Catatan Perjalanan: Papandayan, Pelarian Singkat yang Indah
- Izzan Fathurrahman
- Jun 3, 2020
- 12 min read
Sobat, saat ini bulan April sudah memasuki angka kelima. Bulan April bagi sebagian orang merupakan bulan yang ditunggu-tunggu, terutama mereka para pendaki. Tentu saja, karena pada bulan ini musim panas resmi telah datang, demikian juga dengan jalur pendakian beberapa gunung yang serentak dibuka. Bagi anda yang bingung hendak naik gunung kemana namun masih was-was dengan kemampuan mendaki yang pas-pasan, Papandayan mungkin bisa jadi pilihan sempurna. Karena jalurnya yang tidak begitu sulit dan cukup mudah bagi pendaki pemula, gunung ini juga menawarkan pemandangan yang tidak kalah indah. Berikut catatan perjalanan (atau lebih tepatnya pelarian) saya ke Gunung Papandayan pada tanggal 07 sampai 09 November 2014 lalu.
Hari pertama: 07 November 2014.
Tanggal 07 November merupakan hari jumat, awal dari weekend yang dinanti. Biasanya para pendaki yang sibuk menjadi ‘kuli’ memilih hari Jum’at untuk melakukan pendakian. Demikian pula saya dengan dua orang rekan saya, Rijal dan Danang. Ide pendakian Papandayan tercetus dari saya yang mulai muak dengan rutinitas kuliah dan magang yang cukup menyita waktu dan pikiran. Tidak ingin terus pusing, saya memutuskan untuk hiking dengan menculik dua orang ini.
Sore tanggal 07 November saya merapat ke kostan Rijal di bilangan Kukusan, Depok. Packing ulang peralatan, belanja logistik, dan mengecek kembali kelengkapan peralatan. Jadwal keberangkatan kami sebenarnya pukul 21.00 WIB, dengan pertimbangan naik bus dari Terminal Kampung Rambutan sampai dengan Terminal Guntur, Garut, sekitar pukul 22.00 WIB. Namun dasarnya memang orang Indonesia, jam karet tidak bisa tidak berlaku. Keberangkatan yang dijadwalkan pukul 21.00 akhirnya menjadi pukul 22.30 WIB. Hal ini dikarenakan harus menunggu Danang yang selesai kuliah malam terlebih dahulu dan.. menonton final Liga Super Indonesia antara Persipura vs Persib -__-
Sekitar pukul 23.00 kami tiba di Terminal Kampung Rambutan dengan perasaan was-was. Tentu saja, karena bus terakhir dari Kampung Rambutan menuju Garut dijadwalkan berangkat pukul 23.00 WIB. Tidak lucu dong peralatan dan perlengkapan kami sudah sipa namun tidak jadi berangkat gara-gara ketinggalan bus. Sampai di bawah fly over Pasar Rebo, saya dan kawan-kawan memutuskan berhenti dari angkot dan mencari bus yang sudah siap berangkat. Kami sengaja tidak masuk ke dalam terminal karena takut bus yang menuju Garut sudah tidak ada di terminal. Beruntung, kami menemukan satu bus yang hendak berangkat. Bus Budiman kalau tidak salah namanya. Sial memang, nasib orang terlambat jangan harap mau dapat bagian lebih. Kami bertiga tidak mendapat tempat duduk. Bus sudah penuh sesak oleh para pendaki. Ada yang menuju Papandayan seperti kami, Cikurai, atau pun Guntur. Saya dan kawan-kawan terpaksa duduk di bagian belakang bus, tepatnya di tempat tidur supir yang sempit dan berdesak-desakan dengan carrier para pendaki.
Perjalanan Jakarta-Garut sekitar enam jam, waktu ini kami habiskan dengan pantat yang pegal karena duduk di tempat tidur supir yang alasnya bukan dari spons. Alhasil mau pejamkan mata untuk tidur saja pun susah. Belum lagi ruang gerak yang terbatas membuat kaki saya harus ditekuk sepanjang jalan. Akhirnya waktu perjalanan saya habiskan dengan sesekali berbincang dengan pendaki lain yang juga menuju Papandayan dan mendengarkan musik.
