Magang di Kantor Gubernur, Generasi Prekariat Baru di Tengah Angka Pengangguran yang Tinggi
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 4 min read
Tulisan ini dimuat di kolom opini harian Lombok Post, 27 Agustus 2019 dengan judul yang sama.
Siang yang dingin dan mendung di Swedia, meski masih terhitung musim panas, namun cuaca di bagian utara Eropa ini sudah mulai sendu. Memaksa saya untuk tetap meringkuk di atas empuknya kasur dalam baluran selimut tebal, menikmati sisa liburan. Namun rasa kantuk yang menyisa perlahan menghilang. Informasi menarik terkait kampung halaman nun jauh di bumi bagian selatan memaksa kelopak mata saya terbelalak di kala masih merontanya ia untuk terpejam.
Melalui aplikasi saling bertukar pesan, layar telepon genggam saya dihiasi informasi terkait program magang di Kantor Gubernur NTB. Menarik, dalam foto yang disebarkan, tertera kalimat “NTB Memanggil Angkatan 3, dicari generasi muda yang mendapatkan pengalaman serta berkontribusi untuk pembangunan daerah dalam bidang: ekonomi/lingkungan/kesehatan/desain grafis”. Heroik, dan terkejutnya, isu-isu yang ditawarkan cukup strategis.
Magang di Kantor Gubernur NTB dan Generasi Prekariat Baru
Tak ada yang aneh dengan magang, kata ini mulai lazim digunakan dan praktiknya lumrah dimana-mana. Kecuali, praktik ini ternyata mulai mendapat banyak kritik sebab memberi sumbangsih pada tumbuhnya generasi prekariat baru. Istilah prekariat sendiri dipopulerkan oleh Guy Standing, seorang professor studi pembangunan dari School of African and Oriental Studies (SOAS), University of London, dan merujuk pada para pekerja yang tidak memiliki kejelasan terkait jaminan kerja, kontrak kerja, jam kerja, upah kerja dan lingkungan kerja. Mereka adalah para pekerja rentan yang dengan mudahnya disingkarkan dan diekspolitasi dengan alasan fleksibilitas. Para pekerja rentan ini termasuk pekerja paruh waktu, pekerja lepas, pekerja kontrak dan juga anak magang.
Anak-anak muda, dengan semangat kerja tinggi dan tuntutan sosial serta finansial untuk segera berpenghasilan atau memiliki status kerja namun sialnya minim kesempatan kerja, terkadang tak punya pilihan lain kecuali terjerumus dalam praktik kerja prekariat, apalagi jika dibalut dengan jargon heroik membangun dan berkontribusi untuk daerah, layaknya program magang di kantor gubernur.
Kritik saya layangkan kepada kantor gubernur dan program magangnya, Berdasarkan informasi yang saya terima, program magang ini hanya berdurasi tiga bulan (sesuai informasi yang tertera dalam poster) dan pekerja magang hanya diganjar makan siang dan upah Rp. 500.000 sebagai pengganti transportasi, tentu angka yang di bawah standar upah minimum Kota Mataram.
Namun lebih jauh, kejelasan status para pekerja magang ini pasca berakhirnya periode magang tak dibeberkan. Pertanyaan paling mendasar saya layangkan, lantas apa visi dari program magang kantor gubernur yang prestisius ini? Apakah untuk mendidik generasi muda menjadi kelas pekerja baru dengan pengalaman minim atau ironinya untuk mendapat tenaga kerja murah dan fleksibel (yang tingkat kompetentsinya terkadang dipertanyakan) dengan baluran pengabdian pada daerah dan bonus pengalaman kerja?
