top of page

Wajah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 6 min read

Tulisan ini dimuat di web suaramahasiswa.com tanggal 18 Juni 2015

http://suaramahasiswa.com/wajah-mahasiswa-ui-yang-bopeng-sebelah/

--

“Universitas Indonesia, universitas kami

Ibukota negara, pusat ilmu budaya bangsa

Kami mahasiswa, pengabdi cita

Ngejar ilmu pekerti luhur ‘tuk nusa dan bangsa

S’mangat lincah gembira, sadar bertugas mulia

Berbakti dalam karya, MAHASISWA

Universitas Indonesia, perlambang cita

Berdasarkan Pancasila, dasar negara

Kobarkan semangat kita, demi ampera..” – Lirik lagu Genderang UI


Bukan, tulisan ini bukanlah tulisan Soe Hok Gie, bukan pula salinan dari tulisan tersebut. Namun tulisan ini mungkin sedikit mencoba merepresentasikan tulisan Soe Hok Gie yang ditulis berpuluh tahun silam. Soe Hok Gie puluhan tahun silam telah menulis tulisan dengan judul yang sama, semata-mata untuk meluapkan keresahan, kekecewaan, sekaligus kritikan sang demonstran akan mahasiswa zaman tersebut yang seolah-olah kehilangan identitas diri mereka. Namun sialnya, apa yang ditulis oleh sang demonstran puluhan tahun silam itu agaknya tidak berubah walau kampus UI sudah berpindah lokasi dua kali dan berdiri di atas tiga rezim yang berbeda.

Kampus UI, pusat ilmu budaya bangsa, yang dihuni oleh ribuan para pengabdi cita, agaknya kini hanya omong kosong belaka yang ribuan kali diucap berulang-ulang dalam lagu Genderang UI. Adakah kalimat indah dalam lirik lagu Genderang UI benar-benar terpatri dalam jiwa segenap pengabdi cita dan diejawantahkan dalam tindakan mereka sehari-hari?

Kampus UI, tidak usahlah bergerak terlalu jauh, mari berkaca dalam konteks kehidupan kampus, atau bahkan kelas sehari-hari, masih menerapkan sistem feodalisme. Feodalisme, jika mengacu pada KBBI, memiliki tiga definisi, yaitu: 1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; 2) sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3) sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah. Dari ketiga definisi tersebut, marilah kita tarik satu benang merah, dimana feodalisme adalah suatu sistem sosial yang memberikan relasi kuasa yang besar dan tidak seimbang antara pemegang kekuasaan dan orang-orang dipengaruhi oleh kekuasaan tersebut. Jika kita berkaca pada sistem pendidikan di Universitas Indonesia perlambang cita, ironisnya sistem tersebut masih lumrah terlihat.


Kembali, tidak usah bergerak terlalu jauh, marilah kita lihat dalam ruang sosial yang sangat kecil, yaitu ruang kelas. Pernahkah anda mengalami tindakan sewenang-wenang dari dosen yang merampas hak anda sebagai mahasiswa? Dosen yang seenaknya membatalkan kelas lalu meminta kelas pengganti, yang hal tersebut mengganggu jadwal kegiatan mahasiswa. Dosen yang secara gaib tiba-tiba melempar nilai B ke seluruh peserta kelas tidak peduli mahasiswa tersebut pintar, dungu, atau tidak pernah masuk kelas sama sekali. Dosen yang terlambat masuk kelas dan hanya memberi materi seadanya seolah-olah tidak ada tanggung jawab masa depan di dadanya. Dosen yang dengan entengnya mengubah kontrak belajar di tengah-tengah semester yang pada akhirnya merugikan mahasiswa. Atau dosen-dosen konservatif yang menganggap dirinya dewa, tidak suka dikritik dan langsung tidak meluluskan anda ketika anda mencoba berpikir kritis. Saya rasa sebagian besar contoh di atas pernah anda temui, minimal sekali dalam satu semester. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang telah anda lakukan, wahai para pengabdi cita?


