top of page

Negara Pembangunan dan BUMN Sehat

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 5 min read

Artikel ini dimuat di kolom opini Detik News pada tanggal 21 Januari 2020 dan dapat diakses melalui tautan https://news.detik.com/kolom/d-4868797/negara-pembangunan-dan-bumn-sehat

Akhir tahun 2019 ditutup oleh kabar kurang sedap dari sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemberitaan dimulai dari terbongkarnya skandal penyelundupan komponen sepeda motor Harley Davidson dan sepeda Brompton oleh Direktur Utama Garuda Indonesia yang ditaksir merugikan negara hingga Rp. 1,5 miliar. Kasus ini merembet pada skandal-skandal lain dalam tubuh maskapai seperti laporan keuangan palsu yang menyulap kerugian perusahaan menjadi keuntungan Rp. 11,5 miliar.

Tak sampai di situ, medio Desember 2019 publik dikejutkan dengan kasus gagal bayar perusahaan asuransi plat merah, Jiwasraya, sebesar Rp. 12,4 triliun. Kasus ini bermuara kemana-mana, mulai dari indikasi korupsi, keterlibatan istana, sampai dengan pola investasi yang buruk. Apapun akar masalahnya, kasus-kasus ini semakin menambah catatan hitam perusahaan-perusahaan milik negara. Bahkan ada ungkapan satir yang berbunyi, “BUMN kita besar di luar, namun kerdil di dalam“ sebagai sinyal tidak sehatnya internal BUMN.


Pernyataan tersebut bukanlah tak mendasar. Riset yang dilakukan Apriliyanti dan Kristiansen (2019) terhadap 22 BUMN berbagai sektor di Indonesia menunjukkan masih adanya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam tubuh BUMN. Partai politik masih menggantungkan sumber pendapatannya dari proses negosiasi antara politisi dan perusahaan. Praktik perburuan rente melibatkan berbagai pemegang kebijakan, mulai dari pemerintahan, penyidik, politisi, direksi sampai dengan pegawai di level bawah.


Negara Pembangunan dan BUMN


Sudah jelas bahwa Presiden Joko Widodo sangat berfokus pada pembangunan ekonomi semenjak periode pertama. Oleh beberapa pengamat, ia dijuluki sebagai “the new developmentalism“. Pembangunan ekonomi yang berfondasi pada pembangunan infrastruktur di periode pertama sarat akan peran aktif BUMN. Dalam proses perencanaannya, BUMN diekspektasi mampu memenuhi 22,2 % kebutuhan pembangunan infrastruktur nasional dan mayoritas proyek yang dipegang adalah proyek-proyek strategis, seperti pembangunan jalan trans Sumatera dan pembangunan pelabuhan di Makassar.


Akselerasi pertumbuhan ekonomi tentu perlu dibarengi kebijakan perlindungan sosial sebagai jaring pengaman terhadap potensi-potensi resesi. Oleh karena itu, penguatan pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu fokus Presiden Joko Widodo selama menjabat. Kembali, BUMN sektor farmasi diuntungkan terutama dalam menyuplai obat generik.


Peran aktif BUMN menjadikan pembangunan Indonesia dijuluki sebagai State-Owned Enterprises (SOEs) led approach. Imbasnya dalam pasar modal, BUMN-BUMN yang berkorelasi langsung dengan proses pembangunan menunjukkan performa positif. Riset dari Pulungan dkk (2017) menunjukkan BUMN-BUMN sektor konstruksi seperti Wijaya Karya, Adhi Karya, Waskita Karya, serta BUMN-BUMN sektor farmasi seperti Indofarma dan Kimia Farma memiliki nilai return yang baik sepanjang tahun 2013 dan 2017.

Menginjeksi BUMN sebagai penggerak pembangunan merupakan fenomena yang umum. Ia menjadi pilihan pragmatis ketika negara secara cepat membutuhkan kapasitas-kapasitas baru dalam mengeksekusi rencana pembangunan di tengah terbatasnya pilihan. Hal ini semakin didukung apabila kondisi ekonomi dan politik global tidak stabil, proses negosiasi dengan investor asing berjalan lambat dan kapasitas investasi domestik juga tak memadai. Situasi yang dialami oleh Presiden Joko Widodo.

Jauh sebelum Indonesia, negara-negara Eropa dan Asia Timur yang dijuluki “The Asian Miracle“ sudah menerapkan skema pembangunan yang sama semenjak dekade 1960an. Korea Selatan dan Taiwan misalnya, dalam periode-periode tersebut berhasil memperoleh masing-masing 10 dan 12 persen dari total GDP melalui peran BUMN. Lalu ada Prancis di dekade 1990-an yang mayoritas firma kuncinya dipegang oleh BUMN seperti Renault (otomotif), Alcatel (telekomunikasi), St. Gobain (manufaktur), Usinor (baja), Thomson (elektronik), Thales (dirgantara dan pertahanan), Elf Aquitaine (minyak) dan Rhône-Poulenc (farmasi).

Namun tak sesukses kisah Taiwan di periode “Asian Miracle“, BUMN kita hanya mampu menggenerasi sekitar dua persen dari total pendapatan negara. Meskipun jumlahnya terus meningkat dalam beberapa tahun belakangan, tetapi persentasenya masih sangat minim. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa 76 persen dari total pendapatan tersebut hanya disumbangkan oleh 15 perusahaan dari total 142 BUMN yang ada. Akibatnya, suntikan-suntikan dana kerap diberikan kepada BUMN-BUMN tak berprofit.

Di tengah upaya meningkatkan peran BUMN sebagai roda pembangunan, perbaikan dalam tubuh BUMN perlu dilakukan. Hal ini penting untuk meningkatan produktivitas sekaligus mencegah terjadinya skandal-skandal dalam perusahaan plat merah yang justru kontraproduktif dengan arah pembangunan.