Informasi ini yang minim atau bahkan hilang sama sekali dari selebaran terkait informasi magang di Kantor Gubernur NTB. Tak ada penjelasan bagaimana rencana jangka panjang dari program magang dan para pemuda yang tergabung di dalamnya,
Keterangan dari kawan yang juga berurusan dengan program ini menjelaskan bahwa tentu ada peluang bagi anak magang untuk diangkat menjadi pegawai di kantor gubernur, namun bagaimana mekanisme pengangkatannya? Akuntabilitas proses rekrutmen, kinerja dan sasaran program ini mesti dibeberkan dengan jelas, bersandingan dengan jargon heroik pengabdian yang dijual. Sehingga para kandidat pun berada pada posisi yang setara dan mengetahui dengan jelas capaian-capaian apa yang mesti mereka raih untuk memperoleh status dan jaminan kerja yang jelas.
Perlu dicatat, salah satu kritik keras dari praktik kerja magang adalah ia sarat akan praktik nepotisme dan mengeksklusi indvidu-individu yang terkadang tidak berada pada posisi istimewa.
Angka Pengangguran yang Tinggi
Hal lain yang mengganggu adalah diluncurkannya program magang Kantor Gubernur NTB dengan penuh percaya diri di tengah tingginya angka pengangguran di NTB. Berdasarkan data per Februari 2019, angkat pengangguran di NTB masih 81,29 % dimana penyerapan tenaga kerja untuk lulusan pendidikan tinggi masih berkisar di angka 16,47 %, jauh di bawah lulusan sekolah dasar atau sekolah menengah umum. Kala minimnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang terserap oleh pasar, kantor gubernur justru menciptakan generasi prekariat baru melalui program magang di instansinya.
Mempertimbangkan isu-isu yang ditawarkan pada anak magang, yaitu ekonomi, lingkungan, kesehatan dan desain grafis, tiga isu pertama merupakan isu yang sangat strategis. Jika pemerintah memang membutuhkan bantuan dan masukan di bidang-bidang tersebut, mengapa tidak langsung merekrut tenaga ahli atau konsultan dengan kualifikasi yang mumpuni disertai kontrak serta jaminan kerja yang jelas? Sebab saya yakin ada banyak lulusan perguruan tinggi yang belum terserap pasar di Provinsi NTB yang memenuhi kualifikasi dan layak untuk memenuhi pos-pos tersebut, dibanding menyerahkannya pada anak-anak magang dengan praktik kerja rentan dan kualifikasi yang dipertanyakan.
Solusi
Kembali, magang bukanlah sesuatu yang aneh dan praktiknya lumrah di berbagai sektor, mulai dari privat sampai publik. Saya tak heran jika praktik magang diterapkan di sektor privat atau korporasi sebab sifatnya yang terkadang eksploitatif dan berorientasi keuntungan. Namun ketika sudah masuk di ranah publik dan dicanangkan oleh instansi daerah paling tinggi, maka kita sepatutnya mengkritisi. Sebab di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, sistem magang, terutama di instansi pemerintahan dan legislatif, sudah menuai banyak kecaman. Alih-alih sebagai pionir, pemerintah justru mengambil keuntungan dari posisi rentan anak magang.
Sebagai solusi, saya menawarkan agar program magang dievaluasi kembali dengan memperhatikan aspek akuntabilitas proses rekrutmen, pelaksanaan dan capaian serta visi jangka panjang. Hal ini harus dibeberkan secara umum disamping menjual kalimat heroik pengabdian dan kontribusi pada daerah
Jika memang pemerintah ingin memberikan kesempatan pada tenaga kerja baru, maka kejelasan kontrak pasca magang juga harus dijabarkan. Saran saya, gunakan sistem percobaan selama dua atau tiga bulan dengan indikator yang jelas dan akuntabel, lalu angkat mereka menjadi konsultan atau tenaga ahli tetap dengan kontrak dan jaminan kerja yang jelas. Sebab jangan sampai atas dalih kontribusi dan pengabdian pada daerah, kita menerapkan praktik kerja eksploitatif dan rentan pada generasi muda serta abai pada hak-hak pekerja.

Comments