Mahasiswa UI yang wajahnya bopeng sebelah, seolah-olah kini hanya menjadi robot-robot bergerak dalam sistem pendidikan yang berkuasa bak menara gading. Bertahannya fenomena kebobrokan dalam sistem pengajaran kampus UI dari masa ke masa, bahkan di era yang katanya demokrasi dan bebas berpendapat ini, menandakan adanya suatu lubang besar yang gagal ditutupi oleh para pengabdi cita yang wajahnya bopeng sebelah. Tidak usahlah kalian jauh-jauh menentukan keberpihakan atas kisruh KPK dan Polri, jika berpihak dalam kebenaran di dalam kelas saja kalian tidak mampu dan takut-takut. Tidak usahlah kalian berlagak pahlawan dengan beradu pukul dengan aparat jika beradu argumen dengan dosen saja kalian kalah nyali.


Mahasiswa UI, pengejar ilmu pekerti luhur ‘tuk nusa dan bangsa. Ilmu pekerti luhur macam apa yang kalian kejar? Jika bukan ilmu ketakutan dan kepura-puraan akan pendidikan yang bebas. Nusa dan bangsa macam apa yang kalian perjuangkan? Jika bukan nusa dan bangsa yang makin menyedihkan akibat diisi oleh generasi-generasi berwajah bopeng yang sekedar menentang sistem feodalisme di ruang kelas saja tidak berani.


Teori Keadilan dan Pendidikan yang Mendidik

Praktik feodalisme dalam kampus UI, tidak lain disebabkan oleh anggapan bahwa ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa. Mahasiswa menganggap dosen memiliki kekuasaan yang lebih karena merekalah yang memegang segala sumber daya dan kuasa. Demikian juga sebaliknya, dosen terkadang menganggap dirinya superior karena alasan yang sama. Namun apakah kenyataanya memang demikian?


Seorang filsuf politik dan moral, John Rawls, merumuskan teori keadilan (justice) yang berpijak pada fairness. Fairness yang dimaksud adalah adanya suatu kesepakatan yang fair antara semua individu dalam masyarakat yang pada akhirnya mendorong individu-individu tersebut melakukan suatu kerja sama sosial. Rawls menitikberatkan teorinya pada bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang dalam masyarakat, dimana setiap individu dalam masyarakat memperoleh peluang dan manfaat dari pendistribusian tersebut serta menanggung beban yang sama. Distribusi yang seimbang tersebut akan terwujud apabila terdapat kesepakatan yang fair dalam setiap individu di masyarakat.


Untuk melakukan kesepakatan yang fair dan tidak memihak tersebut, maka setiap individu harus berada pada posisi asli (orginal position). Posisi asli ini menekankan pada adanya kesetaraan antara individu di dalamnya, dimana mereka merupakan individu-individu yang sama-sama memiliki hak, bebas, dan rasional. Hasil kesepakatan dalam posisi asli inilah yang nantinya akan menghasilkan dua prinsip keadilan menurut Rawls, yaitu: 1) setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang; 2) ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memberi keuntungan bagi bagi orang-oang yang paling tidak beruntung, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.

Teori keadilan menurut Rawls di atas seharusnya digunakan sebagai dasar dari sistem pendidikan yang ada. Pendidikan tidaklah dibangun di atas relasi kuasa yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa, namun sebaliknya, dilihat sebagai suatu prinsip keadilan yang sama dalam masyarakat. Pendidikan dibangun di atas kesepakatan yang fair antara dosen dan mahasiswa.


Dosen dan mahasiswa, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Mahasiswa berhak atas pendidikan yang layak namun berkewajiban membayar uang kuliah dan memenuhi standar kompetensi. Dosen berhak mendapat upah dan memberi penilaian namun berkewajiban memberi pendidikan yang layak dan sesuai kontrak. Hak dan kewajiban tersebut seharusnya dapat didistribusikan dengan baik sehingga baik dosen dan mahasiswa sama-sama memiliki peluang untuk memperoleh manfaat dan menanggung beban yang sama.


