UU Pilkada: Pembacaan yang Salah Atas Gagasan Representasi?
- Izzan Fathurrahman
- Jun 3, 2020
- 4 min read
Ini adalah postingan lama saya, ditulis sekitar tanggal 29 September 2014. Berisi kajian kritis mengenai UU Pilkada beberapa waktu lalu.
**
“We don’t know either what makes representative government resemble democracy or what distinguishes it there from” – Bernard Manin Seperti kita tahu sebelumnya, beberapa hari lalu Indonesia, bahkan dunia, dibuat heboh dengan disahkannya UU Pilkada. UU yang mengatakan kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, melainkan dipilih oleh DPRD. UU yang menjadikan Presiden SBY masuk dalam trending topic Twitter dengan hashtag-nya #ShameOnYouSBY. Hashtag yang sukses membuat menteri penuh kontroversi, Tifatul Sembiring, mengancam akan memblokir Twitter, yang walau dalam hemat saya, hashtag tersebut pantas disandingkan kepada bapak presiden atas dagelan politik yang dimainkannya. Saya mencoba berandai-andai, karena saya sendiri belum bertanya pada wakil rakyat yang bersangkutan, bahwa UU Pilkada secara tidak langsung seperti memperlihatkan kebutaan para wakil rakyat dalam membedakan gagasan representasi dan demokrasi. Dalam dunia politik kontemporer, ada penggabungan antara gagasan representasi dan gagasan demokrasi, yang ini pada akhirnya kita kenal dengan sebutan demokrasi representasi. Namun jika ditelisik lebih jauh, demokrasi dan representasi bukanlah suatu hal yang sama, bahkan cenderung bertentangan satu sama lain. Jika dilihat secara historis, demokrasi dan representasi lahir dari rentang waktu dan tempat yang berbeda. Demikian juga jika dilihat dari segi substansial, demokrasi merupakan sistem politik yang menginklusikan rakyat, sementara representasi mengandung komponen yang mengekslusikan. Agaknya saya paham jika anda bingung, karena memang, gagasan mengenai demokrasi dan representasi ini juga selalu mengalami perdebatan dan pertentangan di dalam para ahli. Singkatnya, representasi belum tentu bersifat demokratis. Representasi dapat digunakan untuk kepentingan si representasif dengan menggunakan klaim dari orang-orang yang mereka representasikan.
Pemerintahan yang representatif tidak mesti demokratis, ia bisa berdiri di atas pemerintahan otoriter sekalipun. Penguasa yang otoriter, bisa saja mengatakan ia merepresentasikan keinginan warga negaranya, dan hal tersebut dibenarkan dalam gagasan representasi. Hal ini juga berkaitan dengan model representasi itu sendiri.
Dalam pandangan tradisional, ada dua model representasi, yaitu model trustee dan delegate. Model trustee mengatakan, seorang wakil akan mendapat kepercayaan untuk bertindak atas nama mereka yang memilihnya. Sebagai trustee, ia memiliki kebebasan untuk menjalankan peran mewakili konstituennya. Ia dapat menggunakan pemahaman, nalar, dan pendapatnya sendiri untuk memutuskan tindakan yang terbaik bagi konstituennya. Sementara model delegate mengatakan bahwa seorang wakil hanya mengikuti keinginan atau kehendak pemilihnya. Ia tidak dapat mengambil tindakan sesuai kemauannya atau berdasarkan apa yang ia anggap baik, namun semata-mata hanya pembawa keinginan atau kehendak konstituennya. Jika melihat gambaran model perwakilan di DPR, model trustee menurut pandangan saya rasanya sangat tepat. Berkaitan dengan kasus UU Pilkada, maka pemerintahan seperti apa yang hendak dibentuk? Pemerintahan yang demokratis atau pemerintahan representatif? Jika mengatakan pemerintahan yang demokratis, maka tentu saja UU Pilkada ini harus kita gugat ramai-ramai karena pemerintahan yang demokratis mensyaratkan partisipasi langsung dari masyarakat yang bersifat inklusi. Jelas-jelaslah UU Pilkada ini tidak memenuhi syarat tersebut karena ia sukses mengeksklusikan masyarakat.
