top of page

Tujuh Belas Tahun Reformasi, People’s Power Harus Hadir Kembali

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 3 min read

Tulisan ini dimuat di Selasar.com https://www.selasar.com/politik/tujuh-belas-tahun-reformasi pada tanggal 23 Mei 2015 dan Buletin Bisu BEM UI https://bit.ly/Bisu_1 edisi 01/VI/2015.


Ada banyak peristiwa bersejarah lahir di bulan Mei, mulai dari Hari Pendidikan Nasional, Kebangkitan Bangsa, sampai dengan yang paling dini, Reformasi 1998. Kini sudah tujuh belas tahun reformasi bergulir, usia yang tidak lagi muda. Jika diibaratkan pada manusia, maka usia tersebut sudah memasuki usia mencari jati diri. Bagaimana dengan bangsa ini sendiri? Apakah bunda pertiwi sudah dapat menemukan jati dirinya?

Pasca lengsernya Soeharto, banyak ilmuwan politik yang mengkhawatirkan kondisi politik Indonesia di masa mendatang. Andres Ufen misalnya, ia menyoroti institusionalisasi partai di Indonesia yang masih kurang dan tingginya personalisasi dalam partai. Richard Robison, Vedi Hadiz, dan Jeffrey Winters, menyoroti oligarki di belakang sistem politik yang baru, apakah benar-benar hilang atau justru bertransformasi.


Agaknya kekhawatiran pakar-pakar politik tersebut tidaklah berlebihan. Jika kita berkaca pada situasi akhir-akhir ini, Indonesia kerap dilanda serangkaian konflik elit dengan berkedok kepentingan rakyat. Lihatlah konflik KMP-KIH yang melahirkan banyak kebijakan kontroversi, kisruh KPK-Polri, sampai dengan perseteruan Kemenpora-PSSI. Apakah rakyat Indonesia benar-benar menginginkan konflik-konflik tersebut? Padahal sejatinya konflik-konflik elit tersebut justru merugikan kepentingan dua ratus juta rakyat Indonesia.


Kondisi paradoks tersebut di satu sisi juga disebabkan oleh karakter reformasi itu sendiri. Reformasi memang menumbangkan Soeharto, namun kelompok-kelompok elit di belakangnya, pemain-pemain politik lama, tidak berhasil dilengserkan. Elit-elit politik ini mampu bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan karakteristik sistem politik yang baru. Demikian juga dengan oligarki-oligarki di belakangnya, sistem demokrasi ternyata tidak mampu membendung kekuatan sumber daya material untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Hal ini sejalan dengan institusionalisasi partai di Indonesia yang masih lemah dan personalisasi partai yang masih tinggi.


Kondisi demikian pada akhirnya menjadikan sistem politik Indonesia sekarang tidak jauh berbeda dengan sistem politik zaman Orde Baru yang hanya milik segelintir orang. Tengoklah presiden kita, bahkan sosok yang dikatakan sebagai The New Hope itu terkadang seperti bingung sendiri dalam menentukan beberapa kebijakannya. Siapa yang berani bilang kalau ia tidak tersandera oleh kepentingan orang-orang di belakangnya?


Menjawab jati diri bunda pertiwi yang masih labil, maka saya rasa people’s power harus hadir kembali dalam sistem politik sekarang. People’s power yang saya maksud bukanlah aksi massa seperti yang diutarakan Tan Malaka, bukan, bukan demikian. People’s power yang saya maksud adalah kelompok intelektual seperti akademisi, mahasiswa, dan pakar politik, yang turun ke jalan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Christian Welzel dan Ronald Inglehart mengatakan untuk mencapai demokrasi yang efektif, pendidikan politik kepada masyarakat harus dilakukan. Masyarakat yang melek politik akan memberi tekanan kepada pemerintah dan menjadi kontrol terhadap demokrasi itu sendiri. Hal ini akan berujung pada penguatan rezim demokrasi, dimana pemerintah akan menjadi pelayan masyarakat dan penyalahgunaan kekuasaan bisa ditekan.


Pendidikan politik mungkin sudah mulai dilakukan, namun saya rasa kapasitasnya masih kurang. Pendidikan politik umumnya dilakukan di kota-kota besar dengan akses informasi dan teknologi yang terjangkau. Namun pada masyarakat pelosok, hal ini masih kurang bahkan cenderung tidak ada. Padahal, demokrasi tidak hanya diterapkan di perkotaan, namun juga di tingkat lokal atau pedesaan yang jumlahnya justru lebih besar. Jadi, apakah kita siap, kaum intelektual, untuk turun ke jalan dan mengumandangkan people’s power sekali lagi?


Bahan Bacaan Rujukan:

Bunte, Marco and Andres Ufen, Democratization in Post-Suharto Indonesia, 2009, New York: Routledge


Robison, Richard and Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, 2004, Hong Kong: Routledge


Winters, Jeffrey A., Oligarchy, 2011, Cambridge: Cambridge University Press

Welzel, Christian and Ronald Inglehart, “The Role of Ordinary People in Democratization”, dalam Journal of Democracy 19, No. 1, 2008




留言


Post: Blog2_Post
bottom of page