Untuk memastikan terjadinya distribusi yang seimbang, tentu saja mahasiswa dan dosen harus berada pada posisi asli yang setara, bebas, dan rasional. Saya menganggap posisi asli ini adalah ketika dosen dan mahasiswa sama-sama berada di posisi yang setara dengan keunggulannya masing-masing. Jika melihat dari sisi materialis, mahasiswa telah membayar uang kuliah setiap semester yang tentu saja hal tersebut membantu sang dosen dan kampus UI untuk melanjutkan hidup. Selain itu, mereka juga telah memenuhi standar kompetensi untuk layak duduk sebagai pengabdi cita di kampus UI. Sementara di satu sisi, dosen memiliki sumber ilmu pengetahuan dan pengalaman yang tentu saja dibutuhkan mahasiswa. Inilah yang menjadi nilai tawar bagi dosen dan mahasiswa dan saya rasa ini cukup pantas untuk menempatkan baik mahasiswa dan dosen untuk berada pada posisi asli yang setara, bebas, dan rasional. Hal ini yang menjadikan kesepakatan yang dibuat, tentu saja harus berdasar prinsip keadilan.


Berdasarkan prinsip keadilan, maka tentu saja dosen tidak dapat melanggar prinsip kebebasan yang dimiliki oleh mahasiswa. Dalam hal ini termasuk kebebasan memperoleh pendidikan yang layak dan sesuai kontrak belajar, kebebasan mengutarakan pendapat yang bertanggung jawab, serta kebebasan untuk menuntut kejelasan akan pendidikan yang didapat. Prinsip ini tidaklah boleh dilanggar, kecuali itu demi kebaikan bersama antara dosen dan mahasiswa, bukan hanya menguntungkan salah satu pihak yang berada dalam posisi yang setara.


Namun celakanya, inilah yang pada akhirnya luput dan tidak dipikirkan oleh para pengabdi cita. Dosen-dosen seringkali melanggar prinsip kebebasan yang dimiliki mahasiswa dan menggunakan prinsip kebabasan mereka di atas prinsip kebebasan mahasiswa. Inilah yang pada akhirnya menciptakan sistem pendidikan yang feodal di kampus UI. Masalah relasi kuasa yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa seolah menjadi pembenaran bagi mereka untuk menutup mata akan praktik feodalisme dalam sistem pengajaran di kampus UI.


Bukankah seharusnya tidak demikian? Pendidikan seharusnya dilihat sebagai suatu kegiatan mendidik tanpa mempedulikan relasi kuasa yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa. Jauh sebelum John Rawls mencetuskan teorinya, Ki Hadjar Dewantara telah mencetuskan esensi pendidikan dengan nilai yang sama. Pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia dan menjadikan kalian berpikir dewasa. Pendidikan yang adil, tidak memandang relasi kuasa, dan menjadikan kalian manusia yang merdeka. Namun sungguh ironis, walau tema OKK tahun 2012 lalu adalah memanusiakan manusia, tapi nyatanya sistem pendidikan yang feodal ternyata masih bertahan hingga detik ini di pusat ilmu budaya bangsa.

Sebagai penutup, tentu saja pertanyaan kembali dilayangkan ke segenap civitas akademik di pusat ilmu budaya bangsa. Kepada mahasiswa UI yang wajahnya bopeng sebelah, apakah kalian telah merasa terdidik seutuhnya menjadi manusia dan menjadi manusia merdeka dengan sistem pengajaran yang demikian? Demikian pula kepada rekan-rekan dosen atau pengajar yang mungkin masih menerapkan praktik feodalisme dalam sistem pengajaran. Sesungguhnya lirik lagu Genderang UI yang bapak / ibu hafalkan telah menjadi petunjuk sakti bahwa kampus UI berdasarkan Pancasila. Bukankah dalam Pancasila telah dikatakan kemanusian yang adil dan beradab merupakan hal yang mutlak? Lalu bagaimana dengan sistem pengajaran selama ini anda berikan, apakah telah sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab? Atau menyedihkannya, lirik lagu Genderang UI hanya menjadi omong kosong yang selalu dinayanyikan berulang-ulang tanpa makna ketika mahasiswa anda wisuda?


Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page