Jika dikatakan pemerintahan yang representatif, maka pertanyaannya adalah reprsentasi yang seperti apa? Representasi dikatakan demokratis apabila mereka yang kepentingannya dipengaruhi oleh sebuah keputusan mempunyai kapasitas mempengaruhi keputusan tersebut. Mereka yang kepentingannya tersentuh oleh keputusan-keputusan mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi pembuatan keputusan tersebut.
Jika berkaca pada UU Pilkada, jelaslah representasi ini tidak demokratis. Kepala daerah dipilih oleh DPRD, sementara ia bertugas mengatur hajat hidup masyarakat. Dalam artian, masyarakat yang kepentingannya dipengaruhi oleh kepala daerah, yang keputusan pengangkatannya dilakukan oleh DPRD, tidak memiliki kapasitas untuk mempengaruhi keputusan tersebut. Apa yang saya katakan bukanlah pernyataan asal bunyi, namun berdasarkan draft RUU Pilkada yang akhirnya disahkan menjadi UU Pilkada beberapa hari lalu. Dalam pemilihan gubernur misalnya, bukan hanya dalam pemungutan suara dan penetapan, namun sampai dengan penyampaian visi-misi dan program calon gubernur pun, yang notabene berpengaruh langsung kepada masyarakat, dilakukan di rapat paripurna DPRD. Walaupun penyampaian visi-misi dan program ini terbuka untuk umum, tetap masyarakat tidak bisa menyampaikan pendapatnya sebab tanya jawab atau dialog hanya dilakukan oleh anggota DPRD.
Bukankah ini suatu kenyataan yang ironis? Bahwa visi-misi dan program si gubernur, yang notabene mempengaruhi hajat hidup dan kepentingan masyarakat, namun masyarakat itu sendiri tidak dapat menyampaikan pendapatnya. Inilah yang ditakutkan, justru tanggung jawab si kepala daerah nantinya justru lebih besar kepada DPRD dibanding masyarakat di daerah itu. Justru pada akhirnya kepala daerah ini menjadi alat dari partai politik di DPRD dibanding bertanggung jawab kepada masyarakat di daerah tersebut. Apa yang tercermin dalam UU Pilkada merupakan bentuk dari representasi non-elektoral, dimana representasi yang ada dibangun berdasarkan klaim. Dalam hal ini, DPRD mengklaim bahwa mereka mewakili masyarakat memilih kepala daerah, apalagi dengan melihat model perwakilan mereka yang bersifat trustee, dengan berlindung pada klaim yang menyatakan ini bersifat demokratis, padahal hal ini tentu saja berbeda dengan demokrasi.
Jadi yang patut dipertanyakan di sini adalah bagaimana pemahaman para anggota DPR RI ketika merumuskan UU Pilkada ini mengenai gagasan demokrasi dan representasi. Pemerintahan seperti apa yang hendak mereka bangun? Jika sekedar pemerintahan yang representatif, maka UU tersebut tentu telah sesuai.
Namun lagi-lagi pertanyaannya adalah representasi yang seperti apa? Sebab model representasi seperti ini, kepala daerah dipilih oleh DPRD, pernah diterapkan di masa Orde Baru, dan orang bodoh mana pun, tentu akan mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru jauh dari pemerintahan yang demokratis.
Oleh karena saat ini kita tengah berada dalam kerangka pemerintahan demokrasi, berdasarkan penjabaran panjang lebar saya di atas, maka saya pribadi menyatakan bahwa UU Pilkada tidak sesuai dengan gagasan demokrasi. Ia mencerminkan gagasan representasi yang tidak demokratis dan mengeksklusikan masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, atas nama pemerintahan demokrasi dan representasi yang lebih demokratis, ia harus digugat! Bahan bacaaan rujukan: Soeseno, Nuri. Representasi Politik: Perkembangan dari Adjektiva ke Teori. 2013. Depok: Pusat Kajian Politik UI. Draft RUU Pilkada Izzan Fathurrahman

Kommentit