa Inggris dengan bagus, mungkin karena ia keturunan Arab dan berasal dari Nottingham University kali ya, tidak seperti delegasi lainnya yang berasal dari etnis Tionghoa atau India.


Suasana Security Council. Look at Sere on the corner, looks so insecure :p wkwk


Me look so serious while actually fucked up :p The girl with red hijab, it was Minaal. The chinese girl next to me was Min Jie, and the another one with glasses on the Corner was Sarah.


Sesi pertama selesai, artikel saya juga sudah dikumpulkan pada Minaal selaku ketua kelompok. Selanjutnya adalah makan siang. Saya kembali bertemu dengan kawan-kawan saya di sini. NTU MUN merupakan pengalaman baru bagi kami, jadi tidak heran beberapa kawan saya sedikit “shock” dengan tekanan yang didapat hehe.. Sebab kami memang dipaksa untuk mengeluarkan kemampuan bahasa Inggris terbaik kami dalam event ini. Situasi ini membuat beberapa kawan saya “tumbang” :p Sere, Aldrin, Rasti, tidak melanjutkan sesi kedua, mereka males dan capek katanya haha.. lebih baik istirahat di kamar. Saya, Deni, Adi, Epin, dan Adlin kembali ke council masing-masing.


Sesi kedua berlangsung sama seperti sesi pertama, saya harus membuat satu artikel tentang jalannya sidang. Berkat beberapa bantuan Minaal sebagai listener, artikel saya pun akhirnya jadi dan sesi kedua berakhir sekitar pukul 17.00. Saatnya kembali ke kamar masing-masing untuk mempersiapkan diri mengikuti Social Night pada malam harinya. Time for party! :p

Sekitar pukul 19.00, saya dan kawan-kawan saya sudah berdandan rapi dan siap mengikuti acara Social Night. Social Night ini diadakan di salah satu bar di daerah Clarke Quay kalau tidak salah. Kami menuju ke sana dengan bus yang sudah dipersiapkan. Karena bosan menunggu para perempuan yang berdandan, saya pun turun duluan ke lobby. Di lobby saya bertemu dengan Min Jie dan Sarah, delegasi pers juga seperti saya di Security Council yang berasal dari Arab Saudi. Bersama mereka, ada dua orang delegasi lain juga yang berasal dari Cina, mereka juga delegasi pers. Kami berempat berbincang santai.

Tidak berapa lama, Minaal terlihat bergabung bersama kami. Ia tampak sangat berbeda karena melepas kerudungnya yang selama seharian ini dikenakan. Rambutnya diikat ke atas dan ditutupi sehelai topi koboy kecil berwarna merah. Ia tampak elegan dengan balutan kemeja putih, celana kain, dan selembar syal di lehernya. Saya sedikit terkejut, sebab saya pikir dia tipikal perempuan religius, dari penampilannya sepanjang hari terlihat demikian. Namun malam ini, ia kelihatan berbeda.


“Wow, you look so different!”, ujar saya. Minaal hanya tertawa-tawa dan tersenyum santai. Tidak berapa kami disuruh oleh panitia untuk naik bus. Kebetulan teman-teman saya sudah turun semua, dan kami pun berangkat menuju acara Social Night.


Setelah beberapa menit perjalanan, kami tiba di China One, nama bar tempat berlangsungnya acara. Sepanjang perjalanan, saya menikmati pembicaraan Min Jie dengan ibunya di telepon yang memakai Bahasa Cina. Ini adalah pertama kalinya saya mendengar orang berbicara bahasa Cina secara langsung hehe.. Ia kebetulan duduk di belakang saya. Melalui keterangan Wang Ling setelahnya, saya baru tahu ternyata Min Jie ini semacam anak kost, orang tuanya tinggal di salah satu provinsi yang jauh dari Beijing.

