Huru-Hara Sebutan Kafir bagi Kaum Non-Muslim. Jika Kaum Muslim disebut Anjing, Mau?
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 3 min read
Beberapa hari terakhir negeri ini dibuat heboh dengan permasalahan tidak substansial terkait keputusan Sidang Komisi Bahtasul Masail Maudluiyyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU), yang menyatakan bahwa kaum non-muslim jangan dipanggil dengan sebutan Kafir. Dasar keputusan para ulama NU ini adalah sebutan Kafir mengandung unsur kekerasan teologis. Sebagai saran, para ulama NU merekomendasikan kata Muwathinun atau warga negara, sehingga posisi kaum non-muslim di negara ini setara dengan kamu muslim sebagai warga negara.
Seperti sudah mengetahui efek panjang dari pengambilan keputusan ini, para ulama NU membuat pernyataan lebih lanjut. Mereka menyatakan, penyebutan ini bukan serta-merta para ulama NU mengganti seluruh penyebutan kata Kafir dalam Al-Qur’an dan Hadist, tetapi penggantian diksi ini hanya digunakan dalam penyebutan kaum non-muslim dalam kehidupan sehari-hari. Misal, dalam memanggil kawan atau tetangga non-muslim.
Tentu, keputusan ini membawa perdebatan panjang, utamanya dari kelompok Islam garis keras atau mereka yang menerjemahkan agama tanpa melihat konteks. Beberapa argumen yang diberikan berdasar pada surah Al-Kafirun, bahwa tidak mungkin mengganti penggunaan kata “Qul yaa ayyuhal-kaafirun” menjadi “Qul yaa ayyuhal-non-muslim” (padahal jelas-jelas para ulama telah membuat pernyataan tambahan bahwa perubahan diksi ini bukan serta-merta merubah penggunaan teks Kafir dalam Al-Qur’an dan Hadist).
Begini, penerapan kata Kafir hendaknya disesuaikan dengan melihat konteks kata tersebut digunakan, dan saya rasa inilah yang dimaksud oleh para ulama NU yang ilmu ijtihad-nya seharusnya sudah tidak perlu diragukan. Dalam konteks kata Kafir, kata tersebut hanya dimengerti atau mungkin hanya terdapat dalam konteks umat Islam. Sementara dalam konteks umat non-muslim, mereka tidak paham dengan sebutan kata Kafir karena sesederhana mereka tidak mempelajari atau tidak mengenal kata tersebut dalam kitab suci dan ajaran agama mereka. Oleh karenanya, dalam kehidupan bernegara yang sialnya bukan hanya berisi kaum muslim, sebagaimana telah diatur dalam konstitutusi bahwa ada lima agama yang diakui secara sah oleh negara, menggunakan diksi yang tidak dipahami oleh seluruh warga negara, terutama jika berkonotasi negatif, sepantasnya tidak dilakukan.
Lebih jauh, para filsuf dan pemikir ilmu sosial telah mempelajari dan menyadari akan bahaya penggunaan bahasa sejak masa lampau. Dalam ilmu sosial, kajian filsafat dan linguistik, salah satu faktor yang mendeterminasi diskursus bahasa adalah kemampuan bahasa untuk mengeksklusi suatu entitas atau kelompok tertentu yang berujung pada penciptaan relasi kuasa antara suatu kelompok dan kelompok lainnya. Bahasa memiliki potensi untuk mendiskriminasi atau lebih jauh, menindas suatu kelompok tertentu. Menyadari bahayanya penggunaan bahasa dalam mengeksklusikan atau secara positif di satu sisi juga dapat mengingklusikan suatu kelompok, maka penggunaan bahasa harus sangat hati-hati.
Kembali dalam konteks Indonesia sebagai negara yang terdiri dari bukan hanya satu entitas, kaum muslim tidak seharusnya memanggil kaum non-muslim menggunakan kata Kafir yang konteksnya hanya dimengerti dan dipahami oleh umat Islam. Merujuk kepada pernyataan lanjutan para ulama NU, bukan berarti umat Islam serta-merta mengganti seluruh kata Kafir tanpa melihat konteks. Penggunaan kata Kafir tentu tetap diperbolehkan, hanya saja pada ruang lingkup umat Islam itu sendiri. Jika dalam forum kajian agama atau yang hanya berisi umat Islam semata, kata tersebut tentu dapat digunakan. Namun ketika sudah masuk ke ruang publik kehidupan bernegara yang tidak hanya berisi umat Islam, dalam hal ini melingkupi interaksi sosial dengan kaum non-muslim, maka kata Kafir tidak semestinya digunakan sebab sifatnya yang mengeksklusi.
Secara lebih lanjut, kata Kafir dalam pemahaman umum juga berkonotasi negatif. Walau dalam artian harfiah, kata Kafir dalam Bahasa Arab berarti "menolak" atau "tidak percaya". Kembali, dalam terjemahan ini, arti kata Kafir sebagai "menolak" atau "tidak percaya" hanya berdasar pada konteks ajaran Islam. Maka penggunaannya dalam ruang publik yang berisi beragam entitas, terutama agama, tentu tidak tepat. Karena dalam ruang publik, kaum muslim bukan entitas tunggal dan mereka tidak dapat serta-merta mengatakan kaum non-muslim sebagai kaum "tidak percaya" atau "menolak" hanya berdasar definisi mereka, sementara bagi kaum non-muslim, mereka justru merasa sebagai kaum yang percaya dan tidak menolak dalam definisi kepercayaan mereka.
Singkatnya, jika dalam Injil, Taurat, Zabur, Weda, Tripitaka, kaum muslim disebut sebagai anjing karena itu adalah konotasi dari kaum yang “tidak percaya” dan “menolak” dalam kitab suci mereka, dan orang-orang non-muslim memanggil anda seorang muslim dengan sebutan demikian, apakah anda mau? Untungnya kaum muslim tidak disebut anjing dalam kitab suci mereka.

Comments