top of page

Perkembangan Dunia Hiburan dan Dampak Negatif Yang Dikhawatirkan Timbul Pada Anak-Anak

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 3, 2020
  • 4 min read

Ini adalah tulisan lama saya, dimuat di tabloid Greyscale milik HMIP UI edisi 07/2012.


** 


Saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa dunia hiburan Indonesia tengah mengalami perkembangan pesat dengan mengadopsi nilai-nilai seni dan hiburan dari budaya luar. Dunia hiburan yang dimaksud meliputi musik dan acara-acara televisi yang dimana keduanya memiliki nilai komoditas yang sangat menjual bagi para pelaku bisnis di ranah industri hiburan. Namun sayangnya, terkadang tema yang ditawarkan oleh industri hiburan kita belum sesuai dengan umur konsumen yang menikmati, dalam konteks ini yaitu anak-anak. Tema dewasa seperti percintaan kerap menjadi tema utama yang menginvasi layar televisi kita. Anak-anak yang belum cukup umur pun dipaksa menerima hiburan-hiburan bertemakan cinta tersebut tanpa memikirkan dampak kedepannya bagi perkembangan dan pola pikir anak tersebut.


Mungkin telah akrab di penglihatan dan pendengaran kita sinetron anak-anak yang menjamur di televisi. Jika dilihat dari labelnya yaitu sinetron anak-anak dengan apa yang disampaikan oleh sinetron tersebut, maka akan didapatkan sebuah paradoks yang miris. Sinetron-sinetron tersebut menggunakan label anak-anak, tetapi apa yang disampaikan oleh sinetron tersebut bisa dibilang akan banyak mensugesti dan memberi pengaruh negatif pada anak. Kenapa?


Pertama, karena sinetron tersebut rata-rata mengusung tema percintaan yang belum sesuai dengan umur anak-anak. Kedua, adegan sinteron tersebut seringkali menonjolkan pergaulan yang tidak sehat. Dalam sinetron anak-anak hampir pasti selalu ada pengkotak-kotakkan atau gank-gank anak yang saling bermusuhan. Dan celakanya, terkadang yang melatarbelakangi permusuhan kelompok anak-anak dalam sinetron tersebut adalah hal sepele seperti percintaan dan latar belakang sosial. Hal ini tentu cukup memprihatinkan, karena dikhawatirkan dapat mensugesti pola pergaulan yang cenderung memilih-milih teman dan mengajarkan permusuhan pada anak-anak. Sinetron tersebut adalah sinetron anak-anak yang disaksikan oleh anak-anak, hendaknya disesuaikan dengan pola pikir anak-anak. Anak-anak cenderung belum dapat berpikir kritis seperti orang dewasa dan notabene langsung mencerna apa yang didapat secara langsung. Sinetron anak-anak seharusnya dapat memberikan pendidikan tentang pergaulan yang sehat, menonjolkan persatuan dan kekompakan dalam diri anak-anak, bukannya menonjolkan pergaulan yang tidak sehat dan cenderung akan pengkotak-kotakkan. Dikhawatirkan pola pergaulan seperti di atas malah dijadikan model pola pergaulan ideal oleh anak-anak dimana dalam sebuah pergaulan selalu ada permusuhan dan kelompok yang saling bertentangan. Masalah ketiga dari sinteron anak-anak adalah jam tayang. Kebanyakan sinetron anak-anak ditayangkan pada petang hingga malam hari, yang notabene merupakan jam belajar anak. Dikhawatirkan anak-anak akan cenderung malas belajar, lebih memilih untuk menonton televisi.

Selain sinteron, musik anak-anak saat ini juga cukup mengkhawatirkan. Musik anak-anak saat ini cenderung bertemakan cinta yang belum sesuai dengan umur mereka. Miris jika dilihat, justru musik-musik bertema cinta lebih populer dinyanyikan oleh anak-anak pada zaman sekarang, terbukti dengan munculnya boyband cilik yang membawa lagu bertemakan cinta dan celakanya sangat populer di kalangan anak-anak.


