Empire Strikes Back!
- Izzan Fathurrahman
- Jun 4, 2020
- 5 min read
Tulisan ini dimuat di selasar.com http://jurnal.selasar.com/politik/empire-strikes-back dengan judul yang sama pada tanggal 30 November 2016.
**
Beberapa hari lalu saya tertegun membaca berita di sebuah surat kabar yang membicarakan pertemuan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan para pelaku bisnis dan perbankan dalam negeri. Pelik sepertinya negara ini, gara-gara sepotong ayat Al-Qur’an yang dicatut secara sembarangan oleh orang yang dianggap kafir, gegerlah satu republik.
Setelah rangkaian silaturahmi presiden ke kantong-kantong angkatan bersenjata dan jamuan para pentolan partai politik, kini ia harus bertatap muka dengan para pelaku sektor ekonomi. Banyak pihak bertanya, apa gerangan yang terjadi? Mengapa Jokowi yang sudah terlihat kurus itu, dipaksa berkeliling salam-salaman dengan banyak pemangku kepentingan negeri?
Tidak ada yang menduga mungkin dengan lautan manusia yang tumpah pada aksi 4 November kemarin. Patung kuda depan Monas yang biasanya damai berdiri, hari itu pun seperti tegang terkepung oleh serbuan manusia berseragam putih dari berbagai penjuru. Umat Islam menunjukkan kekuatannya, terlepas dari apapun motifnya, mereka bersatu padu menjadi satu kekuatan politik yang besar. Pukulan telak bagi istana yang mungkin juga baru pertama kali melihat aksi sebesar itu pasca Reformasi 1998. Presiden harus meninggalkan istana, yang oleh sebagian orang, dikatakan sebagai mekanisme menghindari lockdown..
Telak, sangat telak. Jika dalam tinju, istana mungkin mendapat pukulan uppercut di dagu yang sempat membuat limbung, namum belum KO. Istana harus bangkit kembali, utang pukulan, harus dibalas pukulan. Jokowi harus bangkit walau ia sempat dihajar oleh kekuatan politik yang besar.
Saya jadi teringat lagu yang sempat tenar di era BBM masih berharga di bawah 2.000 perak seliter. Panggung sandiwara, oleh penyanyi cantik, Nike Astria. “Dunia ini panggung sandiwara... Setiap dari kita dapat satu peranan yang harus dimainkan, ada peran wajar, ada peran berpura-pura. Mengapa kita, bersandiwara?”
Begitulah kira-kira liriknya, dan suka atau tidak suka, sepertinya itu tercermin dalam aksi 4 November lalu. Tanpa mengesampingkan niat tulus mereka yang berjihad fisabilillah, saya sendiri melihat aksi 4 November lalu sebagai panggung sandiwara belaka. Mereka yang tulus berjuang, mungkin mendapat peran yang wajar sebagai pembela keimanan dan ketulusan hati nurani mereka. Namun mereka yang berpura-pura ini yang patut dicermati, dan entah apalah motif dari sandiwara tingkat elit tersebut. Siapa pun sutradaranya, ia sepertinya sudah menyiapkan sekuel dari lakon yang menggegerkan negeri tersebut. Sukses dengan dua sekuelnya, kini ia bersiap meluncurkan sekuel ketiga.
Istana tidak tinggal diam, “we have to strike back!”, begitu mungkin komando dari presiden pada bawahannya. Mulai dari safari politik Jokowi ke barak-barak militer dan kepolisian, pertemuan dengan Prabowo Subianto, silaturahmi dengan para pentolan partai politik negeri, hingga merangkul para pelaku ekonomi. Mari kita telaah satu-persatu.
Safari presiden ke barak-barak militer dan kepolisian, tentu untuk mengunci dukungan angkatan bersenjata agar tetap di belakang presiden. Militer dan kepolisian sebagai ujung tombak negeri, sekaligus organisasi paling terstruktur dan memiliki rantai komando paling kuat dalam masyarakat, harus dipastikan berada di belakang presiden saat situasi politik dan keamanan nasional tidak menentu.
Kunjungan Bapak Prabowo Subianto ke istana, jelas untuk mengunci dukungan oposisi agar tidak membahayakan kedudukan presiden, terserah bagaimana kunjungan politik itu mau dibungkus dan ditampilkan pada publik. Tidak bisa dipungkiri, rivalitas Pemilu 2014 lalu masih tersisa sampai saat ini, dan pengaruh Prabowo Subianto sebagai calon kuat yang menandingi Jokowi, masih berpengaruh. Memegang kepala ular tentu akan lebih baik daripada memegang ekornya.
Rangkaian silaturahmi para pentolan partai politik, adalah saat dimana Jokowi mulai mendefinisikan kembali siapa kawan, siapa lawan. Menarik jika dicermati aksi 4 November kemarin, sebab ada beberapa elit partai politik koalisi presiden yang mungkin dengan piciknya mengambil peran berpura-pura. Presiden harus membersihkan api dalam sekam ini.
Hal lain yang juga menarik perhatian, walaupun Jokowi berasal dari partai PDIP, tetapi ia juga tetap mengundang Ibu Megawati ke istana. Posisi Megawati mungkin setara dengan petinggi-petinggi partai politik lainnya, seperti Setya Novanto atau Romahurmuziy, padahal PDIP merupakan partai pengusung utama presiden.
Masuknya Setya Novanto dalam jajaran pasukan, seperti mengubah kekuatan politik. Sebagian orang mengatakan, masuknya Golkar yang dipanglimai Setya ini untuk meredam pengaruh kuat PDIP dalam pemerintahan Jokowi. Inilah hebatnya Jokowi, kecil-kecil tapi ia seperti cabe rawit, tidak mau didikte.
