top of page

Debat Publik Pertama Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat: Miskin Data Sampai Ego K

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 6 min read

Tulisan ini dimuat di Kolom Opini Harian Lombok Post pada hari Jumat, 18 Mei 2018.

Sabtu, 12 Mei 2018, bisa jadi salah satu hari yang penting sekaligus menghibur dalam pesta demokrasi Nusa Tenggara Barat. Bagaimana tidak, sekitar empat juta pasang mata dari Lembar sampai Sape mungkin tengah menaikkan volume televisinya dan menajamkan mata untuk menyaksikan Debat Publik Pertama Calon Gubernur dan Wakil Gubernur  Nusa Tenggara Barat.

Namun sayang, sebagai salah satu penonton dan warga Nusa Tenggara Barat, saya pribadi merasa kecewa dengan debat yang dilangsungkan. Ada beberapa poin penting yang menjadi catatan dan perlu pembahasan lebih lanjut ke depannya.


Miskin Data


Jika dibandingkan dengan debat-debat calon gubernur dan wakil gubernur lain yang telah dilangsungkan dan ditayangkan di televisi nasional, debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat bisa jadi yang paling miskin data. Penyampaian keempat calon gubernur dan wakil gubernur lebih berfokus pada hal-hal normatif, tataran konsep, dan bahkan beberapa sentimen yang terlihat pribadi.

Tidak bermaksud mengesampingkan konsep, segala kebijakan publik tentu harus berakar dari konsep dan teori yang jelas dan telah teruji untuk dapat diterapkan pada masyarakat. Namun sayangnya, operasionalisasi konsep tersebut tidak dapat berjalan jika tidak didukung oleh data yang lengkap. Jika berbicara mengenai pemberdayaan perempuan melalui pembinaan dan pemberian modal tanpa tahu seberapa besar jumlah usaha kecil menengah yang dimotori oleh kelompok perempun, maka mahasiswa jurusan kesejahteraan sosial semester empat juga bisa.

Data juga menjadi tolak ukur sejauh mana pasangan calon gubernur dan wakil gubernur menguasai permasalahan dalam masyarakat dan siap dengan solusi yang relevan. Dengan minimnya data yang disampaikan dalam debat publik, maka kesanggupan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam menyelesaikan permasalahan di Nusa Tenggara Barat patut dipertanyakan. Atau buruk-buruknya, para kandidat justru belum mengetahui dan tidak menjaring secara optimal permasalahan yang ada?


Sejauh pengamatan saya, calon wakil gubernur nomor urut dua sempat percaya diri dengan memaparkan beberapa data yang cukup bagus, namun sayangnya, data yang disampaikan justru kebanyakan data mengenai Kota Mataram. Ini patut menjadi pertanyaan bahwa yang bersangkutan hendak mencalonkan diri sebagai Walikota Mataram atau Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat?


Ego Kedaerahan Namun Miskin Pemahaman Akan Daerah Lain


Satu hal yang cukup membuat saya senyum-senyum sendiri selama menonton debat publik ini adalah melihat keangkuhan dan ego personal masing-masing mantan kepala daerah yang dipertontokan secara gamblang di hadapan ratusan juta rakyat Indonesia.


Suhaili yang sepertinya hanya tahu tentang Lombok Tengah, Mori Hanafi yang sepertinya kehabisan paket data internet sehingga tidak sempat gugling data-data lain kecuali Kota Mataram, dan Ali BD yang begitu bangga akan pencapaiannya selama sepuluh tahun sebagai Bupati Lombok Timur. Hanya pasangan Zul-Rohmi yang mungkin tidak sedikit pongah dalam hal ini karena memang keduanya bukan mantan kepala daerah sehingga lebih suka berputar-putar di tataran konsep.

Tapi yang patut menjadi perhatian keempat kandidat ini adalah, apakah mereka hendak maju menjadi pemimpin Nusa Tenggara Barat atau calon bupati dan walikota di daerah masing-masing? Sebab jika anda sudah maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Barat, kalimat yang digunakan bukan lagi, “itu yang sudah kami terapkan di Lombok Tengah”, atau “Kota Mataram merupakan..”, tanpa menjelaskan bagaimana konsep tersebut akan diterapkan secara kontekstual di Nusa Tenggara Barat.


