Elit Bertarung, Rakyat Mati di Tengah-Tengah
- Izzan Fathurrahman
- Jun 3, 2020
- 2 min read
Tulisan ini dimuat di selasar.com pada tanggal 12 Mei 2015. Selengkapnya bisa dilihat di https://www.selasar.com/politik/elit-bertarung-rakyat-mati-di-tengahtengah
Belum genap setahun masa pemerintahan presiden yang sekarang bergulir, kondisi perpolitikan di Indonesia sudah mengalami beberapa goncangan. Mulai dari konflik KMP-KIH, UU Pilkada dan Perppu turunannya yang kontroversi, konflik KPK-Polri, serta yang terbaru adalah kisruh PSSI. Jika kita telisik kembali, siapa sebenarnya pemain drama politik yang menjadi gosip hangat se-Indonesia raya ini? Siapa sebenarnya yang paling dirugikan dari serangkaian drama ini? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, dengan tegas akan saya katakan bahwa para elit politik-lah yang menjadi pemainnya. Kita, para penonton, rakyat jelata yang tidak masuk dalam lingkaran kepentingan, adalah korban yang sebenarnya.
Elit, menurut menurut Vilfredo Pareto adalah sekelompok kecil individu-individu yang memiliki kualitas terbaik yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit ini ada yang sifatnya memerintah (governing elite) dan ada yang tidak memerintah (non-governing elite). Baik governing elite maupun non-governing elite, keduanya berasal dari kelas yang sama, yaitu kelas elit yang terpisah dari kita, rakyat jelata yang tidak dapat menjangkau pusat kekuasaan. Menurut Gaetano Mosca, dalam suatu struktur masyarakat, selalu ada kelas yang memerintah dan diperintah. Kelas yang memerintah ini biasanya memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari monopoli kekuasaan yang ada.
Celakanya, fenomena inilah yang terjadi akhir-akhir ini. Konflik elit yang memegang semua fungsi politik dan monopoli kekuasaan, yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan rakyat. Kisruh KMP–KIH misalnya, akibat konflik tersebut rakyat dibuat bingung dan terfragmentasi. Belum lagi akibat konflik ini muncul serangkaian undang-undang dan kebijakan yang bersifat kontroversi, seperti UU Pilkada dan UU MD3. Kisruh KPK-Polri, rakyat Indonesia dibuat bingung dengan siapa sebenarnya the hero dan the villain? Siapa sebenarnya yang benar dan salah? Padahal sejatinya, dua lembaga tersebut merupakan lembaga penegak hukum yang harusnya saling menguatkan satu sama lain dalam mewujudkan keadilan hukum di Indonesia. Terakhir, konflik PSSI dan Kemenpora, sepakbola Indonesia yang merupakan tontotan sejuta umat, harus dihentikan sementara akibat tarik-menarik kekuasaan antar elit. Ratusan pemain tidak jelas nasibnya dan dua ratus juta rakyat Indonesia dikorbankan hasratnya untuk mendukung klub sepakbola masing-masing.
Jika kita lihat lagi, serangkaian konflik elit di atas hanyalah pertarungan elit yang bertopeng pada kepentingan rakyat. Sejatinya, tidak ada rakyat yang terlibat ataupun menginginkan konflik tersebut. Justru sebaliknya, rakyat-lah yang menjadi korban sebenarnya. Ibarat pepatah, gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Elit bertarung, kepentingan dua ratus juta rakyat Indonesia mati di tengah-tengah. Para elit, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, harusnya sadar bahwa mereka merupakan pelayan masyarakat dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Menjawab fenomena konflik elit di atas, maka masyarakat sendiri harus mulai sadar akan kapasitas dan posisinya. Masyarakat jangan lagi terjebak dalam drama konflik para elit. Peran dari kelompok intelektual seperti mahasiswa, akademisi, dan pengamat politik, sangat diharapkan dalam mengkritisi fenomena konflik elit dan menggedor posisi nyaman para elit. Demikian juga media massa yang oleh Edmund Burke dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi. Media massa sebagai salah satu alat penggiring opini publik, dituntut peranannya dalam menggebrak kesadaran kolektif masyarakat akan posisi dan kapasitas mereka. Hal ini penting, sebab menurut Dwaine Marvick, kemampuan elit dalam menguasai tatanan sosial dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sepihak, terlepas itu relevan atau tidak dari kepentingan masyarakat yang lebih luas. Masyarakat harus sadar bahwa dalam sistem pemerintahan yang demokratis, mereka adalah kekuatan politik yang sebenarnya, bukan para elit.

Comments