top of page

Media dan Capres-Cawapres: Jangan Mau Jadi Orang Bodoh!

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 3, 2020
  • 6 min read

Ini adalah tulisan saya yang dimuat di kolom opini harian Lombok Post tanggal 8 dan 9 Juli 2014 (edisi bersambung). **

Sudah lama tak membuka akun media sosial, sebut saja inisialnya, FB, beberapa minggu lalu penulis memutuskan membuka kembali akun tersebut. Terkejut, begitu mungkin ekspresi penulis ketika pertama kali membuka akun media sosial tersebut. Betapa tidak, linimasa atau bahasa gaul-nya, timeline, FB milik penulis dipenuhi oleh berita-berita mengenai pasangan capres dan cawapres yang akan berlaga di Pemilu Presiden tanggal 9 Juli nanti. Lalu mengapa terkejut jika isinya hanya berita? Bukankah itu merupakan hal yang biasa? Ya, tentu saja, namun yang membuat penulis terkejut sekaligus miris mengelus-elus dada adalah serangkain berita tersebut ternyata kebanyakan berisi pemberitaan negatif terhadap lawan politik pendukung dari masing-masing capres-cawapres. Pemberitaan negatif tersebut berisi serangkain pemberitaan atau tulisan-tulisan dari artikel dan media yang tidak jelas sumbernya dan cenderung mengarah kepada fitnah. Penulis beranggapan bahwa berita-berita yang di-share oleh masing-masing pendukung capres-cawapres hanya bersifat sementara dan tidak akan terlalu parah. Namun sayang, dugaan penulis meleset. Setiap penulis membuka FB, maka berita-berita negatif yang cenderung mengarah kepada fitnah, atau yang dalam istilah kerennya, black campaign, semakin menjadi-jadi dan merajalela. Baiklah, dalam pandangan saya, siapa pun itu, terlepas ia pendukung salah satu pasangan capes-cawapres, pasti akan jengah jika terus-menerus wall­ FB-nya dikotori oleh serangkain fitnah kepada salah satu calon presiden dan wakil presidennya. Bahkan orang paling netral dan apolitis sekalipun tentu akan bersedih, bahkan mungkin marah jika melihat kampanye yang ujung-ujungnya mengumbar keburukan seseorang yang di masa depan kelak mungkin saja jadi pemimpin kita di mata dunia. Dan sejujurnya, itulah yang juga penulis rasakan. Panas hati ini melihat serangkain berita-berita negatif yang mengarah kepada fitnah dari masing-masing pendukung kedua calon. Oleh karena itu, daripada mencak-mencak di media sosial, apalagi di bulan suci Ramadhan, akhirnya penulis mencoba menuangkan pemikiran penulis di kolom opini media yang budiman ini. Media, sejak beberapa abad silam, telah dijelaskan oleh Edmund Burke sebagai “fourth estate” setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam suatu demokrasi yang sehat. Dan agaknya, apa yang dikatakan oleh Burke tersebut benar,  jika kita melihat dari sisi paling normatif dan memposisikan media sebagai suatu alat kelengkapan politik yang netral. Media idealnya bersikap obyektif dan memiliki fungsi pengawas dari berjalannya demokrasi di suatu negara. Ia berperan dalam menyampaikan informasi dua arah, dari pemerintah kepada masyarakat, dan sebaliknya dari masyarakat kepada pemerintah. Media memiliki peran dan kemampuan besar dalam membentuk suatu budaya politik dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat, dimana masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai audience semata. Jika kita melihat sedikit ulasan tentang media di atas, maka perkembangan media sejujurnya dapat dikatakn sebagai suatu hal yang positif dalam demokrasi. Ia akan bisa menjadi anjing penjaga, pilar keempat ketika misalnya ketiga pilar demokrasi atau trias politica tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika dilihat dalam perannya dalam masyarakat, peran media bisa dikatakan positif sebab ia bisa meningkatkan budaya politik partisipan dalam masyarakat dan memposisikan diri sebagai corong informasi dan aspirasi masyarakat. Suatu hal yang penting dalam pemerintahan demokrasi yang mensyaratkan partisipasi aktif dari masyarakat. Namun