Ilmu Sosial, Jawaban yang Semakin Terpinggirkan
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 5 min read
Tulisan ini dimuat di Qureta.com dengan judul yang sama https://www.qureta.com/post/ilmu-sosial-jawaban-yang-semakin-terpinggirkan, pada tanggal 19 Mei 2018
Baru-baru ini khalayak ramai dikejutkan oleh daftar perguruan tinggi tujuan luar negeri yang dikeluarkan oleh beasiswa LPDP tahun 2018. Para pemburu beasiswa patut patah hari, kecuali beasiswa afirmasi, beasiswa regular LPDP jauh membatasi kampus luar negeri tujuannya.
Mengutip rilis resmi di situs LPDP, perguruan tinggi tujuan luar negeri beasiswa reguler diambil dari daftar perguruan tinggi berperingkat 20 besar dari daftar tiga pemeringkat internasional (Qaucquarelli Symonds, Times Higher Education, dan Academic Ranking of World University), ditambah dengan sepuluh program studi terbaik.
Menariknya, dari total keseluruhan program studi yang ditawarkan, tidak sampai 13 % di antaranya merupakan program studi rumpun ilmu sosial. Program studi rumpun ilmu sosial ini seperti Development Studies, Social Policy and Administration, serta Sociology. Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan program studi ilmu terapan, seperti Engineering, Environmental Science, Nursing, Pharmacy and Pharmacology, yang mencapai 61 %.
Dalih yang beredar adalah, program studi yang terpilih disesuikan berdasarkan tema-tema prioritas pembangunan dalam Nawacita. Dari tema-tema prioritas pembangunan tersebut, diturunkan kepada bidang studi, lalu diturunkan lagi kepada program-program studi yang dinilai sesuai dan searah dengan tema-tema prioritas pembangunan dalam Nawacita.
Revolusi Mental dan Kondisi Sosial Politik Saat Ini
Sudah empat tahun berlalu semenjak sekitar 260 juta rakyat Indonesia memilih presiden barunya. Joko Widodo, pengusaha mebel asal Kota Solo, Jawa Tengah, mengawali karir politiknya sebagai Walikota Solo tahun 2005, berlanjut sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, sampai akhirnya menduduki kursi puncak pemimpin republik pada tahun 2014.
Karir politiknya yang cepat dan kemunculannya yang tiba-tiba, dianggap sebagai angin segar bagi sebagian kalangan. Ia dinilai sebagai sosok yang baru, masih bersih, dan belum terkontaminasi oleh elit-elit politik lama yang mungkin sudah membuat jengah sebagian kalangan. Ia membawa optimisme baru, terlebih salah satu jargon yang dibawanya berjuluk “Revolusi Mental”.
Revolusi mental sendiri di awal masa kampanyenya, dijelaskan oleh Jokowi seperti yang dikutip Kompas, sebagai warga Indonesia yang berperilaku sesuai dengan karakter orisinal bangsa, seperti santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong-royong. Hal inilah yang menjadi identitas warga negara Indonesia. Lebih jauh lagi, seperti yang dilansir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, revolusi mental juga berarti membangun jiwa bangsa yang merdeka dan bebas untuk meraih kemajuan.
Dalam sembilan Program Prioritas Nawacita, revolusi mental masuk dalam dua program prioritas, yaitu program kedelapan, melakukan revolusi karakter bangsa; dan program kesembilan, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial.
Dari tiga dimensi pembangunan dalam strategi pembangunan nasional 2015-2019, revolusi mental masuk dalam dimensi pembangunan manusia bersama dengan pendidikan, kesehatan, dan perumahan, di luar dua dimensi pembangunan lainnya, yaitu dimensi pembangunan sektor unggulan dan dimensi pemerataan dan kewilayahan.
Namun sudah empat tahun berlalu, revolusi mental sebagai salah satu jargon andalan kampanye Presiden Joko Widodo, kini seperti hilang gaungnya. Ia tertimbun di antara ratusan proyek fisik pembangunan yang dilakukan. Tak jelas bagaimana prioritas nasional ini diturunkan dalam program dan kegiatan di level kementerian. Ia seperti tenggelam dari iklan tol laut yang kini sudah berlabuh di studio XXI terdekat, atau tertinggal ribuan kilometer di belakang pemberitaan jalan trans Papua.
