top of page

Mahasiswa di Luar Negeri dan Jodoh Bule: Manifestasi Maskulinitas Toksik

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 4 min read

Tulisan ini dimuat dalam portal Magdalene melalui tautan https://magdalene.co/story/mahasiswa-di-luar-negeri-dan-jodoh-bule-manifestasi-maskulinitas-toksik dengan sedikit Perubahan dari editor.


**


Hati saya tergelitik beberapa hari lalu melihat selebaran promosi dari sebuah lembaga konsultan pendidikan yang menyandingkan pendidikan di luar negeri dan jodoh. Dua variabel yang dari awal sudah membuat dahi bekerut ketika disandingkan.


Jika pendidikan hanyalah dipandang sebagai investasi dalam mencari pasangan, maka bersedihlah Ki Hadjar Dewantara yang namanya selalu hadir dalam quote Twitter atau Instagram anak muda kala hari pendidikan nasional atau Hatta yang harus menunggu pasca republik merdeka baru meminang Siti Rahmiati.


Dalam selebaran tersebut terpampang seperempat halaman foto laki-laki Indonesia dengan kekasih kulit putihnya dan tak kalah makan tempat, tagline dengan huruf merah seolah-olah penegas, “Bisa jadi jodohmu bule benua ini, itu, atau ono”.


Terlepas dari tujuan dagang lembaga tersebut yang mencari untung, apalagi di tengah pandemi yang membuat orang berpikir dua kali untuk menimba ilmu ke luar negeri, ada beberapa hal menarik yang dapat saya catat. Menarik mungkin kata paling normatif yang bisa dipakai sebab catatan ini berisi kesedihan, amarah namun di satu sisi permakluman akan konteks masyarakat terkait isu yang termanifestasi dalam selebaran cocoklogi di atas.


Pertama, mengapa harus foto laki-laki Indonesia dengan perempuan bule? Ini setali tiga uang dengan pertanyaan dari kawan-kawan saya di Indonesia, “sudah berapa cewek bule yang lo tidurin di Swedia?” “Sudah mau habis masa studi di sana, nggak pernah gue lihat lo posting foto di Instagram dengan pacar bule”.


Terlepas dari hubugan percintaan adalah urusan masing-masing, pertanyaan-pertanyaan dan foto di selebaran di atas merupakan manifestasi kultur toxic masculinity yang menghegemoni masyarakat. Bahwa percintaan hanyalah perihal kompetisi, penaklukan dan pengakuan, bukan manifestasi afeksi terhadap pasangan masing-masing tanpa perlu umbar-umbar dan relasi kuasa.

Tak hanya bagi saya laki-laki, namun permasalahan ini dialami oleh pelajar-pelajar perempuan. Percakapan saya dengan beberapa kawan perempuan mengerucut pada pernyataan umum yang biasa dialamatkan pada mereka, “cari cowok bule saja, menikah dan hidup nyaman di sana”.


Pandangan ini berbahaya, sebab lagi-lagi merepresentasikan kultur toxic masculinity. Perempuan dianggap objek taruhan dan kompetisi yang jika dimenangkan, ia dapat tunduk pada kondisi yang dirancang oleh si penakluk. Misal, hidup nyaman atau rezeki cukup, yang sebenarnya juga dapat diraih perempuan tanpa adanya penaklukan.


Menarik jika melihat latar belakang kawan-kawan penanya. Mereka bukan berasal dari kalangan kelas menengah bawah kurang pendidikan yang terbatas akses pemahamannya terhadap isu gender yang memang dari awal sudah sangat terbatas pembahasannya. Mereka adalah kaum menengah perkotaan berpendidikan dan satu dua bahkan aktif di isu-isu resistensi macam gender atau perjuangan kelas.


Menarik sebab antara sedih dan geram, pertanda kultur toxic masculinity telah menembus batas-batas kelas, bahkan pada mereka yang mengaku paling progresif sekalipun. Jika ada anggapan fucboi itu manipulatif dengan berpura-pura marxis atau feminis, mungkin memang benar adanya. Namun lebih jauh lagi, pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan manifestasi di atas berkait dengan embel-embel bule yang disematkan. Ini bersambung dengan poin kedua catatan saya.