Tiba di tempat acara, kami diberi gelang khusus sebagai tanda perserta. Saya memesan sebotol Cola karena memang saya tidak minum alkohol atau sejenisnya. Di antara kami, hanya Rasti dan Sere yang minum, sisanya tidak. Rasti memesan satu slot whiskey plus jeruk nipisnya kalau tidak salah. Oh iya, di dalam bar ini, saya lagi-lagi terkejut akan Minaal. Ia dan beberapa kawannya sudah duluan masuk ke smoking room, tampak berbincang, dan.. merokok serta minum bir. Wow! Sungguh beda dengan penampilan awalnya menurut saya. Entahlah, apakah Islam yang mereka anut memang kelewat sekluer dan liberal, saya tidak paham. Saya hanya menikmati sisa malam itu dengan bergoyang mengikuti alunan musik dan bersenang-senang haha..

Hangover baby!! :p Look at Adi, hope his mother haven't seen those pictures wkwk


Me with Wang Ling, look like Twin while actually we're not :p


Bosan dengan suasana di dalam, saya dan beberapa kawan saya memilih berjalan-jalan keluar, di daerah sekitar Clarke Quay. Panitia mengingatkan agar kami jangan pergi terlalu jauh sebab sebentar lagi mau pulang. Kami menyanggupi dan akhirnya menjalani beberapa sesi foto-foto di sekitar Clarke Quay. Oh iya, Wang Ling juga ikut bersama kami, ia lebih milih berpisah dari teman-temannya.


Kami berfoto sejenak di luar Clarke Quay.

Puas berfoto dan berjalan-jalan, kami kembali lagi ke China One. Tidak berapa lama, waktu Social Night akhirnya usai. Kami kembali ke bus untuk selanjutnya kembali ke NEC. Sepanjang perjalanan kebanyakan delegesi tertidur, entah karena capai atau mabuk. Saat tiba di NEC, saya melihat Minaal yang tengah memapah pacarnya sepertinya. Pria keturunan Arab berkulit cokelat dan rambut kribo itu tampak mabuk berat. Sebelum beranjak tidur ke kamar masing-masing, saya dan kawan-kawan saya menyempatkan diri terlebih dahulu berfoto-foto alay depan kamar hotel sembari ngobrol-ngobrol lucu. Pengalaman barusan menjadi salah satu pengalaman yang seru dalam hidup kami, sembari di satu sisi juga harap-harap cemas dengan sesi council hari kedua besok :p

Some photo shoot before went to bed :p


Hari keempat, 17 Februari 2013


Hari keempat di Singapura, sekaligus hari terakhir di NTU. Agenda kami hari ini adalah menyelesaikan konferensi untuk selanjutnya menikmati pemandangan Singapura. Seperti hari kemarin, pagi itu saya sarapan di NEC bersama dengan para delegasi lain untuk selanjutnya masuk ke council masing-masing. Kali ini tugas saya sama seperti kemarin, yaitu membuat berita bersama Minaal, Min Jie, Sarah, dan Florence, anggota delegasi pers lainnya yang berasal dari Singapura. Oh iya, hari itu ternyata Min Jie pamit duluan pada saya. Ia rupanya tidak akan mengikuti sesi council kedua hari itu karena mau pergi katanya, jalan-jalan bersama temannya di Singapura.


Oh iya, pada hari kedua konferensi ini, lagi-lagi Sere, Aldrin, Rasti, ditambah Epin dan Adlin, membolos -__- mereka justru pergi jalan-jalan ke sekitar NTU dengan pakaian rapi dan lengkap. Mereka ke stadion NTU dan melakukan beberapa kekonyolan.


The fuck were you doin guys? -__-


Sesi satu berakhir, setelah makan siang, Min Jie mengucapkan selamat tinggal dan pergi. Itulah terakhir kali saya melihat Min Jie, hiks :”) Sesi kedua berlanjut, kali ini tugas jadi sedikit lebih berat karena Min Jie pergi duluan. Minaal dan Florence sempat kesal karena Min Jie tidak pamit pada mereka, sementara Minaal harus bekerja dobel karena jatah artikel Min Jie jadi dia yang mengerjakan. Maklum, kami bekerja sebagai satu tim. Dari sini saya akhirnya tau, ternyata Min Jie tidak pamit kepada siapa pun kecuali saya dan teman-teman delegasi dari universitasnya.