BUMN yang Sehat

Implementasi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) menjadi tantangan dalam tubuh BUMN. Riset dari Herdijono (2019) menunjukkan bahwa faktor politik mengurangi efektivitas peran negara untuk mempengaruhi nilai-nilai yang dimiliki perusahaan. Hal ini sejalan dengan temuan Apriliyanti dan Kristiansen (2019) bahwa praktik politik menghambat kinerja BUMN. Praktik ini meliputi penempatan agen-agen partai politik dalam BUMN, perburuan rente di tahap sub-kontrak sampai dengan negosiasi anggaran di parlemen.


Dari riset Apriliyanti dan Kristiansen terhadap 112 BUMN, mayoritas posisi dewan direksi diisi oleh kalangan birokrat dan politisi. Sangat minim peran kelompok professional. Hal ini dapat dimaklumi sebab BUMN berbeda dengan perusahaan swasta. Mereka tidak hanya hadir untuk mengejar keuntungan, namun juga menstabilkan ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga keberlanjutan ekonomi. Oleh karenanya, intervensi kepentingan negara tak dapat dielakkan. Namun bukan berarti perbaikan tak dapat dilakukan.


Salah satu upaya menyehatkan BUMN adalah dengan melakukan penggabungan (holding) BUMN-BUMN yang bergerak di sektor yang sama, utamanya bagi perusahaan-perusahaan yang tidak sehat agar dapat merestrukturisasi kembali aset-asetnya. Selain itu, peningkatan modal dan jaringan juga diharapkan terjadi sehingga memacu kapasitas BUMN untuk menghasilkan keuntungan. Hal ini penting, sebab BUMN yang terus merugi dan tidak menghasilkan keuntungan terus berpotensi mendapat kucuran dana dari negara dan ini menjadi salah satu ladang praktik korupsi.


Penggabungan BUMN tentu tidak mudah dan harus berdasarkan hitung-hitungan cermat. Saat ini sudah ada beberapa penggabungan BUMN yang telah dilakukan, seperti BUMN kontruksi di bawah komando Hutama Karya, BUMN tambang di bawah Inalum, lalu BUMN perumahan di bawah Perumnas dan BUMN migas di bawah Pertamina. Penggabungan BUMN ini juga penting dalam meminimalkan persaingan antar BUMN, terutama di sektor yang ke depannya diprediksi tidak berkelanjutan, seperti minyak dan gas.


Kritik utama dari penggabungan BUMN adalah kekhawatiran akan dominisi negara yang terlalu kuat dalam proses pembangunan. Namun dalam konteks negara pembangunan dengan kapasitas waktu dan pilihan yang terbatas, opsi ini bisa jadi salah satu yang terbaik. Perihal berkurangnya kompetisi dari pihak swasta dan kemungkinan matinya perusahaan-perusahaan lokal berskala kecil, dapat disiasati dengan regulasi penanaman modal yang jelas.


Oleh karena itu, perbaikan dalam tubuh BUMN tak dapat hanya sebatas struktural manajerial, namun juga pada tataran regulasi. Regulasi yang mengontrol dan mengatur peran BUMN masih sangat lemah dan menyisakan banyak ruang negosiasi politik. Hal ini yang harus diperbaiki, termasuk regulasi-regulasi lain yang tak secara langsung terkait, seperti mekanisme pendanaan partai politik dan regulasi-regulasi terkait investasi.


Kekuatan Politik

Proses menyehatkan BUMN tentu tak dapat diterapkan dalam kurun waktu singkat, mengingat permasalahan yang ada bersifat historis struktural. Namun upaya menuju ke arah sana sudah terlihat. Terbongkarnya skandal-skandal macam di Garuda Indonesia dan Jiwasraya menunjukkan upaya bersih-bersih BUMN yang sudah mulai dilakukan. Apalagi Erick Tohir selaku Menteri BUMN telah mulai melakukan perombakan struktural dan mengambil kebijakan tegas terhadap praktik-praktik koruptif yang merugikan negara.


Kekuatan politik Presiden Joko Widodo di atas kertas saat ini cukup diunggulkan dengan mampu mengkosolidasi koalisi yang solid. Ini modal yang bagus untuk mengimplementasikan agenda pembangunan yang progresif jika memang presiden tidak memiliki beban seperti yang ia sampaikan. Situasi ini tentu berbanding terbalik dengan periode pertamanya yang sarat akan hambatan-hambatan politik dalam mengimplementasikan agenda pembangunan.

Kendati demikian, perhatian tetap tak dapat dilepaskan mengingat lingkaran presiden juga termasuk kelompok-kelompok yang mengambil keuntungan dari BUMN. Menciptakan BUMN yang benar-benar profesional tentu masih cukup jauh mengingat tujuannya yang tetap berkelindan dengan kepentingan negara. Namun negosiasi antar elit dan capaian kinerja yang terukur dari setiap perusahaan adalah satu hal yang harus terus menjadi perhatian bersama.


Referensi

Apriliyanti, Indri Dwi and Kristiansen, Stein Oluf. (2019) The Logics of Political Business in

State-Owned Enterprises: the Case of Indonesia, International Journal of Emerging Markets,

14(5), pp.709-730.


Herdijono, Irine. (2019) The Differences of Corporate Governance Influence on State-Owned

Enterprises and Non-State Owned Enterprises’ Performance: the Case of Indonesia, Review of

Financial Studies, 4(6), pp.85-96.

Pulungan, et.all. (2019) The Performance Evaluation of the State-Owned Enterprises’ Stocks

in Indonesia, Investment Management and Financial Innovations, 16(2), pp.140-149.


Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page