Hari kedua: 08 November 2014.
Tanggal 08 November dini hari, pukul 03.00, kami tiba di Terminal Guntur, Garut. Agak ajaib, karena di tengah kondisi bus yang ‘mengenaskan’, saya berhasil tidur sekitar satu atau dua jam. Danang malah hampir sepanjang jalan menghabiskan waktunya dengan tidur. Tiba di terminal Guntur, kami sempat kebingungan karena tim kami hanya tiga orang. Angkot carteran yang menuju pertigaan ke arah Papandayan berkapasitas lima belas orang. Daripada kebingungan, saya pun iseng bertanya ke pendaki lain apakah bisa bareng naik angkot ke Papandayan atau tidak. Beruntung bagi kami, kami bertemu dengan satu rombongan pendaki dari UNTIRTA. Mereka ternyata satu bus dengan kami. Mereka berjumlah sepuluh orang, dan ketua kelompoknya, Bang Ari, bersedia bergabung dengan kami. Akhirnya perjalanan menuju pertigaan Papandayan kami lakukan bersama dengan para pendaki dari UNTIRTA.
Perjalanan dari Terminal Guntur, Garut, menuju pertigaan ke arah Papandayan sekitar satu jam. Saya memanfaatkan waktu ini untuk coba terlelap sebentar. Sekitar pukul 04.00, kami tiba di pertigaan. Dari sini harus lanjut lagi menggunakan mobil pick-up carteran untuk sampai ke Pos Pendakian awal Gunung Papandayan, yaitu Camp David.
Dari sini kami tidak langsung lanjut ke Camp David, namun memilih untuk sholat subuh di masjid dekat situ, cuci muka, dan ngopi-ngopi sebentar sebelum lanjut ke Camp David. Sekitar pukul 05.00, setelah sholat subuh dan menyegarkan diri, kami berangkat menuju Camp David dengan menumpang pick up carteran. Tetap, rombongan saya mengekor rombongan dari kawan-kawan UNTIRTA hehe..

Pose dulu sebelum berangkat di Camp David :p kiri ke kanan: Danang, saya, Rijal.
Sekitar pukul 06.00 kurang sedikit, kami tiba di Camp David. Di sini Bang Ari menawarkan, mau nanjak bareng apa tidak? Jadi lebih enak nanti, lebih ramai. Kita nge-camp bareng. Saya tentu saja tidak enak dengan tawaran ini, karena dari tadi sudah mengekor mereka terus dari Terminal Guntur. Akhirnya setelah berdiskusi dengan Rijal dan Danang, saya pun mengiyakan tawaran Bang Ari. Resmi, mulai detik itu tim kami tidak lagi bertiga, namun bertiga belas digabung dengan kawan-kawan UNTIRTA.
Pukul 07.00, setelah sarapan dan mempersiapkan diri di warung sekitar Camp David, kami berdoa dan pendakian pun resmi dimulai. Jalur pendakian ke Papandayan dibuka dengan jalur bebatuan yang tidak terlalu terjal, namun cukup bikin kaki sakit apabila alas kaki anda tidak layak. Baru berjalan sekitar sepuluh menit, langkah kami harus terhenti. Dewi, salah satu anggota dari UNTIRTA, kakinya terkilir gara-gara salah pijak. Perjalanan terhenti sebentar karena harus menolong Dewi terlebih dahulu.
Tidak lama, sekitar sepuluh atau lima belas menit kemudian, Dewi merasa kondisinya sudah cukup kuat untuk jalan lagi. Beberapa pendaki lelaki menawarkan diri mengangkat carrier-nya, namun ia menolak. Sungguh gadis yang tangguh haha. Perjalanan pun dilanjutkan, saya kali ini berinisiatif menjadi sweaper, berada paling belakang untuk memastikan anggota kelompok tidak ada yang tertinggal. Bang Ari dan rombongan paling depan, Rijal dan Danang berjalan di depan saya.