Saya tidak memandang sebelah mata pengalaman panjang para calon kandidat, tentu itu juga menjadi modal yang berharga. Namun yang kami semua ingin pahami di sini adalah bagaimana operasionalisasi dari pengalaman-pengalaman dan pencapaian para kandidat di daerah masing-masing terhadap konteks Nusa Tenggara Barat yang lebih luas. Kami tidak duduk bersama keluarga di depan televisi untuk menonton dongeng keberhasilan anda memimpin di daerah anda tapi tidak memberikan gambaran yang jelas bagaimana keberhasilan tersebut akan anda terapkan secara kontekstual di Nusa Tenggara Barat.


Isu pemisahan Provinsi Pulau Sumbawa menjadi salah satu isu yang tidak naik dalam debat terbuka kemarin, namun dengan pemikiran sempit dan ego kedaerahan yang dimiliki oleh para kandidat, bukan tidak mungkin isu tersebut akan naik. Para pasangan calon harus paham bahwa yang akan mereka pimpin nantinya adalah orang Sasak, Samawa, Bima, dan Dompu, yang tentu memiliki karakteristik dan permasalahan sosial tersendiri, serta kondisi daerah yang beragam.


Kurangnya pemahaman akan konteks daerah selain yang pernah dipimpinnya bisa jadi menyiratkan kurangnya empati dari pasangan calon untuk memahami, atau lebih jauh lagi, tidak melakukan riset di daerah yang belum pernah dipimpinnya.


Debat Publik, Pentingnya Pengetahuan Akan Personal Branding

Masih teringat di kepala saya bagaimana ekspresi terbahak-bahak ibu saya ketika menonton jawaban-jawaban lucu dari Ali BD atau ekspresi melongo tante saya ketika melihat jawaban Suhaili. Saya dapat maklum jika apa yang ditampilkan oleh para kandidat adalah sifat asli mereka, dan sesungguhnya, saya juga terhibur. Namun akan menjadi tidak lucu jika ini ternyata ditonton oleh dua ratus juta rakyat Indonesia dan bukan sekedar pidato di balai desa semata.

Jika ada yang mengatakan bahwa apa yang ditampilkan justru bagus sebab hal tersebut sesuai dan dipahami oleh rakyat Nusa Tenggara Barat, maka sesungguhnya saya merasa sedih karena rakyat Nusa Tenggara Barat dianalogikan sedemikian. Kita patut bersedih akan pemilih rasional kita yang mungkin kecil dan tidak dianggap.

Saran saya untuk para tim sukses, ada baiknya anda menyewa satu konsultan personal branding untuk kandidat-kandidat anda. Atau jika pasangan yang anda usung tidak sempat makan malam sehingga menjawab pertanyaan seperti orang lemas, belikanlah saja dahulu roti atau makanan siap saji di restoran terdekat. Saya hanya merasa malu ketika melihat calon gubernur dan wakil gubernur saya lebih cocok terlihat seperti anggota kelompok lawak Srimulat ketimbang calon pemimpin empat juta rakyat Nusa Tenggara Barat.


Ketahuilah, ketika anda mendeklarasikan diri sebagai calon pemimpin Nusa Tenggara Barat, anda harus sudah siap akan resiko terbaiknya, menjadi pemenang. Berperilakulah layaknya pemenang dan pemimpin kami. Pun ketika anda sudah melangkahkan kaki dan berdiri di podium debat, anda tidak hanya mewakili pribadi anda, tetapi juga menjadi Duta Nusa Tenggara Barat di ratusan juta pasang mata rakyat Indonesia.

Nusa Tenggara Barat saat ini tengah naik pamornya di mata nasional dan internasional, kehadiran anda di sana menjadi sorotan jutaan pasang mata. Segala tutur kata dan perilaku yang anda tunjukkan di televisi nasional akan menjadi penilaian penting terhadap anda dan Nusa Tenggara Barat. Jika memang tidak niat berdebat, pulanglah, tidur di rumah, pikirkan strategi kampanye yang lain, tidak mengapa.