Kunjungan Romahurmuziy yang patut dicermati. Ia satu-satunya petinggi partai politik Islam yang diundang ke istana. Entah apa isi obrolan presiden dan ia hari itu, tapi sepertinya presiden ingin memastikan kembali loyalitas partai berlambang Ka’bah itu pada pemerintahan. Kebetulan atau tidak, tidak berapa lama setelah pertemuan tersebut, Romahurmuziy seperti didepak dari pucuk pimpinan partai belambang Ka’bah karena gugatan rivalnya dalam konflik intenal PPP, Djan Faridz, dikabulkan oleh PTUN Jakarta. Jika memang runtuhnya kekuasaan Romahurmuziy ini ada kaitannya dengan sikap beberapa elit PPP yang bergabung dengan massa aksi 4 November lalu, bisa jadi ini peringatan dari Presiden Jokowi kepada partai-partai koalisi presiden yang lain, yang elit-elitnya juga terlihat bergabung dengan massa aksi, agar tidak bermain-main dengannya.
Kunjungan presiden ke markas kepolisian dan barak militer sepertinya membuahkan hasil. Kepolisian dan TNI kompak untuk setia di belakang rezim. Kepolisian bahkan mengeluarkan imbauan agar sekuel aksi susulan 2 Desember mendatang tidak dilaksanakan. Setiap aksi yang mengarah ke perbuatan makar, akan ditindak tegas oleh aparat keamanan. Sinyal yang jelas dan kuat bahwa aparat bersenjata sudah sepenuhnya dikunci oleh sang presiden.
Sebagai bagian dari strategi politik, tentu pihak lawan harus dirangkul. Aksi 4 November kemarin merupakan gabungan seluruh umat Islam dari penjuru Nusantara. Aksi ini bahkan melebar dan menimbulkan reaksi beragam mulai dari Aceh sampai Papua. Seperti ular, aksi 4 November kemarin bagaikan kepala yang membawa ekor panjang isu-isu lain di belakangnya, antara lain isu rasialisme dan agama, yang membahayakan persatuan negara. Kelompok Islam adalah pelaku utama dalam aksi heroik tersebut, dan mengundang para petinggi ormas-ormas Islam merupakan langkah utama dalam mencegah timbulnya ketidakpastian dalam masyarakat.
Jamuan politik Presiden Jokowi juga sepertinya sukses dalam hal ini. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, seperti berada di belakang presiden. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun angkat suara, mereka mengatakan bahwa ormas-ormas yang membawa nama MUI dalam sekuel aksi-aksi lalu dan aksi yang akan datang, tidak ada kaitannya dengan MUI. Mereka juga menghimbau agar massa aksi tidak membawa atribut MUI.
Sukses mengunci para pelaku politik, istana juga harus bertindak dengan mengamankan para pelaku ekonomi. Situasi politik dan keamanan yang tidak pasti, tentu menjadi ancaman bagi para pelaku ekonomi. Saat ini Indonesia tengah bekerja keras menggenjot pertumbuhan ekonomi kuartal keempat. Pembangunan infrastruktur dan penanaman modal besar-besaran sedang dikejar. Ketika kondisi ekonomi masih naik-turun dan memerlukan suntikan dana, saat itulah terpaan isu politik ini menghantam. Istana tidak tinggal diam, pertemuan dengan para bankir dan pelaku bisnis pun dilakukan. Mereka harus diyakinkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari situasi politik dan keamanan saat ini.
Siapa pun sutradara di belakang lakon yang menggemparkan republik ini, ia sudah sepatutnya khawatir. Alih-alih menggentarkan istana dengan memainkan isu sepotong ayat Al-Qur’an dan memobilisasi heroisme umat, ia harus gigi jari dengan pertahanan dan serangan balik yang digalang istana.
Rangkaian aksi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi menunjukkan bahwa ia tidak bisa didikte siapa pun. Sang presiden harus rela dirinya dibopong-bopong oleh anggota militer sembari tersenyum, walau hal itu mungkin hal yang canggung bagi seorang pengusaha mebel. Demkian pula ketika ia harus terpaksa menaiki kuda dengan pose kikuk dan senyum masa, hanya demi menghormati sang mantan rival, Prabowo Subianto. Semua itu ia lakukan demi menujukkan bahwa ia tidak merasa terancam dan justru meladeni sandiwara yang disutradarai si pemilik lakon.
Senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya seolah-olah menunjukkan ancaman halus bahwa jangan pernah bermain api dengannya. Ia bukanlah tipe orang yang mau dan dapat didikte siapa pun. Terlepas dari apapun pembelaan istana terhadap politik beranda Jokowi, ini tidak dapat hanya dipandang sebagai proses silaturahmi dan ramah-tamah antar para pemangku kepentingan. Rangkaian aksi yang ditunjukkan sang presiden pasca lakon 4 November lalu mengisyaratkan situasi politik negara memang tidak baik-baik saja, dan istana memang harus melawan balik.
Jika sebagian orang mengatakan bahwa pak presiden terlalu sibuk mengurusi politik tingkat elitnya dibanding hajat hidup masyarakat banyak, saya sendiri kurang sependapat. Sebab seperti yang dijelaskan sebelumnya, lakon 4 November kemarin ibarat kepala ular yang membawa rangkaian ekor isu-isu lain di belakangnya, yang identik dengan bau-bau SARA dan mengancam persatuan bangsa. Mengambil tindakan tegas dan pencegahan terhadap permasalahan ini, justru untuk menghindari perpecahan yang lebih besar dalam kehidupan bermasyarakat ke depannya. Untuk segala alasan itu, yes, empire must strikes back!

Comments