Kita Sepatutnya Marah Pada Teroris
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 5 min read
Tulisan ini dapat dibaca juga di Qureta https://www.qureta.com/post/kita-sepatutnya-marah-pada-teroris pada tanggal 23 Mei 2018
Sepekan menjelang Hari Kebangkitan Nasional bisa jadi merupakan hari berduka bagi rakyat Indonesia. Minggu pagi yang khidmat bagi umat Kristiani dirusak oleh ledakan bom di tiga gereja di Surabaya. Ledakan tersebut menewaskan 14 warga sipil dan melukai puluhan lainnya.
Ledakan bom tidak berhenti sampai di situ, ia kembali menghentak di Sidoarjo beberapa jam kemudian, disusul ledakan di Mapolrestabes Surabaya keesokan harinya. Belum hilang duka atas bom di Surabaya, tiga hari kemudian publik dikejutkan oleh penyerangan di Mapolda Riau yang menewaskan satu orang polisi.
Nusantara mengutuk dan bertanya-tanya, siapa dalang dari rentetan aksi keji ini? Adalah kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang memiliki hubungan dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), yang didapuk sebagai otak penyerangan. Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok radikal. Mereka juga menjadi dalang kerusuhan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, lima hari sebelum aksi teror bom Surabaya.
Dalam kerusuhan di Mako Brimob, 156 narapida terorisme merebut barang bukti persenjataan di Mako Brimob dan menuntut untuk dipertemukan dengan Aman Abdurrahman, ketua JAD, yang juga ditahan di tempat yang sama. Kerusuhan berlangsung selama lebih dari 24 jam, menewaskan lima orang polisi dan melukai beberapa lainnya, termasuk seorang polisi wanita.
Amarah publik tidak berhenti. Fakta di balik pelaku penyerangan bom di Surabaya mengejutkan khalayak. Berbeda dari aksi-aksi bom sebelumnya, kali ini pelaku mengajak serta anak dan istrinya untuk menjadi pengantin. Dita Oepriyanto misalnya, Ketua JAD Surabaya, ia mengajak istri beserta keempat anaknya yang masih di bawah umur untuk meledakkan diri di tiga gereja di Surabaya. Respon yang diberikan masyarakat meningkat, tidak hanya terkait aksi terorisme, namun juga terkait perlindungan anak, parenting, sampai dengan pendidikan.
Terorisme dan Kontrol Pemerintah
Rangkaian teror yang berlatar ideologi dan kepercayaan tersebut tentu memancing reaksi keras pemerintah.. Kontrol pemerintah mulai ditingkatkan. Internet sebagai moda penyebaran informasi paling praktis tentu jadi sasaran utama. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mulai merazia dan menutup konten-konten di media sosial yang dianggap bermuatan terorisme dan radikalisme.
Tercatat sudah 1.285 konten yang diblokir Kemenkominfo dan tersebar di berbagai platform, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Google Drive, sampai Telegram. Selain itu, Kemenkominfo juga akan berkoordinasi dengan kementerian / lembaga terkait, seperti Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM, Mabes Polri, Badan Intelijen Negara, dan komunitas media sosial untuk memantau pergerakan konten-konten di internet.
Penangkapan terhadap pihak yang kontra argumen dengan pemerintah juga mulai dilakukan. Paling baru adalah ditetapkannya kepala sekolah di Pontianak, Kalimantan Barat, sebagai tersangka. Kepala sekolah ini ditahan setelah ia menuding teror bom di Surabaya sebagai aksi rekayasa pemerintah. Ia dianggap dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan dalam masyarakat.
Pengamanan dari aparat bersenjata juga mulai ditingkatkan. Sepekan pasca teror bom di Surabaya, aparat gabungan TNI-Polri bersenjata lengkap melakukan penjagaan di gereja-gereja di beberapa wilayah di Indonesia. Umat Kristiani tentu yang paling kasihan, mereka hanya hendak beribadah di rumah Tuhannya, di negara sendiri, namun diperlakukan layaknya kaum yang tidak aman.