Sekitar pukul 08.00 kami sudah tiba di kawah Papandayan. Saya cukup takjub dengan pemandangannya. Maklum pendaki pemula hehe.. Terakhir kali melihat langsung kawah gunung secara dekat sepertinya waktu saya backpacker ke Bromo bulan Juni lalu.

Kelompok saya dan kelompoknya Bang Ari. Photo taken by Danang.
Di kawah Papandayan kami memutuskan berhenti sebentar, foto-foto dan beristirahat. Tidak berapa lama, perjalanan kami lanjutkan kembali. Jalur yang dilalui masih berupa bebatuan dengan asap belerang di kiri-kanan. Tidak berapa lama, sekitar tiga puluh menit, kami sampai di Pos 1. Di sini kami memutuskan beristirahat sebentar sembari menikmati pemadangan yang cukup indah dan menyegarkan.

Kawah Papandayan dengan asap-asap belerangnya.

Saya dan Rijal di depan plang Kawah Papandayan.
Oh iya, di Pos 1 ini kami bertemu dengan rombongan pendaki lain, dari UNTIRTA juga, kelompoknya Bang Ibel. Bang Ibel dan kawan-kawannya ini rupanya juniornya Bang Ari dan kawan-kawan. Mereka berjumlah empat orang. Sejak dari Pos 1 ini, bertambah kembali anggota tim kami menjadi tujuh belas orang karena Bang Ibel menawarkan diri untuk bergabung bersama kami.
Sekitar pukul 10.00, kami melanjutkan perjalanan menuju Pondok Salada, tempat nge-camp bagi pendaki Papandayan. Mulai dari Pos 1 ke Pos 2 dan Pondok Salada, vegetasinya sudah mulai berubah. Jalur yang dilalui bukan lagi bebatuan dengan asap di kiri-kanan, tetapi mulai tanah berbatu dan terkadang berlumpur dengan tebing, jurang, dan pepohonan di kiri-kanan. Tetapi jalur ini masih terbilang sangat aman dan tidak terlalu berat bagi pemula. Asalkan jalan dengan santai dan hati-hati saja hehe..
Sekitar pukul 12.00, kami sudah tiba di Pos 2 untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Pondok Salada. Dari Pos 2 ke Pondok Salada tidak terlalu lama, sekitar tiga puluh menit. Sekitar pukul 12.30 kami sudah tiba di Pondok Salada. Kondisi Pondok Salada siang itu sudah mulai ramai karena beberapa rombongan pendaki sudah ada yang tiba terlebih dahulu. Bang Ibel dan kawan-kawannya menawarkan diri untuk mencarikan lahan bagi tenda kami. Ia memang sudah beberapa kali bolak-balik ke Papandayan, sementara kami bertiga dan rombongan Bang Ari sama-sama baru pertama kali hehe..
Tidak berapa lama, Bang Ibel sudah kembali. Ia sudah menemukan lahan yang bagus untuk nge-camp. Tempatnya cukup rindang menurut saya, karena di bawah pepohonan. Cuma memang sedikit tidak rata, tetapi it’s ok lah.. Karena kami memang pada dasarnya sudah cukup telat untuk sampai di Pondok Salada di atas jam 12, jadi sudah dapat tempat rindang juga alhamdulillah.
Siang itu kami mambangun tenda, mendekorasi ‘kamar’ masing-masing, beribadah, dan makan-makan. Saya, Rijal, dan Danang sengaja siang itu memutuskan untuk tidak memasak, karena kami masih cukup kenyang sarapan di Camp David tadi. Lagipula, siang nanti kami akan melanjutkan perjalanan ke Hutan Mati dan Tegal Alun, melihat padang edelweiss, jadi masaknya lebih baik sepulang dari sana. Kami hanya makan roti secukupnya sembari berbaring-baring di dalam tenda menunggu waktu agak siang.