Sesi council kedua berlangsung biasa saja. Setelah selesai, para delegasi berfoto dan saya segera bergabung dengan teman-teman saya di lobby. Sebenarnya masih ada agenda lagi malam ini, yaitu upacara penutupan. Namun kami memilih tidak datang, karena kami ingin segera berjalan-jalan di Singapura. Maklum, waktu kami tidak banyak, pesawat kami untuk balik ke Indonesia besok pagi jam 09.00. Sebelum balik ke kamar dan beres-beres, kami menyempatkan diri berfoto-foto dulu sebagai satu tim dan kenang-kenangan.


 It looks so messed up..


Meet us, your future diplomats :p

Sore itu, setelah packing dan mempersiapkan segalanya, dimulailah backpackeran kami yang sebenarnya di Singapura hehe.. Rasti dan Adi meminta izin kepada panitia acara untuk pulang duluan, karena pesawat kami ke Indonesia dijadwalkan malam itu (bohong tentunya :p) hehe.. Panitia tampak mengerti, mereka akhirnya mempersilahkan kami pulang duluan. Akhirya, dengan menggunakan bus, kami pergi ke stasiun MRT terdekat untuk selanjutnya menuju Bugis Street.


Yoo let's get lost buddy!


Petang menjelang malam, kami tiba di Bugis Street. Di sini baru saya lihat keramaian Singapura yang sebenarnya hehe.. Bugis Street ini hampir sama kayak pasar menurut saya, ramai sekali dan banyak orang berjualan. Hal pertama yang saya putuskan di sini adalah.. Makan nasi!! Haha dasar orang Indonesia memang, perut saya semenjak kemarin sudah meronta-ronta makan nasi setelah biasanya hanya makan pizza, spaghetti, atau roti yang disediakan panitia NTU MUN.


Saya, Rasti, Aldrin, Adlin, dan Sere berputar-putar di sini mencari makan, sementara Deni, Adi, dan Epin tidak ikut. Masih kenyang katanya mereka makan di NTU tadi sore. Mereka lebih memilih jalan-jalan dan mencari oleh-oleh di Bugis street. Alhamdulillah setelah berjalan berkeliling, kami menemukan warung yang menjual masakan Indonesia :”) harus selektif memang mencari makan di sini, selain karena harganya cukup mahal, hati-hati juga dengan pork bagi yang muslim. Saya sebisa mungkin tidak membeli makanan di warung yang juga menjual pork. Yah, ini hanya tentang keimanan sobat hehe.. Saya membeli nasi ayam plus sambal, harganya sekitar 35 dollar kalau tidak salah :” namun kata Rasti yang pernah ke Singapura, harga tersebut relatif murah dibanding rumah makan lain. Ya sudah tak mengapa, yang penting makan nasi ayam! Hehe.. Pemilik warung ini juga baik, ia berasal dari Indonesia rupanya, namun tetap tidak ada diskon hehe..


Setelah kenyang, kami berlima segera bergabung dengan Adi, Deni, dan Epin. Saya di sini juga menyempatkan diri beli oleh-oleh gantungan kunci untuk kawan-kawan di Indonesia, harganya sepuluh dollar. Sembari menunggu kawan-kawan yang sedang berbelanja, saya duduk di emperan jalan Bugis street bersama Deni. Nah ketika sedang duduk inilah kami seperti mendengar kayak ada orang yang bicara bahasa Indonesia dan kadang bahasa Jawa. Dan benar saja, di samping saya ternyata ada dua orang TKI, muda-mudi yang sedang berbicara. Hehe jauh-jauh ke Singapura, dengarnya bahasa Jawa juga :p Saya dan Deni pun mengobrol dengan dua orang TKI itu. Kami menanyakan asal daerah masing-masing dan saya juga sempat bertanya arah ke Merlion pada mereka. Dua orang itu menjelaskan Merlion cukup jauh dari sini, lebih baik naik MRT namun harus cepat, sebelum sekitar pukul 22.00 malam karena jam segitu MRT akan berhenti beroperasi. Deni juga tidak lupa berbicara bahasa Jawa dengan dua orang tersebut, maklum, Deni ini wong Malang hehe..

