top of page

Menjelang Pilkada, Fenomena Birokrat Cari Selamat Mulai Terlihat

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 4 min read

Tulisan ini dimuat di harian Lombok Post, 28 Juli 2015.


**


Desember 2015 dipastikan beberapa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat akan menyelenggarakan pilkada serentak. Satu per satu bakal calon kepala dan wakil kepala daerah mulai unjuk gigi dan menyatakan sikap untuk bertarung secara politik. Namun dibalik riuh rendah dan gegap gempitanya poster, baliho, stiker, maupun jargon-jargon kampanye para bakal calon, tersimpan rasa cemas di dada segelintir orang. Siapa lagi kalau bukan pucuk-pucuk pimpinan birokrat, baik kepala dinas, sekretaris daerah, asisten 1, 2, 3, sampai dengan jajaran kabid atau kasubbid. Masa depan mereka juga terancam seiring dengan akan bergantinya kursi kepemimpinan daerah. Siapa yang dapat menjamin posisi nyaman sekarang akan bertahan seiring dengan bergantinya pemimpin pemerintahan?

Sudah bukan rahasia umum jika mutasi jajaran petinggi birokrat kerap terjadi ketika satu masa pemerintahan berganti. Namun pertanyaannya tentu adalah, “hendak dipindah ke mana mereka?” Syukur jika masih bertahan di jabatan yang sama. Untung-untungnya kalau bisa naik ke jabatan yang lebih tinggi. Namun jika kepala daerah yang baru menganggap bahwa si birokrat bukan bagian dari kelompoknya, maka siap-siap anda akan dibuang ke posisi yang lebih rendah. Itulah politik, siapa yang tidak mau masuk gerbong dan menghalangi di tengah-tengah rel, hantam saja. Kalau mau selamat, masuk gerbong, dan tetap melaju di rel yang telah ditentukan.

Fenomena tersebut pada akhirnya menyebabkan kelompok-kelompok birokrat mulai memikirkan jalan selamatnya masing-masing. Mereka sibuk mencari patron baru untuk mengamankan posisi di masa pemerintahan mendatang. Masuk di gerbong calon A, B, C, atau mungkin Z, mana saja yang bisa jadi juru selamat. Tak jarang mereka harus terlibat dalam politik praktis, baik secara diam-diam atau terang-terangan.

Fenomena tersebut lumrah terjadi, dan sayangnya seperti mengesampingkan fakta bahwa orang-orang ini adalah birokrat. Sekelompok manusia eksekutor, yang harusnya jauh dari pengaruh politik, dan bekerja secara profesional mengeksekusi seluruh kebijakan. Mereka tidak terikat oleh kepentingan politik apa pun, termasuk dari pimpinan daerah, terlepas dari siapa pun itu orangnya dan bagaimana latar belakangnya.

Birokrasi sendiri jika dilihat secara teoritis menurut Max Weber adalah sebuah organisasi yang luas dan kompleks dengan wilayah kerja yang tetap. Mereka memiliki sistem yang hierarkis dan otoritas yang bersifat sentralistis. Orang-orang yang mengisi posisi-posisi di birokrasi ini yang disebut birokrat. Mereka merupakan pejabat atau pegawai dengan kemampuan profesional khusus dan mengikuti aturan dan prosedur yang baku.

Berkaitan dengan hakikatnya yang demikian, maka sudah seharusnya para birokrat tidak mencari selamat menjelang pilkada. Mereka harus siap mengabdi pada siapa pun kepala daerahnya atau bagaimana pun iklim politik di baliknya. Itu adalah resiko tergabung dalam organisasi yang profesional, hierarkis, dan sentralistis. Mereka harus mengikuti aturan dan prosedur yang baku, bukan mencari selamat dengan ikut dalam politik yang dinamis.

Woodrow Wilson, seorang ilmuwan politik, bahkan mengatakan “administration begin when politics end” atau “administrasi dimulai ketika politik sudah berakhir”. Hal ini memperlihatkan dengan jelas adanya dikotomi antara politik dan birokrasi. Bahwa birokrasi tidak usah ikut campur dalam proses politik, mereka harus bekerja hanya ketika seluruh proses politik itu telah selesai.