Tak dapat dipungkiri bahwa situasi sosial dan kebhinekaan negara saat ini tidak baik-baik saja. Tanda bahaya persatuan bangsa berbunyi sangat keras dalam wujud tiga bom yang meledak di tiga gereja di Surabaya. Dalam beberapa hari terakhir ini kita dihantui oleh ancaman radikalisasi dan teror dari sekelompok manusia tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama.
Mundur sedikit ke belakang, bau-bau perpecahan mulai tercium dari eskalasi isu identitas. Berawal dari demo bela agama yang berjilid-jilid, hingga yang paling hangat adalah kasus persekusi ibu dan anak oleh segerombolan manusia yang berbeda pandangan politik dengan mereka di acara Car Free Day, Jakarta.
Bola panas pasca pemilu presiden 2014 lalu masih menyisakan bara-bara api kecil sumber konflik horizontal dalam masyarakat. Kemenangan tipis Presiden Joko Widodo, 53,15 % dari lawan politiknya, Prabowo Subianto, tentu menciptakan dua kubu besar yang saling resisten.
Sialnya, belum sempat bara-bara api itu dipadamkan, dihangatkan kembali ia melalui isu identitas dalam Pilkada DKI 2017 lalu. Dunia maya yang tak terkontrol jauh lebih parah, isu identitas sukses memunculkan kubu-kubu yang saling melabel kasar satu sama lain seperti cebong, onta, panasbung, atau panastak.
Ilmu Sosial Sebagai Jawaban
Pemerintah bisa saja menutup mata dan dengan senyum yang dipaksa tenang mengatakan bahwa kita tidak takut dan negara baik-baik saja. Namun kondisi di level bawah boleh jadi berkata berbeda. Saling tuding dan saling serang, satu pihak dipaksa tabah dan menerima, sementara pihak lain sibuk memperbaiki citranya dan mencari pembelaan. Dalam situasi negara yang seperti ini, turunan konkrit dari jargon revolusi mental adalah yang diperlukan.
Jika memang pemerintah masih belum dapat menurunkan konsep besar revolusi mental dalam program konkrit, maka para lulusan ilmu sosial adalah yang dibutuhkan. Sebagai individu yang mempelajari interaksi manusia dan masyarakat, lulusan-lulusan ilmu sosial tentu sangat paham dengan pendekatan yang pas dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan atau menciptakan program deradikalisasi yang kontekstual, sesuai turunan dari revolusi mental itu sendiri.
Bibit-bibit konflik yang muncul tidak dapat diredam dengan aksi sepihak dan terkesan otoriter seperti pemblokiran atau pembubaran. Negara ini punya sejarah gelap akan aksi sepihak pemerintah, sebagian kalangan masih trauma dengan hal itu. Pendekatan sosial yang kontekstual dan menyeluruh diperlukan dalam menyelesaikan permasalahan sosial dan mencegah bibit-bibit konflik di masa mendatang.
Saat ini Presiden Joko Widodo memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam tahapan pertama program pembangunannya. Namun hal itu bukan menjadi justifikasi untuk melupakan permasalahan sosial yang mulai tumbuh dan mengancam. Kita punya cerita yang kelam akan 32 tahun proses pembangunan yang tidak memperhatikan aspek sosial, jangan sampai cerita tersebut terulang kembali dan meletup dalam wujud rangkaian teror dan konflik sosial berlatar identitas.
Beasiswa LPDP dan Investasi Sumber Daya Manusia
Presiden Joko Widodo akan memfokuskan pembangunan sumber daya manusia di tahapan kedua program pembangunannya, setelah pembangunan infrastruktur selesai. Namun kebijakan LPDP sebagai lembaga pengelola dana pendidikan terbesar yang justru memangkas program studi ilmu sosial dari kampus-kampus tujuan luar negeri tujuannya justru menjadi pertanyaan.
Berkaca dari ancaman persatuan bangsa saat ini, dan jika memang dimensi pembangunan manusia yang menjadi prioritas di paruh kedua pembangunan, lalu mengapa program studi rumpun ilmu sosial yang justru bisa menjadi solusi, tidak turut diprioritaskan?
