Menelisik Fenomena Baliho Kampanye Calon Legislatif di Kabupaen Dompu
- Izzan Fathurrahman
- Jun 3, 2020
- 5 min read
Tulisan ini merupakan tulisan saya di kolom Opini harian Lombok Post, Sabtu, 10 Agustus 2013. Judul sebenarnya adalah yang tertera di note ini, namun oleh editor Lombok Post diedit menjadi "Baliho Kampanye Calon Legislatif di Dompu."
** Masa libur kuliah menjelang lebaran, penulis gunakan untuk pulang ke kampung halaman di Kabupaten Dompu, NTB. Keluar dari bandar udara Sultan Salahuddin, Bima, penulis melanjutkan perjalanan menuju rumah tercinta. Awalnya perjalanan terasa biasa saja, sampai akhirnya memasuki gapura selamat datang di Kabupaten Dompu, penulis merasa sedikit terkejut. Apa pasalnya? Rupanya ada beberapa baliho kampanye calon legislatif dari Kabupaten Dompu yang terpampang dengan ukuran cukup besar. Memasuki wilayah Kabupaten Dompu, baliho yang terpasang semakin banyak, ibarat jamur di musim hujan. Calon legislatif dari bermacam-macam partai, dengan bermacam-macam pose dan senyuman manis, menghiasi jalan-jalan di Kabupaten Dompu. Namun dari sekian banyak baliho kampanye tersebut, ada satu hal yang mengganjal hati penulis. Berawal dari kegundahan hati, keesokan harinya penulis berjalan-jalan mengamati baliho kampanye di sekitar pusat kota Kabupaten Dompu. Ternyata benar, survey kecil-kecilan tersebut membuktikan kegundahan hati penulis, sekaligus menjadikan kegundahan tersebut menjadi lebih besar. Apa pasal? Rupanya tulisan-tulisan di baliho kampanye yang beraneka macam, yg didesain semenarik mungkin, yang diisi dengan beragam kalimat persuasif untuk memlih si A, si B, atau si C itu lah, yang membuat hati penulis galau. Menarik jika memperhatikan kalimat-kalimat atau jargon di baliho kampanye calon legislatif di Kabupaten Dompu. Dari yang penulis amati, tulisan-tulisan atau jargon tersebut rata-rata berisi kalimat memohon doa restu atau dukungan, menjelaskan bahwa si A atau si B atau si C adalah anak dari bapak atau ibu ini, mengatakan bahwa si A akan bersama-sama bergerak bersama rakyat, mengatakan bahwa si B selama ini terbukti selalu berjuang bersama rakyat, si C mengajak rakyat untuk bersatu dan melakukan perubahan, bahkan ada juga yang mencantumkan nama usaha dari si calon legislatif, misalnya toko ini atau PT itu atau UD apa lah. Apakah itu adalah sesuatu yang salah? Tidak, tentu saja tidak salah. Lalu apa masalahnya? Masalah utama yang mengganjal hati penulis adalah, sangat jarang atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali calon legislatif yang mencantumkan langkah konkrit apa yang kira-kira akan mereka lakukan jika terpilih sebagai wakil rakyat. Misalnya, jika terpilih sebagai wakil rakyat dari dapil Kec. Pekat, saya akan mengusahakan pembangunan jalan yang lebih bagus lagi, atau jika saya terpilih sebagai wakil rakyat dari dapil Kec. Woja, saya akan berusaha menekan pemerintah untuk menuntaskan masalah air bersih. Mengapa tidak ada yang mau dan berani memasang tulisan seperti di atas? Permasalahan kalimat di baliho kampanye yang menurut penulis terkadang tidak nyambung, normatif, atau sekedar jargon kosong dengan mengatasnamakan rakyat bukanlah permasalahan yang hanya terdapat di Kabupaten Dompu, tetapi merupakan permasalahan umum di Indonesia. Sangat disayangkan memang, baliho kampanye yang justru bisa menjadi sarana komunikasi dan sosialisasi yang baik antara wakil dan terwakil atau antara partai dan masyarakat, justru hanya diisi oleh kalimat memohon doa atau dukungan, menjelaskan si A adalah anak dari bapak atau ibu ini, atau hanya berisi kalimat normatif dengan embel-embel rakyat. Saya jadi teringat pada kuliah umum yang diberikan Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) di kampus saya beberapa waktu lalu. Ia menceritakan pengalamannya ketika berada di Afrika Selatan, bagaimana calon legislatif di Afrika Selatan tidak menulis kalimat-kalimat memohon doa restu atau kalimat membosankan dengan mengatasnamakn rakyat. Mereka mencantumkan satu per satu program kerja mereka, apa yang akan mereka usahakan dan lakukan jika terpilih nantinya. Saat itulah saya berpikir, ya! Inilah yang memang seharusnya dilakukan! Mengapa saya berpikiran demikian? Karena salah satu permasalahan hubungan antara wakil dan konstituen di Indonesia adalah adanya ketidakterwakilan dalam perwakilan. Seringkali apa yang dibawa oleh wakil rakyat dalam parlemen tidak selaras dengan permasalahan