Kedua, mengapa memang kalau punya pasangan bule? Pandangan inferior terhadap orang kulit putih tak lepas dari manifestasi kapaitalisme dan ide pembangunan (development) yang membentuk disparitas antara yang kaya dan miskin, yang maju dan terbelakang. Tidak usah jauh dulu ke Barat, saya yang dari kampung ini saja selalu diteror pertanyaan oleh keluarga atau kawan di rumah, “sudah punya pacar orang Jakarta belum?” ketika pertama kali belajar di UI. Seolah saya yang udik dan bergagang kacamata putih ini tak dapat menjalin afeksi dengan perempuan-perempuan modis ibukota.


Merujuk pada konteks Indonesia, negara ini dahulu dijajah oleh bangsa kulit putih yang juga mengusung semboyan toxic masculinitygold, glory, gospel”. Terlepas dari eksploitasi yang masif, pandangan bahwa negara Barat lebih unggul memang sudah ada dari zaman kolonial. Ini berlanjut dalam konteks pembangunan global pasca Perang Dunia II. Awal munculnya ide pembangunan sendiri sudah mempertegas ketidaksetaraan. Pidato Presiden US, Harry S. Truman, tahun 1949, berbunyi,


we must embark on a bold new program for making the benefits of our scientific advances and industrial progress available for the improvement and growth of underdeveloped areas. … For the first time in history, humanity possesses the knowledge and skill to relieve the suffering of these people.”


Pidato tersebut menjadi landasan dari program-program pembangunan global yang juga dirasa Indonesia. Bungkusnya memang tak lagi imperialisme, namun isinya sama saja, Barat lebih superior dan kita butuh diselamatkan. Ada relasi kuasa.


Kapitalisme Barat dalam wajah pembangunan ekonomi mulai masuk. Muncullah istilah “white savior” atau pandangan bahwa apapun yang impor Barat pasti bagus. Restoran ayam goreng bermaskot badut berbanderol dua kali lipat dari warung tenda pinggir jalan ramai diserbu pembeli. Ia dianggap produk fancy padahal di negara asalnya mungkin itu makanan para supir truk.


Melihat latar belakang kawan-kawan saya, agaknya tidak heran manifestasi toxic masculinity muncul. Pemahaman gender mereka belum melampaui batasan gender itu sendiri dan ia bertalian dengan kapitalisme. Seperti diketahui, kombinasi antara kapitalisme dan kultur toxic masculinity selalu merugikan perempuan. Mereka sama-sama berakar pada cara pandang kompetisi, penaklukan dan relasi kuasa.


Latar belakang kelas menengah perkotaan membentuk batasan sendiri terhadap kawan-kawan saya. Mereka mungkin konsumen utama produk kapitalisme Barat. Hanya mau menonton serial impor macam FRIENDS tapi menertawakan Mandra dan Si Doel. Mendengar band-band alternatif luar negeri namun mencibir Kangen Band dan penontonnya.


Tak heran jika pandangan inferior pada hasil produk kapitalisme Barat terbawa juga dalam relasi percintaan. Perempuan atau laki-laki bule dianggap lebih superior dari orang Indonesia. Awalnya mungkin tak bemaksud menyinggung isu gender, namun ia adalah manifestasi dari pola pikir yang juga berjangkar pada kompetisi, penaklukan dan relasi kuasa.


Berpasangan bule tak masalah namun ide di balik itu yang harus dicermati. Jika ia manifestasi kultur toxic masculinitymaka perempuan akan selalu dirugikan. Tak heran istilah “Yellow Fever” ramai berkembang, bahwa laki-laki kulit putih gemar berpasangan dengan perempuan Asia karena merasa mereka lebih gampang diatur. Atau muncul seminar macam jodoh dan pendidikan yang melihat perempuan Barat sebagai objek taklukan dan simbol superioritas.


Bila dikata orang Indonesia eksotis dan seksi, bukan berarti rambut pirang dan mata biru tak menarik atau kulit berwarna tidak masuk bursa pasangan. Interaksi saya dengan kawan-kawan perempuan saya tidak selamanya perihal seks dan kondom, banyak hal di luar itu yang menarik untuk digali terlepas dia orang Indonesia atau bule sekalipun.


Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page