Sekitar pukul 14.30, Teh Anjar, anggota sekaligus pacar Bang Ari mengatakan mereka hendak pergi ke Hutan Mati dan Tegal Alun. Kami pun memutuskan bergabung. Namun sial, si Rijal ternyata tertidur, ia sepertinya cukup kelelahan. Setelah saya dan Danang paksa akhirnya ia mau terbangun dan ikut pergi ke Hutan Mati dan Tegal Alun. Tenda kami dan tenda yang lainnya dijaga oleh rombongan Bang Ibel. Mereka tidak memutuskan berangkat ke Hutan Mati dan Tegal Alun siang itu, namun keesokan paginya.
Sekitar pukul 15.00 kami tiba di Hutan Mati. Suasana Hutan Mati siang menuju sore itu tidak terlalu ramai, karena cuacanya memang mendung. Saya dan dua orang rekan saya sempat takjub dengan pemandangannya. Berasa berada dalam hutan-hutan di film Harry Potter atau The Hobbit :p Momen ini kami habiskan untuk berfoto-foto dan menikmati semilir angin.

Hutan Mati. Aslinya indah, ga serem kok :p

Danang, saya, dan Rijal di Hutan Mati.

Rombongan saya dan Bang Ari. Teh Anjar yang memakai hijab biru, Bang Ari yang di sebelah kanannya, lagi "peace".
Setelah cukup lama berada di Hutan Mati, kami memutuskan akan lanjut ke Tegal Alun, padang edelweiss. Namun sore itu gerimis mulai turun rintik-rintik. Jas hujan pun mulai kami keluarkan dari tas dan kantung masing-masing. Beberapa orang dalam rombongan Bang Ari mulai ragu untuk melanjutkan perjalanan. Beberapa orang memutuskan ingin lanjut ke Tegal Alun besok pagi saja karena mempertimbangkan cuaca yang mendung. Takutnya sudah sampai tengah jalan malah hujan deras. Namun ketika tengah berunding, gerimis tiba-tiba berhenti. Akhirnya setelah bermusyawarah, kami tetapkan lanjut ke Tegal Alun sore itu juga.
Sekitar pukul 16.00, kami jalan ke Tegal Alun dari Hutan Mati. Perjalanan kira-kira satu jam dengan medan yang cukup licin, menanjak, dan terjal. Ketika hendak sampai di Tegal Alun, bahkan harus naik menggunakan tali bantuan agar tidak jatuh ke jurang di sebelah kiri atau terpeleset di jalan yang licin dan terjal.

Medan menuju Tegal Alun. In frame: Danang yang lagi ditolong Bang Diwang.
Sekitar pukul 17.00, kami sampai di Tegal Alun. Rasanya.. WOW!! Tuhan Maha Kuasa, luar biasa segar dan indah pemandangan depan mata. Rasanya hilang semua beban pikiran akan kuliah dan magang selama hampir sebulan belakangan. Kami di sini memutuskan foto-foto dan menikmati alam. Saya memilih menyendiri dan berpisah dari rombongan untuk menikmati semilir angin dan bau tanah setelah hujan. Inilah kedamaian sejati yang hanya bisa didapat di gunung.

Tegal Alun, padang edelweiss. A piece of peacefulness.

Bujang-bujang lapuk NTB di Tegal Alun :p
Ketika di Tegal Alun ini, Bang Ardy, salah satu rombongan Bang Ari, membentangkan spanduk berukuran satu meter yang bertuliskan kalimat cinta kepada pacarnya :”) sweet banget ya, ini tentu bikin pemuda-pemuda jomblo bujang lapuk NTB seperti saya, Rijal, dan Danaang, jadi envy :”)
Puas foto-foto, menikmati alam, dan menyatakan cinta, kami semua memutuskan turun kembali ke Pondok Salada sekitar menjelang pukul 18.00.
