top of page

Status Tersangka Ahok, Aksi Redam Potensi Kudeta dari Presiden?

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 5 min read

Tulisan ini dimuat di selasar.com dengan judul yang sama, https://www.selasar.com/politik/status-tersangka-ahok-aksi-redam-potensi-kudeta-presiden pada tanggal 21 November 2016. --


"In politics, there are no permanent friends or permanent enemies, just permanent interests."

Beberapa waktu lalu kawan saya membagikan foto massa aksi 4 November di Bundaran HI di akun media sosialnya. Ia yang saat itu berkantor di Menara Merdeka, dengan jelas dapat menggambarkan bagaimana dahsyatnya lautan manusia yang mengerubungi patung selamat datang.


Saya sendiri cukup merinding melihatnya, bundaran HI yang biasanya sesak dan bising oleh kendaraan, hari itu berubah warna menjadi putih.


Tumpah ruahnya lautan manusia berseragam putih tanggal 4 November lalu tidak lain untuk menuntut agar Gubernur DKI Jakarta saat ini, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, diadili karena kasus penistaan agama.

Sebagai respon dari gelombang massa itu, pemerintah melalui Polri akhirnya menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama. Keputusan yang tentu cukup mengejutkan dan membangkitan spekulasi-spekulasi pada publik.


Saya sendiri mencoba berspekulasi bahwa penetapan status tersangka pada Ahok, sebagai langkah dari Presiden Joko Widodo untuk mengamankan posisinya dan meredam potensi aksi kudeta.


Aksi 4 November dan Potensi Kudeta


Sekilas jika dilihat, aksi 4 November kemarin mungkin aksi terbesar yang pernah terjadi pasca peristiwa 1998. Bahkan demo buruh yang dapat mengubah kebijakan negara dan menambah 1 Mei sebagai tanggal merah di kalender nasional, seperti kalah dibanding aksi 4 November kemarin.


Aksi yang awalnya direncakan berjalan damai, berakhir ricuh dengan bentrokan antara massa dan aparat kepolisian, serta penjarahan di beberapa titik di Jakarta.


Isu semakin meluas, dari yang awalnya hanya mengangkat isu penistaan agama, merembet pada tuntutan agar Presiden Joko Widodo tidak melindungi Ahok.


Berkat pengaruh media sosial, sentimen-sentimen SARA yang mengatasnamakan ras dan agama mulai menyebar di dunia maya. Isu yang awalnya hanya sebatas isu regional di Jakarta saja, merembet menjadi isu nasional dengan ancaman terhadap stabilitas keamanan negara dan status presiden.


Begitulah isu agama, sedikit saja ia digoreng-goreng dengan bumbu heroisme dan sentimen keimanan, maka dengan cepat ia laku keras.


Berkaca pada situasi di atas, agaknya tidak heran apabila status tersangka disematkan pada Ahok. Gelombang massa yang besar 4 November lalu, mengancam akan melakukan aksi #BelaIslam jilid 3 apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi.


Ada potensi kudeta di sini, mengingat jumlah massa yang besar, berasal dari penjuru Nusantara, dan dihadiri oleh tokoh-tokoh politik nasional, bahkan ada kepala daerah. 


Melihat respon Presiden Joko Widodo pasca aksi 4 November kemarin, kekhawatiran akan munculnya kudeta juga sepertinya muncul dalam benak presiden.


Dalam waktu seminggu, Presiden Joko Widodo melakukan safari politik ke markas-markas TNI dan Polri. Hal yang mungkin baru pertama kali terjadi pasca Reformasi 1998.


Kunjungan presiden pada institusi-institusi militer dalam waktu sepekan tersebut, bisa jadi untuk memastikan dukungan angkatan bersenjata masih setia di belakang presiden. 


Mengutip pemikiran ilmuwan politik, Louis W. Goodman, dalam buku Larry Diamond dan Marc F. Platter, Civil Military Relations and Democracy, sebagai institusi yang terbesar, memiliki perlengkapan yang terbaik, dan paling teratur di dalam sebagian masyarakat, lembaga militer memiliki kapasitas yang luar biasa untuk merealisasikan kepentingan organisasi mereka jika mereka memang menghendakinya.

Memastikan dukungan angkatan bersenjata di belakang presiden adalah hal yang penting di balik bangkitnya isu-isu yang mengancam stabilitas keamanan nasional, dan kebangkitan kelompok-kelompok ultra-konservatif.


Militer sebagai organisasi yang memiliki struktur dan rantai komando paling kuat dalam masyarakat, sangat rawan dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu, atau bahkan menjalankan agenda politik militer itu sendiri apabila ada kesempatan.


Lebih jauh lagi, ilmuwan politik lainnya, Samuel E. Finer, menjelaskan dalam bukunya, The Man on Hoseback, bahwa intervensi militer dalam perpolitikan nasional dapat terjadi apabila popularitas militer mulai meningkat dan menekan otoritas sipil.


Popularitas yang dimaksudkan adalah ketika pemerintahan sipil dianggap tidak efisien, korup, atau memiliki masalah-masalah lainnya.


Aksi 4 November kemarin sudah tidak lagi hanya berfokus pada tuntutan dipidanakannya Ahok karena kasus penistaan agama, namun lebih dari itu, isu mulai berkembang pada tuntutan agar Presiden Joko Widodo tidak lagi melindungi Ahok.


Dalam hal ini, kredibilitas presiden selaku pimpinan negara mulai dipertanyakan. Perwakilan massa aksi bahkan menuntut untuk bertemu langsung dan berdialog dengan presiden.