Setelah regu kami lengkap, pergilah kami dari Bugis street. Tujuan kami selanjutnya adalah Merlion dan Marina Bay! Kami turun di stasiun MRT Esplanade, lalu dari situ jalan kaki ke Merlion. Lumayan juga, hampir satu jam kami jalan kaki namun tentu saja tidak bosan karena beramai-ramai dan sambil menikmati jalan Singapura hehe.. Kami sempat istirahat beberapa kali dan berfoto ria. Jika bingung, kami akan bertanya pada orang arah ke Merlion. Beberapa orang menjadi sasaran tanya kami, seperti dua orang bapak-bapak India, dan satu orang perempuan Tionghoa. Terima kasih atas bantuannya hehe :p


Ngalay sambil istirahat. Who cares? Nobody knew us :p hehe


Tak berapa lama berjalan, kami tiba di sungai dekat Merlion, di belakang Fullerton Hotel. Di sini kami istirahat lagi sembari makan es krim Singapura yang terkenal itu yang disajikan pakai roti tawar warna-warni. Murah, harganya hanya satu dollar per potong. Setelah cukup beristirahat dan kenyang makan es krim, kami lanjut lagi perjalanan. Oh iya, di sini kami bertemu bapak-bapak paruh baya gitu, dari Malaysia. Dia berbaik hati mengantar kami dan menunjukkan jalan ke Merlion setelah kami mengatakan hendak ke Merlion. Akhirnya dengan panduan orang itu, lanjutlah kami jalan ke Merlion.


 Capek brohh.. :p lihatlah barang bawaan kami :")


Es krim Singapura, yang sekarang udah banyak dijual di Indo :")


Bapak itu tidak ke Merlion, ia hanya mengantar kami sampai jembatan di seberang Merlion, sebelah Fullerton Hotel. Terima kasih pak! Hehe.. Tiba depan Fullerton Hotel, kami berfoto sebentar, maklum hotelnya bagus :p hehe..


Fullerton Hotel. Bukan, bukan, kami tidak menginap di sini :")


Akhirnya, tibalah kami di Merlion! Saat itu sekitar pukul 21.00 kalau tidak salah. Kami memutuskan menikmati pemandangan Merlion dan Marina Bay saat itu, mumpung cuacanya cerah, sembari melepas lelah. Wah senang sekali saya rasanya, ini pertama kalinya saya lihat Merlion secara langsung :”) (maaf agak norak :p ehe). Di Merlion kami habiskan dengan berfoto sembari bersantai. Sesekali mobil-mobil mewah dan sport yang baru pertama kali saya lihat melaju kencang dan berhenti di lampu merah di jembatan samping Merlion.


 Look at those bags :")


There we were, Merlion! It was sooo tiring to be there...


Foto dulu di Merlion biar kayak orang-orang :p


Puas bersantai dan befoto di Merlion, kami sekarang mulai dilanda rasa kebingungan. Kenapa? Tentu saja, karena kami tidak tahu hendak nginap dimana ._. agak khawatir juga keliaran tengah malam di Singapura, namun kami tahu kota ini sangat aman, jadi sebisa mungkin terus berpikir positif. Saat itu hampir mendekati pukul 23.00, sebagian besar kawan saya sudah merasa sangat lelah. Maklum agenda kami sangat padat hari ini dan berjalan-jalan sembari menenteng dan menarik koper yang besar-besar, tentu menguras tenaga. Sere terlihat sangat kepayahan, sepertinya ia harus segera istirahat. Setelah berdiskusi bersama, akhirnya diputuskan tim dibagi menjadi dua. Sere, Epin, Adlin, dan Aldrin menunggu di bangku semen dekat Merlion sembari menjaga barang, sementara saya, Adi, dan Rasti pergi mencari tempat yang agak tersembunyi untuk tidur sekenanya. Kami berempat pun mulai berkeliling di sekitar Merlion dan Fullerton Hotel untuk mencari tempat tidur. Namun nihil, tidak ada sepertinya. Setiap sudut Singapura dipasangi CCTV, kami tidak berani tidur di daerah yang ada CCTV-nya, takut tidak boleh dan justru diusir atau kena denda. Maklum kami tidak tahu bagaimana aturan mengenai tidur di pinggir jalan di negara yang sangat tertib dan ketat aturan ini. Jika pun ada tempat yang sepi, itu juga sangat kotor dan terlihat menyeramkan ._.


