top of page

Mary Jane dan Satinah

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 3 min read

Selasa, 28 April 2015. Fajar menyingsing menyambut pagi yang sibuk. Ribuan orang melangkahkan kakinya menuju kereta komuter berisi robot. Mengais rezeki seperti anjing, tidak peduli akan politik atau omong kosong lainnya. Sementara itu, beberapa orang berteriak-teriak dalam linimasa media sosial, mengumpat pemerintah yang akan mengeksekusi mati terpidana mati dini hari esok. Beberapa orang berteriak senang, berharap eksekusi mati secepatnya dilakukan. Sementara di belahan dunia lain, di satu daerah kumuh di Provinsi Nueva Ecija, Filipina, sebuah keluarga kecil harap-harap cemas. Beberapa di antaranya menangis pilu, tak rela anggota keluarganya dieksekusi mati di negara orang.


Keluarga itu adalah keluarga Mary Jane Fiesta Veloso, salah satu terpidana mati dari sembilan orang yang divonis meregang nyawa secara paksa. Pro dan kontra bergulir terkait hukuman mati di Indonesia. Ada yang mengatakan itu tidak sesuai dengan Pasal 28 I UUD 1945, ada yang mengatakan itu tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2005, ada yang mengatakan itu sudah sesuai dengan KUHP yang diterapkan di Indonesia. Ada yang menitikberatkan argumennya pada moralitas, ada yang menitikberatkan argumennya pada strategi diplomasi, dan ada pula yang menitikberatkan argumennya pada penegakan hukum. Ya, terserah saja, saya tidak mau ambil pusing, saya tidak terlalu paham soal hukum. Lagipula, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, beserta enam orang lainnya sudah punya urusannya masing-masing dengan Tuhan-nya di alam sana. Bagi saya, sebenarnya mudah saja, di setiap pintu kedatangan bandara internasional di seluruh Indonesia rasanya sudah ada tulisan “Welcome to Indonesia – Death Penalty for Drug Trafficekrs!” Jadi kembali lagi kepada anda, apakah cukup bodoh untuk melanggar peraturan tersebut. Tapi Mary Jane Fiesta Veloso, mari kita buat pengecualian untuk perempuan malang ini..


Mary Jane Fiesta Veloso, adalah korban human trafficking atau perdagangan manusia. Ibu dua orang anak ini berencana bekerja di Malaysia, namun oleh cukongnya, ia disuruh ke Indonesia terlebih dahulu bertemu seseorang untuk kemudian baru dipekerjakan di Malaysia. Namanya juga orang kampung, lugu, putus sekolah, sementara pundi-pundi peso terus berteriak minta dicari, pergilah si Mary Jane ini ke Indonesia berharap mendapat pekerjaan sekembalinya dari sana. Namun sayang, tiba di Indonesia, Mary Jane yang tidak fasih berbahasa Inggris apalagi berbahasa Indonesia ini, ditangkap oleh petugas polisi. Dalam kopernya, ditemukan beberapa kilogram heroin. Mary Jane tentulah tidak tahu apa-apa, karena memang, dia orang kampung yang bodoh dan dibodohi. Ia juga mungkin tidak membaca papan pengumuman hukuman mati bagi pengedar narkoba. Tetapi kalau pun membaca juga, mana ia tahu tas-nya berisi heroin? Karena lagi-lagi, ia hanya orang kampung yang bodoh dan dibodoh-bodohi..


Mary Jane Fiesta Veloso dan Satinah binti Jumaidi Ahmad, pekerja imigran asal Indonesia yang diancam dihukum mati di Arab Saudi, dua orang ini tidak ada bedanya. Dalam pandangan kacamata saya yang semakin hari semakin buram, Mary Jane dan Satinah adalah sama-sama potret pekerja imigran yang tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Jika Satinah didakwa membunuh majikan karena membela diri, demikian juga Mary Jane yang didakwa membawa narkoba karena dijebak si cukong. Mary Jane Fiesta Veloso maupun Satinah binti Jumaidi Ahmad, adalah gambaran orang miskin tidak berpendidikan, bodoh, namun harus gagah berani menyabung nyawa di negeri orang demi lembaran mata uang. Mereka berdua sama saja, dianggap ampas di negeri sendiri, dilihat hanya seujung kuku, namun dengan mulia justru jadi penyambung hidup devisa tanah air. Tidak mendapat tempat di negara sendiri, namun sialnya di negara orang juga tidak ada jaminan. Mary Jane Fiesta Veloso, tidak ada bedanya dengan ribuan korban perdagangan manusia asal Indonesia yang tersebar di Hong Kong, Malaysia, atau negara lainnya.


Kita sebagai orang Indonesia, saya rasa di sini juga harus bersimpati. Mengapa? Jika kalian bisa berteriak-teriak minta recehan dan kepingan koin untuk Satinah, jika seketika nasionalisme semu kalian tiba-tiba bangkit terhadap kasus Satinah, mengapa kalian tidak bisa berteriak hal yang serupa untuk pembebasan Mary Jane? Mary Jane mungkin tidak berbahasa Indonesia, tapi ia berbicara Tagalog yang aneh dan sulit dimengerti itu. Tapi jika kalian lihat, bukankah Mary Jane juga sama dengan Satinah?


Tidak usah kita lihat Mary Jane berasal dari Filipina, namun bukankah ia pekerja yang sama seperti Satinah? TKW kita yang diancam meregang nyawa di tanah rasul. Mary Jane mungkin Satinah-nya orang Fillipina, dan orang Filipina dengan Indonesia, bukankah kita sama-sama manusia? Dan apa yang menimpa Satinah maupun Mary Jane adalah tragedi kemanusiaan yang pilu.. Mary Jane dan keluarganya mungkin bisa sedikit bernapas lega saat ini karena eksekusi matinya ditunda. Namun kita tidak tahu bagaimana nasibnya ke depan. Apakah ia “hoki” seperti Satinah, atau justru hanya sedikit mengulur nafas? Kita tidak tahu. Namun jika Mary Jane adalah Satinah, dan Satinah pada dasarnya sama dengan Mary Jane, apa yang akan anda lakukan untuk Mary Jane (Satinah)?


Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page