Reaksi pada angkatan bersenjata terkait tindakan terorisme tidak hanya sebatas peningkatan penjagaan. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, bahkan berencana mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) dari TNI. Koopssusgab merupakan pasukan elit yang dibentuk dari gabungan tiga matra TNI, yaitu Sat-81 Gultor Kopassus dari TNI AD, Detasemen Jalamangkara dari TNI AL, dan Satbravo 90 Kopaskhas dari TNI AU.
Koopssusgab dan Ancaman Masuknya Militer
Presiden Joko Widodo telah membenarkan bahwa saat ini pemerintah tengah dalam proses mengaktifkan kembali Koopssusgab. Terlepas apapun motif dari Presiden Joko Widodo, entah sebagai manuver politik dalam menggalang dukungan angkatan bersenjata guna menanggulangi koalisi rapuh menjelang Pemilu 2019, atau murni demi menjamin keamanan rakyat dari pelaku teror, kita tetap patut waspada.
Terbentuknya Koopssusgab dalam pemberantasan terorisme dapat menjadi jalan masuknya militer dalam ranah politik dan sipil. Samuel E. Finer, dalam bukunya, The Man on Horseback, menjelaskan bahwa intervensi militer dalam perpolitikan nasional dapat terjadi apabila popularitas militer mulai meningkat dan menekan otoritas sipil. Popularitas yang dimaksudkan adalah ketika pemerintahan sipil dianggap tidak efisien, korup, atau memiliki masalah-masalah lainnya.
Moeldoko sendiri menjelaskan bahwa pengaktifan kembali Koopssusgab tidak lain dikarenakan permintan dari Kapolri. Pasukan elit ini akan diperbantukan dalam penanganan terorisme ataupun hal yang bersifat khusus lainnya. Mengenai operasionalisasi dan kerja teknis di lapangan, semua akan dikoordinasikan dengan kepolisian.
Masih belum jelasnya batasan-batasan dan wewenang Koopssusgab dalam pemberantasan terorisme tentu menjadi perhatian. Hal ini diperparah dengan belum adanya payung hukum yang mengatur pengaktifan kembali pasukan elit ini.
Moeldoko mengklaim bahwa Undang-Undang TNI sudah cukup sebagai dasar pengaktifan kembali Koopssusgab. Dalam Undang-Undang TNI, memang diatur bahwa TNI dapat melakukan operasi militer selain perang, salah satunya terorisme. Namun batasan dalam penanganan antara TNI dan Polri, serta wewenang presiden dalam pengaktifan kembali Koopssusgab, tentu perlu diatur dalam satu payung hukum, entah itu Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Pepres).
Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab. Louis W. Goodman dalam buku yang disunting Larry Diamond dan Marc F. Platter, Civil Military Relations and Democracy, menjelaskan bahwa sebagai institusi yang terbesar, memiliki perlengkapan yang terbaik, dan paling teratur di dalam sebagian masyarakat, lembaga militer memiliki kapasitas yang luar biasa untuk merealisasikan kepentingan organisasi mereka jika mereka memang menghendakinya.
Tidak adanya payung hukum dalam pengaktifan kembali pasukan elit ini, tentu mengaburkan sejauh mana batasan TNI dalam mengintervensi pemberantasan terorisme. Lebih jauh lagi, hal ini mengaburkan sejauh mana batasan mereka dalam masuk dan mengintervensi urusan-urusan sipil dan politik dengan dalih pemberantasan terorisme.
Militer Indonesia saat ini merupakan militer profesional, mereka bukanlah militer pretorian yang akan turun mengambil alih kekuasaan di saat keadaan negara sedang kacau. Pun serangan para teroris masih bersifat sporadis dan berskala kecil. Kondisi keamanan negara belum sampai pada tahap rusuh atau perang sipil sehingga perlu diterapkannya daerah operasi militer atau hukum perang (martial law).
