Kebijakan Kontroversi di Kampus FISIP UI: Sebuah Proses Penutupan Ruang Komunikasi, Sebuah Paradoks
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 4 min read
Tulisan ini menjadi tulisan propaganda FISIPBersuara untuk melawan kebijakan aturan Dekan FISIP mengenai jam malam, larangan merokok di kampus, dan tata cara berpakaian pada medio 2015 tengah.
Beberapa bulan lalu, mahasiswa FISIP UI dikejutkan oleh serangkaian kebijakan kontroversi dari Dekanat. Ibarat gelombang demokratisasi, kebijakan-kebijakan tersebut datang berduyun-duyun dalam tempo yang relatif singkat. Dimulai dari kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan dicabutnya colokan di tongkrongan-tongkrongan mahasiswa pada bulan Januari, disusul oleh kebijakan jam malam pada bulan Februari, pergantian koordinator dan rotasi beberapa satpam FISIP dengan anggota marinir pada bulan Mei, dan yang terakhir, diberlakukannya aturan berpakaian dalam lingkungan kampus (yang pada akhirnya dicabut dalam waktu kurang dari 24 jam karena alasan kurangnya kajian dari Dekanat).
Serangkaian kebijakan tersebut sukses membawa perubahan drastis dalam lingkup pergaulan kampus. Mahasiswa yang biasa mengadakan acara kepanitian sampai larut malam, berdiskusi ringan dan mengerjakan tugas, atau nongkrong-nongkrong lucu di kampus, kini hilang dan hampir tak bersisa. Suasana kampus yang biasanya seru, riuh, dan penuh kehidupan, kini tampak sepi dan tidak menarik. Jika gelombang demokratisasi sukses membawa perubahan besar dari kediktatoran Salazar ke pemerintahan demokratis di Portugal, demikian juga FISIP UI. Namun sayangnya, jika Portugal bergerak ke arah maju, FISIP UI ini justru tampak bergerak mundur.
Kebijakan Sepihak yang Tidak Membuka Ruang Dialog
Dalam perspektif teori kritis, sebuah kebijakan tidak dapat hanya dilihat dari aspek positif saja, namun juga aspek negatif yang timbul atas nama rasionalitas tersebut. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan publik hanya dilihat dari persoalan teknis belaka? Sedangkan di balik itu terdapat nilai-nilai yang tidak bisa lepas darinya.
Argumen dari pihak Dekanat dalam penerapan kebijakan KTR, jam malam, dan serangkaian kebijakan kontroversi lainnya bertumpu pada rasionalitas khas penguasa. Argumen yang diangkat menitikberatkan pada ketertiban, keamanan, kenyamanan, dan perspektif keindahan yang diterjemahkan sepihak oleh orang-orang Gedung A. Jika kita tidak melepas kacamata kuda yang dipakai, tentu serangkaian kebijakan dari Dekanat tersebut harus didukung 1001 persen. Namun sayang sekali, saya rasa pihak Dekanat lupa bahwa tempat mereka mendikte dari A sampai Z ini adalah FISIP. F-I-S-I-P.
Jika kita meminjam argumen Jurgen Habermas, sebuah rasionalitas tercipta jika terjadi hubungan komunikasi yang sehat antara individu dalam suatu kelompok masyarakat. Kekuasaan yang dirasionalisasikan menurut Habermas adalah kekuasaan yang berdasarkan diskusi publik yang kritis. Dalam diskusi kritis tersebut, terdapat argumentasi-argumentasi yang melibatkan dua pihak dalam perbincangan. Jika mengacu pada konteks kampus FISIP UI, tentulah kampus ini merupakan suatu kelompok masyarakat. Di dalamnya tidak hanya mahasiswa semata, namun juga ada dosen, pegawai koperasi, satpam, hingga merbot musholla. Demikian juga Dekanat, dalam kampus ini tidak hanya diisi oleh orang-orang Dekanat semata.
Pihak Dekanat mungkin mengklaim diri mereka sebagai penguasa dan memiliki kekuasaan. Tentu saja, siapa yang berani bilang dan membantah kalau Bapak Ari Susilo bukan dekan kita? Sungguh kurang ajar kamu nak. Namun tentu perlu dicermati, kekuasaan dan penguasa seperti apa yang jadi kategori tuan dan puan? Jika memang kekuasaan yang rasional, maka sudah seharusnya menara gading di Gedung A turun ke bawah, mendengar jerit kebingungan satpam akan statusnya pasca dirotasi. Atau bergerak satu langkah lagi, coba dengar suara sumbang mahasiswa akan kebijakan jam malam yang menyengsarakan, dan kebijakan KTR yang mempengaruhi banyak kepala di kampus FISIP UI.