Perjalanan turun lebih cepat dari perjalanan naik. Sekitar tiga puluh menit, kami sudah sampai di Pondok Salada. Bang Ibel dan kawan-kawan sudah membuatkan kopi, teh, dan beberapa makanan bagi kami. Sungguh mulia orang-orang ini :”) saya, Danang, dan Rijal memutuskan untuk beribadah terlebih dahulu di musholla di Pondok Salada sebelum akhirnya bergabung kembali dengan kawan-kawan lain selepas maghrib.
Malam itu kami habiskan dengan memasak. Bang Ibel dan kawan-kawannya membuat api unggun di depan tenda kami. Saya sebenarnya tidak terlalu lapar, demikian juag dengan Rijal dan Danang. Malam itu kami memilih masak Indomie dengan lauk abon ikan dan abon menjangan. Cukup kenyang. Setelah berbincang-bincang dengan kawan-kawan lain, kami memutuskan tidur sekitar pukul 20.00.
Malam itu ada satu kejadian yang cukup menggemparkan. Ketika sedang asyik tidur, saya dan kawan-kawan mendengar ada bunyi ribut-ribut di luar. “Babi.. Babi..!!” Rupanya beberapa orang berteriak ada babi hutan, sesekali saya mendengar sorakan orang-orang yang ramai. Namun saya tidak terlalu ambil pusing, karena rasa lelah memaksa saya untuk kembali memejamkan mata.
Hari Ketiga: 09 November 2014.
Saya terbangun sekitar pukul 05.00. Setelah sholat subuh di musholla di Pondok Salada, saya bergabung dengan Bang Iwan dan Bang Latief di depan api unggun. Udara pagi itu cukup dingin, menghangatkan diri di depan api unggun sembari menyeruput teh manis hangat adalah pilihan tepat. Sesekali uap air keluar dari hembusan nafas dari mulut saya. Berasa berada di Eropa atau negara-negara empat musim jadinya :p
Sekitar pukul 06.00, hampir seluruh anggota rombongan sudah terbangun. Kami sebenarnya memutuskan melihat sunrise pagi itu di Pos 2, namun tidak jadi karena rata-rata pada ketiduran dan kecapekan. Akhirnya Teh Anjar menyarankan kita pergi lagi ke Hutan Mati, kembali menikmati suasana pagi dan sinar matahari dari tebing pinggiran Hutan Mati. Saya dan kawan-kawan menyetujui. Akhirnya pagi itu kami dan rombongan Bang Ari kembali meluncur ke Hutan Mati. Namun tidak semua anggota rombongan Bang Ari ikut, dua orang perempuan, Tia dan Sanny, memutuskan tidak ikut karena kelelahan. Bang Ibel juga belum bangun sepertinya, baru Bang Iwan dan dua rekannya yang lain sudah bangun.
Pagi itu, kami kembali ke Hutan Mati. Dan..lagi-lagi WOWW!! Pemandangan pagi itu di pinggir tebing Hutan Mati benar-benar luar biasa indah dan menyegarkan. Saya cukup takjub. Beberapa anggota rombongan memilih foto-foto dan menulis pesan-pesan di secarik kertas. Saya, Danang, dan Rijal pun tidak ketinggalan untuk berfoto. Rijal dan Danang bahkan mengatakan mereka senang sekali bisa naik gunung. “Pantesan teman-teman saya senang sekali naik gunung, kayak gini pemandangannya,” celetuk Rijal. Hihi misi saya meracuni dua orang ini untuk naik gunung berhasil :p Danang malah menawarkan untuk segera naik lagi, Cikurai, atau Sikunir. Rijal malah ingin langsung ke Rinjani haha..