Tunjukkanlah performa terbaik sebagai wakil kami. Tidak lucu jika di kemudian hari kita melihat anak-anak SMA dari Nusa Tenggara Barat yang cengar-cengir di acara cerdas-cermat televisi hanya karena gubernurnya juga dulu berperilaku demikian ketika debat publik Pilkada.


Nusa Tenggara Barat dan Isu Strategis


Saya mengapresiasi tim materi yang telah mempersiapkan materi dan pertanyaan-pertanyaan debat yang memancing isu-isu strategis di Nusa Tenggara Barat. Ada beberapa isu strategis yang perlu menjadi perhatian kita bersama dan harus dicarikan solusi oleh para calon gubernur dan calon wakil gubernur.


Pertama, pariwisata. Nusa Tenggara Barat tengah menggenjot industri pariwisata sebagai lokomotif ekonomi yang baru, mulai dari label pariwisata halal sampai ditetapkannya Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Pariwisata dalam hal ini mencakup berbagai hal, mulai dari kepemilikan lahan sampai dengan perizinan dan regulasi bagi para investor.

Terima kasih kepada tim materi sudah mulai mengangkat isu oligarki melalui kepemilikan lahan oleh kelompok tertentu dalam video di debat publik. Isu oligarki dalam pariwisata ini patut menjadi perhatian serius, mengingat akan banyak pengembangan potensi-potesi pariwisata ke depannya. Sayangnya, kita belum mendapat jawaban yang memuaskan mengenai hal ini kecuali penyuluhan kepada penduduk agar tidak menjual tanahnya.


Perihal izin dan regulasi bagi investor juga penting, mengingat industri pariwisata merupakan industri padat modal. Tarik-ulur kepentingan antara pemerintah dan sektor swasta harus terus dikawal. Ali BD mengatakan bahwa ia akan melibatkan para tokoh adat dan agama dalam pembahasan pariwisata agar sesuai dengan karakteristik masyarakat Nusa Tenggara Barat. Mori Hanafi mengatakan akan memaksa pihak hotel agar membeli bahan baku dari Nusa Tenggara Barat. Semua gagasan tersebut bagus, setidaknya sudah menunjukkan perhatian para calon terhadap isu ini. Hanya saja, penerapannya ke depan tetap menjadi perhatian.


Kedua, lapangan kerja dan industrialisasi. Lapangan kerja yang sempit bagi lulusan SMK dan minimnya industrialiasi sempat dibahas sekilas dalam debat kemarin. Hanya saja, kembali, kita tidak mendapatkan jawaban yang puas dan hanya sebatas tataran konsep dari para kandidat. Penting bagi para calon untuk menggali lebih dalam mengenai jumlah tenaga kerja terampil yang menganggur di Nusa Tenggara Barat dan bagaimana potensi industrialisasi dalam menyerap tenaga kerja yang menganggur. Data mengenai potensi komoditas unggulan dan seberapa besar kapasistasnya untuk ditunjang dengan industrialisasi juga harus digali.

Terakhir, isu identitas Nusa Tenggara Barat. Kembali, untuk membicarakan masalah ini, para kandidat harus terlebih dahulu melepas baju masing-masing daerahnya dan melihat konsep Nusa Tenggara Barat secara luas. Identitas Nusa Tenggara Barat ini menjadi penting karena inilah yang akan ditunjukkan paling pertama ketika orang membicarakan Nusa Tenggara Barat dan akan sangat berkaitan dengan sektor lain, seperti pariwisata.


Identitas ini haruslah mewakili demografi penduduk Nusa Tenggara Barat yang walaupun mayoritas 96 % muslim, namun dapat mengakomodir identitas-identitas lain yang ada. Isu ini menjadi penting mengingat saat ini Indonesia tengah dihadapi gejolak isu identitas. Pemahaman yang kontekstual dan menyeluruh dari calon pemimpin Nusa Tenggara Barat diperlukan untuk menciptakan provinsi yang aman dan tenteram bagi semua lapisan masyarakat.


Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page