Namun melihat fenomena birokrat mencari selamat menjelang pilkada rasanya tidak adil jika hanya dilihat dari sudut pandang birokrat semata. Sebab di satu sisi, timbulnya keinginan para birokrat untuk mencari selamat juga dikarenakan rekrutmen yang bersifat ascriptive dari kepala daerah. Ada dua model rekrutmen birokrasi, yaitu model ascriptive dan model merit system.

Model rekrutmen ascriptive merupakan rekrutmen dengan mendasarkan pada preferensi politik, kelompok kepentingan, agama, suku, atau kesamaan-kesamaan latar belakang lainnya. Sementara model rekrutmen merit system merupakan rekrutmen dengan mendasarkan pada keahlian teknis dan kemampuan profesional. Dari dua model rekrutmen tersebut, sayangnya model rekrutmen ascriptive sepertinya masih lebih sering digunakan di wilayah-wilayah di Nusa Tenggara Barat. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan kelompok-kelompok birokrat mulai mencari selamat ketika pilkada akan berlangsung.

Menjawab permasalahan yang demikian, maka sudah seharusnya calon-calon kepala daerah mulai menerapkan model merit system dalam rekrutmen posisi-posisi birokrasi di pemerintahannya kelak. Hal ini untuk mencegah politisasi pada birokrasi dan terlibatnya kelompok birokrat dalam proses politik. Selain itu, model rekrutmen merit system juga menjadi bagian dari program reformasi birokrasi di Indonesia.

Pasca Orde Baru, serangkaian birokratisasi atau pemfungsian birokrasi dalam sistem politik mulai dilakukan. Dalam sistem politik demokrasi, jenis birokratisasi yang digunakan adalah weberisasi dengan membangun suatu birokrasi yang efisien, profesional, rasional, dan melayani publik. Weberisasi menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi rasional oleh administrasi pemerintahan.

Proses birokratisasi itu diwujudkan dalam program reformasi birokrasi di Indonesia, termasuk daerah-daerah di Nusa Tenggara Barat. Netralitas birokrasi ditekankan dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP No. 12 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menjadi Anggota Partai Politik. Model rekrutmen yang digunakan juga menggunakan model merit system dan adanya wacana ke arah good governance.

Hal ini yang seharusnya disadari oleh calon kepala daerah. Mereka seharusnya tidak mempolitisasi kelompok birokrat. Model rekrutmen yang menitikberatkan pada personalisasi, kelompok kepentingan atau preferensi politik, harus dihentikan. Hal ini untuk mencegah birokrasi yang profesional terlibat dalam politik yang dinamis. Birokrasi merupakan organisasi yang apolitis, kedudukan mereka tidak ditentukan oleh pemilu dan tidak bertanggung jawab terhadap partai politik. Mereka tidak perlu menanggung segala resiko dari proses politik yang dinamis. Terdapat pemisahan wewenang yang jelas antara elit politik formal, dalam hal ini calon kepala daerah, dengan birokrasi. Elit politik formal silahkan menghadapi pemilu dan mengatasi persoalan politik. Namun birokrasi, mereka hanya mengurusi masalah kebijakan. Penguatan prinsip birokrasi sudah seharusnya dilakukan. Hal ini untuk menguatkan peran mereka sebagai pelayan publik yang profesional. Birokrat tidak boleh terlibat dalam kepentingan sempit politik praktis yang justru dapat mengganggu profesionalitasnya dalam melayani masyarakat. Fenomena birokrat yang mencari selamat menjelang pilkada tidak hanya terjadi di daerah-daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, namun juga mungkin di sebagian besar wilayah-wilayah lokal di Indonesia. Untuk itu penguatan peran dari masyarakat sebagai pengawas kinerja pemerintah juga harus ditingkatkan. Kelompok-kelompok intelektual dan organisasi-organisasi sipil terkait harus berada di garis terdepan dalam mengawal tumbuhnya birokrasi yang sehat dan bebas dari campur tangan politik.



Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page