Walaupun begitu, kita tetap harus waspada. Perbandingan dengan konteks negara lain memperlihatkan bahwa militer profesional juga tetap dapat melakukan intervensi politik dan intervensi pada urusan sipil ketika mereka diperbantukan.
Srilanka misalnya, militer profesionalnya melakukan intervensi yang merugikan masyarakat sipil dalam proses rekonstruksi dan rekonsiliasi pasca konfilk antara pemerintah Sri Lanka dan pemberontak Macan Tamil (LTTE). Intervensi militer terjadi karena mereka diundang masuk oleh pemerintah sipil Srilanka dengan dalih pemberantasan kelompok separatis.
Kita Sepatutnya Marah Pada Teroris
Tak bisa dipungkiri, pemberantasan terorisme telah menghidupkan kembali benih-benih kontrol dan pengawasan yang kuat dari negara. Belum selesai dengan Undang-Undang ITE dan segala kontroversinya, pemerintah kembali menguatkan cengkeramannya.
Hal ini tentu jauh dari cita-cita reformasi yang mendambakan pemerintahan demokratis dan kebebasan bagi warga negara. Tepat dua puluh tahun reformasi berlalu, dan kini kita perlahan mundur ke arah dua puluh tahun yang lalu. Segala bentuk intervensi pihak militer, kontrol dan pengawasan yang kuat dari negara, harus dihapuskan. Masih belum hilang dari ingatan bagaimana sejarah panjang yang gelap dari pemerintahan Orde Baru.
Kita sepatutnya marah pada teroris, ia satu-satunya justifikasi pemerintah saat ini untuk meningkatkan pengawasan, tentu dengan mengesampingkan perpecahan di masyarakat berlatar identitas yang belum meletup menjadi konflik.
Sebagai warga negara yang terancam dibatasi ruang geraknya, kita juga tak bisa tinggal diam. Segala bentuk pemahaman radikal dan konflik-konflik berbau identitas ini harus segera dihentikan. Masyarakat harus sadar, dengan semakin berlarut-larutnya isu identitas dan paham radikal, mereka menjadi satu-satunya pihak yang dirugikan.
Reformasi masih seumur jagung, negara masih belum lupa akan kapabilitasnya dalam menciptakan kontrol dan pengawasan yang kuat. Mengulang kembali sejarah gelap dalam bentuk yang lebih halus dan wajah yang baru, tentu mereka tidak akan keberatan.

Sumber Gambar: upload.wikimedia.org
Referensi:
Diamond, Larry, dan Marc F. Platter, ed., Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Ed., Trans. Tri Wibowi Budi Santoso, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001, Trans. dari Civil Military Relations and Democracy, 1996
Finer, Samuel E., The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics, New Brunswick: Transaction Publishers, 2002
Hapus 1.285 Akun Medsos, Kominfo Terus Sisir Konten Radikal https://kominfo.go.id/content/detail/13128/hapus-1285-akun-medsos-kominfo-terus-sisir-konten-radikal/0/sorotan_media
Jokowi Akui Koopssusgab TNI diaktifkan Kembali, tapi diturunkan di Saat Genting https://nasional.kompas.com/read/2018/05/18/17441581/jokowi-akui-Koopssusgab-tni-diaktifkan-kembali-tapi-diturunkan-di-saat
Moeldoko: Kapolri Minta Bantuan Koopssusgab TNI, Mainkan… https://nasional.kompas.com/read/2018/05/18/21405941/moeldoko-kapolri-minta-bantuan-Koopssusgab-tni-mainkan
Moeldoko Akan Menemui Panglima TNI Bahas Pembentukan Koopssugab https://nasional.tempo.co/read/1089562/moeldoko-akan-menemui-panglima-tni-bahas-pembentukan-koopssusgab
PNS yang Sebut Bom Surabaya Rekayasa diberhentikan Sementara dari Jabatannya https://regional.kompas.com/read/2018/05/18/04535021/pns-yang-sebut-bom-surabaya-rekayasa-diberhentikan-sementara-dari-jabatannya
Comments