Anak-anak belum sepantasnya mengusung hiburan bertema cinta, karena pola pikir anak-anak belum saatnya digiring untuk mengarah ke tema percintaan yang sangat rumit dimana orang dewasa pun banyak yang masih belum mampu mengartikannya. Dikhawatirkan pemikiran anak-anak hanya akan terfokus pada pandangan sempit tentang makna cinta serta lebih mengutamakan masalah percintaan dalam kehidupan sehari-harinya dan mengabaikan aspek terpenting seperti pendidikan. Pemaknaan sempit pada makna cinta dikhawatirkan akan menimbulkan pendewasaan dini yang salah pada anak dan menjadi cikal bakal dari menjamurnya remaja “galau” di Indonesia.


Masa anak-anak adalah masa bermain dan penuh kreativitas, oleh sebab itu dalam meningkatkan kreativitas anak maka diperlukan media-media yang mampu mensugesti kreativitas mereka, salah satunya adalah hiburan. Ahli pendidikan Uni Soviet era 1920 - 1930an, Lev Semyonovich Vygotsky mengatakan bahwa faktor lingkungan sosial dan penggunaan bahasa sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif anak. Oleh karena itu sangat diperlukan hiburan-hiburan yang mampu merangsang perkembangan motorik anak, yang disampaikan dengan bahasa yang sesuai dengan umur mereka sehingga dapat dengan mudah dicerna.


Salah satu faktor berangsur matinya musik dan acara televisi anak mungkin karena tidak adanya kaderisasi dari industri hiburan. Setelah wafatnya komposer musik anak-anak seperti Ibu Sud dan A.T Mahmud serta beranjak dewasanya penyanyi anak-anak seperti Maisy, Joshua, Tasya, dan Trio Kwek-Kwek, sangat sulit menemukan musik anak-anak yang cerdas, yang sarat akan pembelajaran-pembelajaran positif dan sesuai dengan umur mereka. Demikian juga dengan acara televisi, acara-acara kartun pada hari minggu saat ini sudah mulai jarang dan perlahan-lahan digantikan posisinya oleh FTV bertemakan cinta. Serial televisi yang sarat akan nilai sosial seperti Keluarga Cemara juga sudah sangat langka, bahkan Pak Raden dengan si Unyil-nya bisa dikatakan sebagai orang akhir zaman dari tayangan televisi anak-anak. Memang masih ditemui beberapa acara televisi yang sesuai dengan umur anak-anak, tetapi gaungnya tidak sebesar pada masa kecil kita dahulu, berangsur-angsur terkubur oleh hiburan bertemakan dewasa.


Berangsur matinya hiburan anak tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada pelaku industri hiburan tanah air. Karena sebagai pebisnis, mereka tentu akan menyesuaikan tema dengan selera pasar dan mencari keuntungan semaksimal mungkin. Tapi hendaknya masalah ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mereka, tidak hanya terpaku pada urusan profit semata. Karena hiburan yang cerdas dan sesuai umur juga penting untuk perkembangan dan pola pikir anak.


Peran pemerintah juga sangat diharapkan dalam mengontrol hiburan bagi anak-anak. Pemerintah telah memiliki badan pengawasan seperti Komisi Perfilman Indonesia (KPI). KPI diharapkan mampu menerapkan regulasi yang lebih ketat, terutama mengenai jam tayang sinetron-sinetron anak, menyaring acara-acara televisi yang sesuai dengan batasan umur konsumen, dan menetapkan tayangan yang cerdas bagi anak-anak. Bahkan jika memungkinkan KPI bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang concern pada permasalahan anak, psikolog anak, atau tokoh pemerhati anak seperti Kak Seto dan Kak Nunu untuk menampilkan tayangan televisi yang cerdas dan yang mampu memberi pengaruh positif pada anak. 


Pengawasan dari orang tua juga sangat diharapkan. Terutama dalam mengontrol jam menonton anak dan menilai apakah tayangan tersebut sesuai dengan dengan rating umur anak-anak mereka. Pada acara-acara televisi biasanya telah ada rating dari suatu acara, semua umur (SU), remaja-bimbingan orang tua (R-BO), dan dewasa (D). Orang tua diharapkan dapat membimbing anak-anaknya untuk menonton acara yang sesuai batasan umur mereka, sehingga acara-acara televisi tersebut tidak membawa pengaruh negatif pada anak-anak mereka.



Comentários


Post: Blog2_Post
bottom of page