Akhirnya baliklah kami berempat ke tempat Sere dkk. Raut wajah kecewa dan kebingungan mulai menghiasi kami. Akhirnya, kami pun sepakat untuk coba berjalan ke sisi seberang Merlion, menyeberangi jembatan. Tujuan kami daerah-daerah sekitar gedung pesawat yang terkenal itu, siapa tau ada tempat untuk istirahat. Dengan sisa-sisa tenaga dan rasa kantuk, kami berjalan ke seberang Merlion. Kami akhirnya tiba di sana dan memutuskan beristirahat dulu. Air minum kami habis, saya dan Adi memutuskan mencari tempat isi air gratis.


Alhamdulillah, di sinilah keajaiban menjumpai kami. Ketika saya dan Adi mencari air minum, kami melihat seorang petugas kebersihan yang berasal dari etnis India tengah menyiram tanaman. Dengan hati-hati kami mencoba meminta air dari orang itu untuk botol-botol air minum kami. Di luar dugaan, orang itu sangat ramah, terlepas dari tampangnya yang menyeramkan dengan kulit hitam dan badan tinggi besar. Ia malah berbaik hati mengambil semacam alat saringan untuk ditaruh di selang milknya sehingga air yang kami minum bersih. Ia juga berbaik hari mengisikan air minum kami. Di sinilah saya mulai iseng bertanya dan bercakap. “Thank you very much sir! But excuse me, can we sleep in here? Because me and my friend, we don’t have any place to sleep tonight.” Saya takut-takut bertanya demikian. Lelaki India itu dengan ekspresi agak datar dan kepala seperti menggeleng berkata, “you can, you can.” Saya sudah katakan sebelumnya kan, saya agak sukar memahami Ind-lish, qolqolah di akhir kalimatnya itu menjadikan ucapan bahasa Inggris orang India menjadi rancu. Saya mendengarnya “you can’t, you can’t.” Demikian juga Adi. Hal ini didukung oleh kepala orang India ini yang begoyang--goyang seperti menggeleng ketika berbicara.


Raut kecewa muncul dari wajah saya dan Adi. “Oh so we can’t sleep in here?” tanya saya lagi dengan raut kecewa dan memelas. “Yes, you can sleep in here”, katanya lagi dengan kepala yang kembali bergoyang. Kali inilah saya akhirnya mengerti maksud pria India ini, kata “yes” tadi seperti jadi kata kunci. Rupanya ia dari awal mengizinkan kami untuk tidur di sini. Kepalanya yang bergoyang-goyang, memang demikianlah orang India ngomong, dengan kepala bergoyang, bukan bermaksud menggeleng tanda tidak boleh :p saya seperti tidak percaya, saya punya bertanya lagi “we can sleep in here??” Adi juga demikian, ikut bertanya saking semangatnya. Orang India itu lagi-lagi mengiyakan. “Yes, you can sleep in there”, katanya sembari menunjuk bangku semen di depan kami, yang juga menjadi tempat Sere dkk beristirahat namun di sisi yang agak jauh. Oh saya dan Adi seperti bersemangat kembali! Akhirnya kami bisa beristirahat malam ini, walaupun di pinggir taman dan sungai. Tak apalah, yang penting bisa rebahan dengan aman. Setelah mengucapkan berkali-kali terima kasih ke pria India tersebut, saya dan Adi segera menemui kawan-kawan yang lain.


Saya dan Adi menyampaikan berita gembira ini. Sere, Aldrin, Rasti, Adlin, dan Epin tampak lega. Syukurlah kami bisa rebahan di sini, beratap bintang-bintang langit Singapura. Kami mulai mengatur barang-barang agar nyaman dan aman serta mengeluarkan jaket atau sarung sebagai alas tidur. Syukurnya di dekat kami tidur ini ada toilet umum rupanya di salah satu bangunan. Bersih dan gratis. Kami menyempatkan diri cuci muka dan buang air di sini. Karena sudah lelah, saya segera mencari posisi yang enak dan terlelap malam itu di pinggir jalan Marina Bay.