Pihak Dekanat mungkin bisa mengklaim bahwa mereka dapat bergerak dan menetapkan kebijakan sesuai keinginan mereka, namun hehe.. tunggu dulu, ini FISIP. Jangankan para dosen yang tampangnya makin hari makin lusuh karena beban hidup, mahasiswa dari semester satu sampai yang hampir jadi mahasiswa abadi juga tahu bagaimana kami dididik di sini. Dari semenjak menyanyikan lagu Genderang UI ketika PSAK sampai akan menyanyikannya kembali ketika wisuda, kami diajarkan akan paradigma cara berpikir, termasuk mengenai hubungan komunikasi yang setara dan prinsip akan kekuasan. Dari semenjak kami masih maba lucu nan imut-imut, sampai kami jadi maba (mahasiswa abadi) belagu nan amit-amit, kami diajarkan bagaiman bobroknya sistem Suharto yang otoriter. Kini, di hadapan kami, di ruang hidup tempat kami mempelajari itu semua, seluruh sejarah kelam dan sisi buruk obyek pembelajaran kami seperti diulang kembali dengan leluasa.
Kembali lagi kepada teori komunikatif Habermas, sayangnya kondisi tersebut belum tercipta dalam serangkaian rasionalitas menurut pihak Dekanat akhir-akhir ini. Tidak ada pelibatan mahasiswa, satpam, atau individu-individu selain pihak Dekanat dalam serangkaian kebijakan tersebut. Padahal lebih lanjut lagi, teori komunikatif Habermas mengarah pada bentuk pemerintahan demokrasi deliberatif. Pihak dekanat bisa saja mengklaim bahwa proses tersebut tidak diperlukan. Namun jika memang demikian, maka saya turut berduka kepada dosen-dosen filsafat sosial dan pemikiran politik kontemporer, serta mahasiswa-mahasiswa yang menuntut ilmu di kelasnya.
Kebijakan Kontroversi dan Prinsip Keadilan
Mari sejenak kita tinggalkan relasi kuasa dalam melihat kebijakan ini, namun coba melihatnya secara universal atas individu-individu yang berada di ruang hidup FISIP UI. Seorang filsuf politik dan moral, John Rawls, merumuskan teori keadilan (justice) yang berpijak pada fairness. Fairness yang dimaksud adalah adanya suatu kesepakatan yang fair antara semua individu dalam masyarakat yang pada akhirnya mendorong individu-individu tersebut melakukan suatu kerja sama sosial. Untuk melakukan kesepakatan yang fair dan tidak memihak tersebut, maka setiap individu harus berada pada posisi asli (orginal position). Posisi asli ini menekankan pada adanya kesetaraan antara individu di dalamnya, dimana mereka merupakan individu yang sama-sama memiliki hak, bebas, dan rasional.
Jika mengacu pada pemikiran Rawls, maka untuk menciptakan suatu kebijakan yang adil dalam lingkup FISIP UI, harus ada kesepakatan yang fair antara seluruh individu di dalamnya. Individu-individu tersebut termasuk pihak Dekanat, mahasiswa, atau satpam FISIP, yang saya rasa baik ketiganya sama-sama memiliki posisi asli yang setara di sini. Pihak Dekanat, mahasiswa, maupun satpam sama-sama memiliki hak dan kewajiban serta secara rasional keberadaannya melengkapi satu sama lain. Kampus tidak mungkin berjalan jika hanya diisi oleh Dekanat, mahasiswa tidak mungkin memperoleh beragam fasilitas tanpa Dekanat, dan silahkan anda bayangkan sendiri bagaimana jadinya kampus tanpa satpam.
Kondisi tersebut saya rasa sudah cukup untuk menjadi pertimbangan logis akan perlunya pelibatan seluruh elemen kampus dalam suatu proses kebijakan. Namun ironinya, hal tersebut justru tidak diterapkan dalam lingkungan akademik yang paling getol mempelajari prinsip kebebasan dan keadilan ini. Yah jika Dekanat menganggap bahwa mereka benar dan kebenaran tersebut bisa diklaim secara sepihak oleh mereka, mungkin sah-sah saja. Namun sayang sekali, ini bukanlah MIPA atau fakultas rumpun ilmu sebelah. Saya rasa bapak dan ibu lupa minum minyak ikan kod untuk mengingat bahwa fakultas tempat kita berada ini adalah FISIP. - Izzan Fathurrahman.
Bahan Bacaan Rujukan:
Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009
Rawls, John. A Theory of Justice. London: Oxford University Press, 1971

Comments