Sri Mulyani dalam sambutannya di acara Welcoming Alumni LPDP 2018 menegaskan bahwa negara telah menggelontorkan sebanyak 30 triliun dana abadi pendidikan dalam bentuk beasiswa. Harga yang sangat mahal dari uang pajak rakyat untuk mengembangkan sumber daya manusia di masa mendatang.
Berdasarkan data LPDP tahun 2017, saat ini ada 10.021 penerima beasiswa LPDP yang tengah menempuh pendidikan, 5.310 alumni, dan 2.236 penerima beasiswa yang belum teken kontrak. Belasan ribu manusia ini diharapkan menjadi solusi dari permasalahan Indonesia di masa mendatang, termasuk permasalahan sosial dan politik.
Posisi ilmu sosial dalam wacana pembangunan nasional memang terlihat terpinggirkan, namun hal tersebut bukan berarti menjadi alasan bagi lulusan-lulusan dan penerima beasiswa di rumpun ilmu sosial untuk tidak berkontribusi bagi negara. Sebaliknya, hal ini harus menjadi tantangan untuk mengubah wacana yang ada bahwa proses pembangunan Indonesia saat ini dan ke depannya justru akan sangat membutuhkan lulusan-lulusan dari rumpun ilmu sosial.
Jika memang saat ini para penerima beasiswa LPDP di rumpun ilmu sosial atau kampus-kampus yang tidak lagi menjadi tujuan beasiswa LPDP tahun 2018 merasa kecewa dengan kebijakan LPDP yang baru, justru saatnya mereka harus unjuk gigi bahwa mereka pun tidak kalah berkontribusi dari ahli-ahli ilmu terapan atau lulusan-lulusan kampus 20 besar dunia.
Kita sudah terlalu lama membaca teori dan konsep ilmu sosial dari para ilmuwan Barat indonesianis, sementara kita tidak dapat mengembangkan teori dan konsep berdasarkan konteks kita sendiri. Kelak mungkin tiba saatnya kita menciptakan konsep-konsep deradikalisasi atau teori-teori terkait penanaman nilai kebangsaan yang sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Seiring dengan proses pembangunan ke depan, para pembuat kebijakan akan membutuhkan banyak kehadiran lulusan-lulusan ilmu sosial. Wacana-wacana mengenai tenaga kerja asing, internasionalisasi perguruan tinggi, dan isu-isu strategis pembangunan lainnya, akan berpotensi memunculkan resistensi sosial dalam masyarakat. Untuk itu, para lulusan ilmu sosial yang mengetahui pendekatan yang pas dalam masyarakat, akan sangat dibutuhkan walau di satu sisi ilmu yang mereka miliki mulai terpinggirkan dari wacana pembangunan nasional.

Sumber Gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Platonyaris.jpg
Referensi:
Daftar Perguruan Tinggi Tujuan LPDP Luar Negeri 2018 https://www.lpdp.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2018/05/Daftar-Perguruan-Tinggi-Tujuan-Luar-Negeri.pdf
Yang Baru di Kebijakan LPDP Tahun 2018 https://www.lpdp.kemenkeu.go.id/yang-baru-di-kebijakan-lpdp-tahun-2018/
Jokowi dan Arti “Revolusi Mental” https://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi.dan.Arti.Revolusi.Mental
Revolusi Mental: Membangun Jiwa Merdeka Menuju Bangsa Besar https://kominfo.go.id/content/detail/5932/revolusi-mental-membangun-jiwa-merdeka-menuju-bangsa-besar/0/artikel_gpr
Presiden Jokowi: Revolusi Mental Bukan Jargon http://setkab.go.id/presiden-jokowi-revolusi-mental-bukan-jargon/
Sri Mulyani Tagih Ide Kreatif dari Penerima Beasiswa LPDP https://bisnis.tempo.co/read/1086747/sri-mulyani-tagih-ide-kreatif-dari-penerima-beasiswa-lpdp?BisnisUtama&campaign=BisnisUtama_Click_1
Materi Sosialisasi LPDP di IAIN Purwokerto, 2017
Materi Tema, Arah Kebijakan, dan Prioritas Pembangunan RKP 2017, Bappenas RI 2017
Comments