Pemandangan dari pinggir tebing Hutan Mati. Abaikan pria berjaket hitam di sebelah kiri :p

Menikmati sisa-sisa sunrise
Kami tidak terlalu lama berada di Hutan Mati. Sekitar pukul 08.00, kami sudah turun dan kembali lagi ke Pondok Salada. Ketika kembali, suasana camp kami cukup sepi. Rupanya Bang Ibel dan rombongan sudah meluncur ke Hutan Mati dan Tegal Alun. Pagi itu kami masak-masak. Saya, Rijal, dan Danang membagi tugas. Rijal mengambil air, saya memasakan nasi dengan Danang. Kelompok Bang Ari pun demikian, mereka sibuk memasak.
Bang Latief, salah satu anggota kelompok Bang Ari manawarkan makan bareng. Tentu saja tawarana ini tidak bisa saya tolak. Kebetulan saya membawa kertas nasi sepuluh lembar. Akhirnya kami makan bareng dengan mejejerkan sepuluh lembar kertas nasi di atas matras. Nasi hangat saya dan Danang masak, indomie goreng dengan aneka sayuran yang dimasak Bang Latief, abon ikan dan menjangan milik kelompok kami, serta nugget dan telur orak-arik yang dimasak kelompok Bang Ari. Semua itu dicampur jadi satu di atas kertas nasi yang besar. Tidak lupa saos dan kecap. Suasana pagi itu penuh dengan kebersamaan, kami makan bareng, walaupun belum sampai dua hari berkenalan. Inilah salah satu yang dirindukan dari naik gunung, kebersamaan yang tercipta antar pendaki.
Tidak berapa kam, ketika kami asyik makan, rombongan Bang Ibel sudah kembali dari Tegal Alun. Kami menawarkan makan bersama. Mereka pun bergabung sembari membuatkan se-teko teh manis hangat dari kompor spiritus-nya. Bang Ibel juga ikut menyumbangkan makanan dengan memasakn spaghetti instan dan roti bakar bersama teman-temannya. Sungguh asyik kebersamaan yang baru tercipta ini.
Sekitar pukul 10.00 lebih, kami sudah selesai makan dan beres-beres. Barang-barang sudah siap dipacking dan tenda siap dibongkar. Sekitar pukul 11.00, kami sudah selesai packing dan siap untuk perjalanan pulang kembali ke asal masing-masing. Perjalanan pulan tidak terlalu lama, sekitar tiga jam dengan melalui rute yang sama ketika naik. Sekitar pukul 14.00 kami sudah tiba di Camp David. Setelah membersihkan diri, buang air, dan beribadah di sekitar lokasi Camp David, kami memutuskan kembali ke Terminal Guntur, garut pukul 15.00.
Kami tiba di terminal Guntur sekitar pukul 16.00. Bus yang kami tumpangi berangkat pukul 17.00. Jeda satu jam itu kami manfaatkan untuk makan di warung sekitar terminal, istirahat, beribadah, atau kembali membersihkan diri dan buang air. Pukul 17.00 Bus Primajasa yang mengangkut kami dari Guntur berangkat menuju Kampung Rambutan. Kami tiba di Rambutan sekitar pukul 23.00 dan yah, itulah akhir dari cerita. Rombongan kami pun berpisah dengan rombongan Bang Ari dan Bang Ibel. Tidak lupa kami saling bertukar kontak sebelum berpisah. Saya, Rijal, dan Danang akhirnya kembali ke kostan masing-masing dengan menumpang angkot menuju Depok. Tamat.
Untuk Catatan Perjalanan selanjutnya, saya akan menceritakan pengalaman saya backpacker selama seminggu lebih di Jogja, Bromo, Surabaya, dan Semarang. Ada juga cerita pendakian Mahameru yang akan saya bagi ke sobat sekalian. Namun tentu saja, itu akan menyusul, kemungkinan di atas tanggal 18 April, selepas saya kembali dari mendaki Gunung Tambora dan backpacker ke Sumbawa, Lombok, Bali, dan Jawa. Cerita pendakian Tambora dan perjalanan backpacker pulangnya pun insya Allah juga akan saya bagi di blog ini. Terima kasih.