Hari kelima, 19 Februari 2013


Alhamdulillah, walau serba miris dan pas-pasan, tidur saya cukup nyenyak malam itu. Efek kecapaian sepertinya. Demikian juga dengan yang lain. Hanya Epin yang terlihat sedikit tidur karena rupanya dia memutuskan menjaga barang :”) Kami bangun subuh-subuh sekali, sekitar pukul 05.00. Segera kami beres-beres, cuci muka dan buang air di toilet umum yang sama, lalu bersiap naik MRT pertama pukul 06.00 untuk menuju Changi. Tampang kami saat itu sudah benar-benar seperti gembel dengan pakaian kusut dan tubuh belum mandi. Dan celakanya, kami justru menuju Changi, salah satu tempat yang tidak layak didatangi dengan kondisi demikian :”) tapi bodo amatlah, yang penting kami pulang hari itu!


Sekitar pukul 07.30, kami sudah sampai di Changi. Setelah mengambil deposit kartu MRT dan check in, kami memutuskan untuk belanja sebentar di toko oleh-oleh bandara Changi. Mumpung waktu masih sekitar pukul delapan, masih ada waktu tiga puluh menit pikir kami. Akhirnya, kami sepakat untuk menentukan meeting point kami adalah di titik ini lagi pada pukul 08.30, jangan ada yang naik pesawat duluan sebelum berkumpul bersama. Sere, Aldrin, Epin, dan Adlin pergi bersama, mereka katanya mau ke toko parfum, membeli pesanan kakakknya Sere kalau saya tidak ingat. Sementara saya, Deni, Adi, dan Rasti ke toko cokelat, membeli oleh-oleh buat kawan-kawan di kampus. Saya menghabiskan semua sisa dollar saya di toko oleh-oleh ini hingga hanya tersisa satu dollar tiga puluh sen (koinnya masih ada di kostan saya sampai saat ini :p)


Kami belanja tidak lama, sekitar lima belas menit, lalu kembali ke meeting point. Di sini masalah mulai muncul. Aldrin, Sere, Epin, dan Adlin tidak kunjung kelihatan sementara waktu boarding semakin dekat. Kami memutuskan menunggu sampai pukul setengah sembilan. Namun sial, sampai pukul setengah sembilan lewat, mereka tidak juga muncul. Akhirnya kami memutuskan duluan ke pesawat, siapa tau ketemu di sana nanti. Berjalanlah kami ke gate pesawat.


Namun.. Lagi-lagi masalah muncul. Kami ini memang orang-orang tidak tau arah -___- rupanya kami tidak tahu letak gate kami. Kami justru jalan ke arah yang berlawanan dari gate kami. Ketika sudah sampai di ujung sisi terminal, kami baru sadar kalau kami salah arah. Adi pun bertanya ke salah satu penumpang letak gate kami dan orang itu berkata “You’re wrong, your gate is in the opposite side.” Oalaaahh... Seperti disambar petir, kami mulai panik! Waktu menunjukkan pukul sembilan kurang, sebentar lagi pesawat boarding. Pikiran aneh-aneh mulai merasuki saya. Bagaimana kalau saya ketinggalan pesawat? Saya sudah tidak punya uang lagi di Singapura. Mana ada ATM Indonesia di sini. Satu-satunya cara adalah saya harus mencari wifi, BBM ayah saya dan meminta dibelikan tiket untuk penerbangan selanjutnya. Tidak bisa menelepon di sini, kartu SIM saya tidak aktif. Saya bahkan sudah berpikir sejauh itu :”)


Panik? Jangan ditanya!! Kami berlari seperti orang gila di terminal sambil memakai ransel dan carrier, menarik koper, dan membawa tas belanjaan. Beberapa turis memandang aneh ke kami. Bahkan di elevator pun kami berlari, sembari mengucap “excuse me.. sorry!!” Saat berlari itulah kami juga mendengar last call di speaker bandara yang mengucap nama Rasti, waduh! Semakin cepat kami berlari.