sayangnya, masalah akan mulai muncul jika media di sini mulai nakal. Akan menjadi suatu masalah ketika media yang memiliki kemampuan hebat, sebagai kekuatan utama membentuk opini publik mulai bermain politik dan bergeser dari kursi netralitasnya. Media dapat menggiring opini publik untuk diarahkan kepada kepentingan kelompok politik tertentu, melakukan framing dalam pemberitaan, dan bukan tidak mungkin ada fakta yang dihilangkan, ditutupi, atau ditambahkan dalam pemberitaan yang ada guna melindungi kepentingan politik kaum tertentu. Agaknya, fenomena, atau lebih tepatnya masalah utama media di atas, kini yang nampak jelas menjelang Pemilu Presiden 9 Juli mendatang. Sebenarnya keberpihakan media sudah terlihat jauh-jauh hari sebelum bergulirnya Pemilu Legislatif 9 April lalu, beberapa media besar nasional mulai menunjukkan keberpihakannya kepada sejumlah partai politik tertentu. Namun agaknya, dalam pandangan saya, keberpihakan media baru mencapai titik esktrimnya pada saat menjelang Pemilu Presiden 9 Juli mendatang. Media-media, mulai dari yang ber-budget tebal sampai yang keuangannya kembang-kempis, baik yang berskala nasional maupun komunitas, baik yang sudah terkenal sampai yang siluman dan tak jelas asalnya, mulai berlomba-lomba menyuarakan dukungannya kepada masing-masing calon presiden dan wakil presiden melalui isi pemberitaan mereka. Kenapa saya katakan mencapai titik ekstrim? Karena saat ini sudah terlihat betul bagaimana kasarnya media-media yang ada, terutama media online, melakukan pemberitaan yang menjelek-jelakkan lawan politik dan melempar isu yang tidak jelas alur logika-nya dibangun darimana. Ada yang mengatakan bahwa media A, B, dan C mendukung pasangan capres-cawapres P. Ada yang mengatakan media D, E, dan F, mendukung pasangan capres-cawapres J. Banyak anggapan-anggapan seperti itu muncul dalam masyarakat, dan tak jarang, anggapan-anggapan tersebut memang benar yang dibuktikan dengan gamblang dari pemberitaan-pemberitaan media yang bersangkutan. Saran saya kepada warga Indonesia, khususnya warga NTB yang tercinta dalam melihat keberpihakan media, jangan mau jadi orang bodoh! Ayolah, masihkan anda percaya pada pemberitaan yang misalnya mengatakan salah satu capres kemarin merupakan antek neoliberal dan sekarang dikatakan antek komunis? Padahal jika anda paham, neoliberal dan komunis itu bagaikan bumi dan langit, jauh sekali bedanya. Bagaimana bisa seseorang yang dituduh antek ekstrimis kanan lalu dituduh ekstrimis kiri dalam waktu singkat, minim bukti dan fakta, serta tidak jelas alur logika yang membangun isu tersebut? Atau masihkan anda percaya pada pemberitaan yang mengatakan bahwa salah seorang capres tidak memiliki istri dan hal ini akan mempengaruhi kemampuannya memimpin suatu negara? Jika anda masih percaya, saya turut prihatin, apalagi jika pemberitaan tersebut ditulis oleh media-media siluman, tidak jelas sumber dan penulisnya, serta dipertanyakan fakta dan alur logika yang dibangun. Jangan bodoh, jangan mau ditipu oleh media dan opini anda dimainkan lalu digiring sesuai kepentingan mereka. Cobalah berpikir cerdas, cari media alternatif dan pemberitaan alternatif mengenai isu yang anda baca. Jika anda membaca isu calon presiden J antek komunis dari media A, maka coba cari alternatif pemberitaan dari media lain yang cenderung lebih netral dan tidak memilik sangkut paut dengan calon presiden P. Demikian juga sebaliknya. Hal ini penting agar pemberitaan yang anda dapat berimbang dan tidak termakan oleh pemberitaan negatif yang menjurus pada rusaknya persatuan bangsa. Tidak ada yang dapat menjamin sejauh mana netralitas atau keberpihakan media dan seberapa lama keberpihakan media terhadap salah satu calon presiden atau partai politik. Misalnya, bagaimana kita lihat pada beberapa waktu lalu salah satu media swasta nasional berpihak pada salah satu partai politik dan mengusung pasangan