yang dialami oleh daerah konstituennya. Semantara itu, di satu sisi masyarakat yang ingin menagih janji dari wakilnya di parlemen juga kebingungan, sebab mereka tidak tahu apa saja program kerja yang ditawarkan oleh wakilnya. Sungguh miris, seharusnya inilah hal paling mendasar yang diketahui oleh rakyat dalam memilih wakilnya, hal paling dasar yang seharusnya disosialisasikan oleh calon wakil rakyat kepada konstituennya. Dengan adanya baliho kampanye yang berisi program konkrit dari sang wakil rakyat, menurut saya permasalahan ketidakterwakilan ini setidaknya bisa dikurangi. Masyarakat bisa mengetahui janji-janji dari calon wakilnya dan pada suatu hari dapat menagih janji tersebut apabila belum terpenuhi. Saya rasa baliho yang demikian jauh lebih menarik dan memancing antusiasme masyarakat untuk memilih, ketimbang berisi kalimat yang menjelaskan bahwa si A adalah anak bapak ini atau ibu itu, yang justru akan menunjukkan ketidakmandirian dari si calon tersebut. Baliho kampanye yang berisi program nyata dari calon legislatif juga bisa menjadi sarana sosialiasi dan komunikasi politik yang efektif antara partai dan masyarakat. Selama ini kita juga dihadapi oleh permasalahan tidak jelasnya ideologi yang diusung oleh partai. Melalui baliho kampanye dari wakilnya yang berisi program kerja yang jelas, mungkin setidaknya kita bisa sedikit mengetahui arah dari partai tersebut. Misalnya, partai aliran Islam ingin mengusahakan Perda wanita tidak boleh berpakaian minim, atau partai haluan nasionalis ingin mengadakan gerakan seragam sekolah gratis untuk siswa sekolah dasar. Namun jika baliho kampanye calon legislatif dari semua partai rata-rata hanya memohon doa restu, menjelaskan si A anak si ini, atau berisi kalimat membosankan dengan mengatasnamakan rakyat, tentu saja perbedaan antara partai satu dan lainnya akan menjadi semakin bias. Kembali lagi ke Kabupaten Dompu, permasalahan baliho ini mungkin bagi sebagian orang bukanlah dianggap sebagai suatu masalah yang penting. Masyarakat mungkin lebih menyukai atau tertarik dengan model baliho yang sekarang menjamur. Namun bagi sebagian orang yang menyadari permasalahan ini, baik dari kalangan mahasiswa, birokrat, LSM, atau pun masyarakat umum lainnya, apakah anda akan diam saja melihat permasalahan ini? Bukankah sudah saatnya kita menjadi pemilih yang cerdas? Dan bukankah sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai orang yang mempunyai informasi lebih untuk berbagi informasi kepada masyrakat sekitar yang belum tahu? Toh, hitung-hitung sekalian membangun budaya politik yang baik di Kabupaten tercinta ini. Lebih jauh lagi, jika permasalahan sepele seperti baliho kampanye ini dibiarkan terus berlanjut, maka permasalahan yang dihadapi antara wakil dan terwakil seperti yang saya jabarkan di atas juga akan terus berlarut-larut. Di sinilah, di satu sisi poltical will dari calon legislatif dan partai sangat dibutuhkan dan bisa dinilai dengan jelas. Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo bukankah telah dijabarkan bahwa sudah menjadi fungsi partai politik untuk memberikan pendidikan politik ke masyarakat? Hendaknya partai politik bertanggung jawab dengan fungsi tersebut. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan bertanggung jawab terhadap baliho calon legislatif yang diusungnya agar bisa menjadi sarana sosialisasi dan komunikasi politik yang efektif dan edukatif bagi masyarakat.
Menarik untuk dicermati ke depan, hal ini barulah pada tahap baliho kampanye, saya mengkhawatirkan pada masa kampanye yang sebenarnya yang biasanya sangat meriah. Dari baliho saja mereka sudah terlihat seperti tidak memiliki arah, bagaimana dengan kampanye yang sebenarnya nanti? Apakah hanya akan diisi oleh acara dangdutan, tanpa diimbangi oleh penjabaran visi, misi dan program kerja yang jelas, seperti yang biasa terjadi? Jika yang terjadi demikian, sungguh sangat disayangkan kualitas wakil rakyat dari Kabupaten Dompu yang nantinya akan terpilih. Sebagai seorang pemilih, saya pribadi lebih senang memilih calon wakil saya yang berani menjabarkan program kerja konkritnya untuk kehidupan saya lima tahun mendatang dibanding mereka yang hanya sekedar memohon dukungan dan doa, menjelaskan bahwa ia anak bapak ini atau ibu itu, atau menjual kalimat normatif membosankan dengan embel-embel rakyat. Bagaimana dengan anda? Izzan Fathurrahman Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Comments