Akhirnya, kami tiba di pintu pemeriksaan gate kami. Petugas maskapai tampaknya memang sudah menunggu kami. Kami menerobos antrian penumpang pesawat lain dan memperlihatkan boarding pass. Ketika kami memperlihatkan boarding pass, mereka tampak terkejut dan seperti berekspresi “akhirnya datang juga! kalian yang dari tadi kami tunggu-tunggu!!” Segera kami disuruh bergegas masuk ke pesawat. Kami di situ diomeli oleh seorang petugas maskapai yang sudah tua dan beretnis Tionghoa. Jangan diulangi lagi katanya, hampir kami ditinggal pesawat.


Jeng .. jeng! Masalah muncul lagi di sini. Oh, God! Saya adalah yang paling belakang setelah Adi, Deni, dan Rasti, dan sialnya, carrier saya berisi laptop. Ketika dilakukan CT Scan, laptop tersebut terlihat di layar mesin. Petugas maskapai, perempuan yang beretnis India itu, bertanya apakah ada laptop di carrier saya? Saya menjawab ada. Dia menyuruh saya mengeluarkan laptop tersebut untuk diperiksa. What??!! Don’t you know that my plane will be take off in the few minutes aheaddd????!!!! Damnnn!!! Saya mencoba berargumen dan memelas, “I can’t, my notebook is in the bottom, under my clothes, i can’t take it off.” Namun petugas ini tampak tidak mau tahu, dengan muka dingin tanpa ekspresi ia tetap berkata “take it off.” Masih saya ingat ekspresi dinginnya itu..


Saya mau nangis rasanya di situ, bagaimana tidak, hanya saya sepertinya penumpang terakhir di situ, sementara Deni, Rasti, dan Adi sudah ngeloyor pergi ke pesawat. Akhirnya saya pun mengeluarkan laptop saya dan buru-buru menyalakannya. Petugas itu memerika, dan jeng! Tidak ada sesuatu mencurigakan di laptop saya dan PADA DASARNYA MEMANG TIDAK ADA!!!!! Buru-buru saya menutup carrier saya, laptop tidak sempat saya masukkan, saya tenteng bersama dengan tas belanjaan. Segera saya lari ke dalam pesawat. Bahkan laptop pun belum saya matikan, hanya saya tutup sekenanya saja.

Saya tiba dalam pesawat hampir bersamaan dengan Adi, Deni, dan Rasti. Semua mata penumpang menuju ke arah kami. Iyalah, jadi ini ternyata orang-orang yang ditunggu-tunggu dari tadi?? Sampai pesawat delay beberapa menit!! Belum lagi tampang kami yang sudah kumel tidak karuan karena keringatan dan baju yang kusut luar biasa. Di sinilah saya kesal, ketika hendak memasukkan carrier dan belanjaan ke kabin, saya melihat Sere, Aldrin, Epin, dan Adlin tampak duduk dengan santai dipesawat. Sontak saya dengan reflek berucap dengan nada sedikit tinggi dan kesal ke arah mereka, “WE ARE WAITING FOR YOU GUYS!” Sere dkk hanya terdiam, mereka tampak tidak enak. Mereka rupanya masuk ke pesawat duluan sehabis membeli oleh-oleh, tidak menunggu kami dahulu, seperti perjanjian di meeting point.


Saya sendiri juga setelah itu tiba-tiba merasa tidak enak gara-gara berucap demikian. Suasana pesawat saat itu saya rasa juga mulai tidak enak. Bahkan seorang bapak-bapak beretnis Tionghoa yang seharusnya duduk di sebelah saya justru pindah ke kursi lain yang kosong, padahal ia sudah memakai sabuk pengaman. Tapi saya mencoba acuh dan melupakan. Yah namanya juga orang capai, gampang tersulut emosi. Tubuh saya sudah lelah, ditambah lagi dengan perut saya juga agak mual karena masuk angin dan belum makan, namun pagi-pagi sudah dipaksa berlarian. Sepanjang sisa perjalanan ke Indonesia saya habiskan akhirnya dengan tertidur. Sampai jumpa, Singapura. Saya pasti akan kembali dengan keadaan yang jauh lebih baik :)

Comentarios


Post: Blog2_Post
bottom of page