capres-cawapres dari partai tersebut. Namun ketika partai tersebut tidak mencapai presidential threshold dan tidak dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden, dengan serta merta mudahnya si bakal calon wakil presiden dari partai yang bersangkutan sekaligus si pemilik media nasional mengalihkan dukungannya dari partai dan sang bakal calon presiden tersebut, pindah ke pihak oposisi. Fenomena keberpihakan media dan mudahnya keberpihakan media berganti dalam suatu pemilihan umum bukan fenomena baru, dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Rupert Murdoch misalnya, salah seorang taipan bisnis media yang memiliki ratusan media di seluruh dunia, pada tahun 1972, setelah 23 tahun mendukung Partai Liberal Australia, mengalihkan dukungannya kepada Partai Buruh dan Perdana Menteri George Whitlam. Keberpihakan dan perpindahan haluan Murdoch ini membawa efek drastis, dimana Partai Buruh Australia akhirnya memperoleh kemenangan dengan 50,2% suara. Namun ketika badai krisis ekonomi melanda Australia tahun 1974-1975, perubahan besar mulai terjadi dan saat itulah Murdoch kembali mengubah haluannya kembali mendukung Partai Liberal Australia dan membuat pemberitaan miring tentang Whitlam. Kasus media nasional dan kasus Murdoch di atas mungkin bisa jadi contoh bagaimana sebenarnya tidak ada yang dapat menjamin sejauh mana netralitas atau keberpihakan media dan seberapa lama keberpihakan media terhadap salah satu calon presiden atau partai politik. Oleh karena itu penting bagi kita untuk selalu mencermati isi pemberitaan yang ada, mencari sumber pembanding, dan mengkritisi isu yang dihembuskan. Jangan malas dan jangan mau dibodoh-bodohi oleh media. Sejauh pengamatan saya, pemberitaan negatif media mengenai calon presiden lebih berfokus kepada si calon secara personal. Hal ini mungkin yang bisa kita kritisi, karena dalam pandangan saya, diri si calon secara pribadi bukanlah satu-satunya faktor dominan yang harus dikritisi, tetapi juga orang-orang atau kelompok-kelompok yang mendukungnya di belakang. Politik, bagaimanapun dibangun atas dasar kepentingan-kepentingan yang sama yang bertujuan meraih kekuasaan. Penting bagi anda untuk tidak hanya fokus pada karakteristik pribadi si calon semata, namun juga orang-orang yang ada di belakangnya. Karena bagaimana pun, ketika si calon tersebut naik menjadi presiden, maka orang-orang di belakangnya-lah yang akan mengisi jabatan-jabatan penting seperti menteri dan mereka yang akan menentukan koalisi. Penting bagi anda untuk mencermati kira-kira koalisi seperti apa yang nantinya akan dibangun, sebab hajat hidup anda selama lima tahun mendatang tidak hanya ditentukan oleh sang presiden semata, namun juga oleh proses politik dalam koalisi yang dibangun. Terakhir, sedikit saran saya kepada anda semua saudara se-tanah air, marilah kita mencoba menjadi pemilih yang rasional. Jangan hanya berfokus pada pemberitaan miring media mengenai isu-isu berbau konspirasi yang tidak jelas alur logikanya, tidak jelas sumbernya, tidak jelas datanya, tidak jelas medianya, dan hanya fokus pada personalistik si calon. Jangan hanya berfokus pada latar belakang suku, agama, ras, atau garis keturunan si calon yang sejujurnya tidak akan terlalu berpengaruh signifikan kepada hidup anda lima tahun ke depan. Cobalah buka mata anda untuk melihat visi-misi, rekam jejak dan pengalaman si calon, orang-orang yang ada di belakang mereka, dan program konkret apa yang mereka tawarkan menyangkut kehidupan anda lima tahun ke depan. Itulah yang harusnya anda kritisi, sebab itu yang akan menentukan hajat hidup anda lima tahun ke depan, bukan punya tidaknya istri si calon presiden, atau latar belakang komunis sekaligus neoliberal yang mungkin dimiliki si calon presiden. Izzan Fathurrahman Warga negara Indonesia yang kebetulan sedang belajar ilmu politik



Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page