Beberapa catatan pendakian Papandayan:
1. Pendakian yang ideal sebenarnya berjumlah tiga sampai empat orang. Karena selain lebih efektif, logistik yang dibagi juga tidak terlalu banyak dan pembagian bawaan bisa menjadi lebih gampang. Contoh pendakian saya dengan Danang dan Rijal kemarin: tenda dibawa oleh Rijal; nesting, kompor, dan gas dibawa oleh Danang; logistik dan pakaian saya yang bawa :p 2. Secara umum, Papandayan sebenarnya gunung yang sangat ramah dan tepat bagi pendaki pemula. Namun bukan berarti keselamatan dan peralatan pendakian diabaikan. Sangat disarankan memakai sepatu agar lebih nyaman. Jalur awal merupakan batu-batu tajam yang tidak nyaman jika hanya memakai sendal gunung. Selain itu, jalan menuju Tegal Alun juga cukup terjal, dan dibutuhkan alas kaki yang memiliki grip bagus. 3. Di Pondok Salada sudah ada sumber air, toilet, dan musholla. Cukup bawa air secukupnya saja dari bawah agar barang bawaan anda tidak terlalu berat, beserta botol kosong dan jerigen untuk mengambil air di Pondok Salada. Bagi kawan-kawan pendaki yang peermpuan tidak usah terlalu khawatir, karena sudah ada tiga toilet jongkok yang bersih. Namun tolong, hargai sesama pendaki ketika menggunakan toilet. Kalau bisa jangan mandi, karena akan memakan waktu lama, kasihan pendaki lain yang mengantri untuk buang air. Dua kali saya ke Papandayan, dua kali saya melihat banyak pendaki-pendaki perempuan yang mandi di toilet dan.. memakan waktu sangat lama! Ayolah, kalian bukan sedang piknik bungalow atau resort, ini gunung. Wajar jika tidak mandi beberapa hari :p
4. Normalnya pendakian dari Camp David sampai Pondok Salada sekitar tiga sampai empat jam. Saya dan kawan-kawan saya kemarin kebanyakan berfoto jadi perjalanannya agak lama hehe.. Sebaiknya tiba di Pondok Salada sebelum pukul 12.00 siang, agar anda dapat tempat yang bagus untuk mendirikan tenda. Biasanya ketika sudah di atas pukul 12.00 atau 13.00, Pondok Salada sudah ramai dan akan susah bagi anda yang mencari tempat nge-camp yang nyaman.
5. Walaupun Papandayan bisa dibilang jalurnya mudah, namun tetap saja jangan sotoy. Beberapa waktu lalu ada pendaki yang hilang dan tewas di Papandayan karena membuka jalur tanpa kemampuan navigasi yang mumpuni. Jika anda sudah berpengalaman, silahkan buka jalur. Namun jika pendaki pemula, sebaiknya ikuti jalur yang sudah ada.
6. Bus dari Kampung Rambutan ke Terminal Guntur terakhir pukul 23.00 WIB dan dari Guntur ke Rambutan terakhi pukul 17.00 WIB. Disarankan anda sudah tiba di terminal sebelum jam-jam tersebut apabila tidak ingin perjalanan anda batal atau tidak bisa pulang karena ketinggalan bus.
7. Untuk rincian angkutan:
Kp. Rambutan – Guntur: Rp. 52.000 (tergantung busnya, dan harga bisa naik sewaktu-waktu)
Angkot Guntur – pertigaan Papandayan: Rp. 18.000 (harga terakhir waktu saya naik Desember kemarin)
Pick up pertigaan Papandayan – Camp David: Rp. 20.000 – 25.000 (tergantung anda bisa nego dan kenal dengan supir pick up nya. Beberapa pendaki sudah punya supir pick up langganan).
Karena perjalanan pulang pergi, maka biaya di atas dikali dua.
8. Terakhir, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu. Salam lestari!
Comments