Untungnya hal ini direspon positif oleh Presiden Joko Widodo dengan tidak menemui pendemo dan meninggalkan istana.


Tindakan tersebut sudah tepat, sebab dengan hanya mengutus perwakilan pada pertemuan tersebut, sama saja dengan presiden tidak meligitimasi aksi dan tuntutan tersebut, serta tidak membahayakan posisinya sebagai kepala negara.


Tindakan safari politik Presiden Joko Widodo ke markas-markas militer dan Polri kemarin juga guna meredam semakin meningkatnya polularitas militer di kalangan masyarakat Indonesia.


Indonesia memiliki sejarah panjang mengenai pemerintahan dengan pengaruh militer yang kuat di zaman Presiden Soeharto, dan bagi beberapa orang, masa-masa tersebut merupakan masa lalu yang bahagia.


Pemilu Presiden 2014 lalu juga masih menyisakan sentimen-sentimen pemerintahan di bawah militer karena calon tidak tepilih, Prabowo Subianto, yang notabene mantan Komandan Kopassus, kalah dengan selisih suara tipis.


Motif ini pula yang mungkin mendasari lawatan politik Prabowo Subianto ke Istana Presiden beberapa hari lalu, sembari menikmati secangkir teh hangat dan ikan bakar.


Saat ini mulai beredar di media-media sosial dan dunia maya bahwa Jenderal TNI saat ini, Gatot Nurmantyo, digadang-gadang sebagai calon presiden yang tepat, dan difavoritkan oleh kelompok-kelompok ulltra-konsevatif.

Presiden perlu menutup kemungkinan dimanfaatkannya kesempatan intervensi dari kalangan militer kepada situasi perpolitikan dan keamanan negara saat ini.


Militer aktif yang memiliki pasukan perlu dikunci status dan posisinya agar tetap setia di belakang presiden, mengingat presiden telah mendapatkan dukungan dari purnawirawan-purnawirawan jenderal di dalam kabinetnya.

Penyematan status tersangka pada Ahok bisa jadi sebagai jalan untuk melindungi posisi Presiden Joko Widodo sekaligus meredam potensi kudeta pada aksi susulan #BelaIslam jilid 3 mendatang.

Apalagi, penetapan status tersangka ini seperti membalikkan keadaan sebelumnya, dimana Polri terlihat seperti melindungi Ahok dengan mencari-cari siapa dalang penyebar video penistaan agama untuk dijadikan tersangka.

Hal ini berujung pada ditetapkannya Buni Yani, orang yang digadang-gadang sebagai kambing hitam dalam kasus ini, sebagai tersangka.


Kini dengan situasi yang berbalik, penetapan Ahok sebagai tersangka setidaknya akan sedikit meredakan suasana dan menghilangkan legitimasi aksi susulan mendatang, sebab apa yang menjadi tuntutan massa, telah terpenuhi.


Spekulasi Lain


Analisa di atas hanyalah satu dari banyaknya spekulasi yang beredar dalam masyarakat. Selain untuk melindungi posisi Presiden Joko Widodo dan meredam potensi kudeta, ada banyak spekulasi lain.


Jika dikaitkan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang, penyematan status tersangka pada Ahok bisa jadi untuk meningkatkan popularitasnya menjelang Pilkada.


Perspektif korban sangat dimainkan di sini, di mana Ahok juga memiliki jutaan pendukung di Pilkada DKI Jakarta 2017. Bahkan survei terakhir sebelum aksi 4 November kemarin, menempatkan Ahok sebagai kontestan paling kuat di Pilkada DKI Jakarta.


Penetapan Ahok sebagai tersangka, bisa jadi akan menjadikannya martir ketika ia ternyata dinyatakan tidak bersalah.


Bahkan si gubernur sepertinya sudah cukup percaya diri, ia menyatakan dirinya tidak takut dan meminta sidangnya terbuka secara umum, diliput langsung oleh media.


Nelson Mandela, Martin Luther King Jr., sebutlah nama-nama itu, begitulah cara dunia dibangun. Mereka adalah martir-martir yang mampu membalikkan perspektif korban menjadi dukungan yang luar biasa besar untuk mencapai apa yang dicita-citakan.


Kemungkinan penetapan Ahok sebagai tersangka untuk menaikkan popularitasnya menjelang Pilkada 2017 nanti tetap ada, mengingat Ahok dan Presiden Joko Widodo berada di satu “induk semang” yang sama.


Lebih dari itu, apapun motif dibalik penetapan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama, peristiwa ini mengajarkan bahwa terjadi kemunduran dalam budaya toleransi di masyarakat.


Pondasi persatuan telah semakin rapuh, sampai-sampai masyarakat dengan mudah dipecah-belah oleh is-isu SARA, yang saat ini seperti merebak kembali.

Hal ini tentu harus jadi perhatian lebih bagi pemerintah, dan khususnya masyarakat, bahwa kemerosotan yang terjadi harus segera ditanggulangi agar tidak timbul perpecahan dalam kehidupan bernegara ke depannya.


Referensi Bacaan:


Diamond, Larry, dan Marc F. Platter, ed., Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Ed., Trans. Tri Wibowi Budi Santoso, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001, Trans. dari Civil Military Relations and Democracy, 1996


Finer, Samuel E., The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics, New Brunswick: Transaction Publishers, 2002



Sumber Gambar: http://www.globalindonesianvoices.com/wp-content/uploads/2013/11/October1.jpg 




Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page