top of page

Cerpen: Sebatang Tubuh Ringkih

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 3, 2020
  • 5 min read

Depok, 7 Januari 2013, hari itu sedikit basah dan dingin, hujan baru saja mengguyur tanah ini. Waktu menunjukkan pukul 17 lebih sedikit, aku memacu sepeda motor menuju tempat yang bakal menyambung hidupku, yang selalu kutuju untuk mengganti suram di wajah menjadi senyum cerah, ya, apalagi kalau bukan Anjungan Tunai Mandiri atau ATM.


Tanggal 7 bisa dibilang tanggal muda, tanggal yang bagi anak kost sepertiku merupakan tanggal-tanggal surga. Itu bukanlah tanpa alasan, sebab nominal-nominal di buku rekening lusuhku akan bertambah, nominal penyambung hidup di tanah orang.


Dengan senyum cerah aku memarkir sepeda motorku di Fakultas Psikologi UI, masuk ke dalam kotak berwarna biru, dan memencet beberapa tombol.


Tak perlu repot mencari uang bung, tinggal pencet, lembaran-lembaran berwarna biru mengalir dengan lancar. Dengan puas kupandangi saldo di layar ATM, aku pun keluar dari kotak uang tersebut dengan senyum bahagia.


Tujuanku satu, Alfamart di sebelah kotak uang itu. Aku pikir tak ada salahnya kuhabiskan sedikit lembaran biru ini untuk membeli makanan yang sebenarnya tidak terlalu aku butuhkan.


Beberapa langkah berjalan, aku berhenti..


Senyum cerah diwajahku berubah menjadi ekspresi kaku.

Aku merasa ada sesuatu yang menancap menghujam jantungku dengan deras, JLEB!


Gerahamku tertarik, tarikan nafasku berat, dan darahku seolah-olah berdesir dengan kuat.

Di hadapanku terduduk sesosok manusia yang sudah sangat tidak muda, pandangannya kosong, rambutnya seputih kain kafan yang mungkin tidak lama lagi akan membungkus tubuhnya, di sampingnya berdiri tegak karung goni yang hampir sama tinggi dengan tubuhnya, karung goni itu berisi plastik-plastik bekas sandaran hidupnya.


Pemulung tua itu, pemulung tua itu mengacaukan perasaanku.


Kupandang lekat-lekat sebatang tubuh ringkih di hadapanku. Pakaiannya hanya selembar  kemeja lusuh dan celana pendek usang, yang bahkan lebih pantas disebut kain lap daripada pakaian.

Aku bahkan ragu kain lusuh itu mampu menangkal udara sore yang dingin ini dari tubuh tuanya.


Ia duduk di trotoar jalanan, merebahkan tubuh ringkihnya, tubuh ringkihnya yang mungkin sudah menjerit meminta pensiun, tak sanggup lagi memikul karung goni yang mungkin bobotnya hampir sama dengan bobot tubuhnya.


Rambut, janggut, dan kumisnya yang beruban seolah-olah menjelaskan tahun demi tahun yang dengan keras ia hadapi. Sesekali ia menggaruk lengannya kemudian melayangkan tatapan tajam dan kosong ke arah depan.


Saat itu aku tertegun, aku tertegun melihat tatapan kosongnya yang tajam. Entah pikiran apa yang bermain-main di kepala pemulung tua itu, aku tak tahu, aku bukanlah Tuhan yang bisa membaca pikiran manusia.


Tapi aku seolah-olah merasa tertampar, tatapan matanya seolah-olah mengguratkan semangat untuk mengarungi hidup, semangat yang lebih besar dibanding kekuatan sebatang tubuh ringkihnya. Semangat yang mampu memikul beban hidup yang mungkin jauh lebih berat dibanding beban karung goni di tubuh ringkihnya.


Langkahku berat, aku berbelok menuju sepeda motorku dan mulai memacunya. Perasaanku tidak karuan, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada ini.


Aku marah!

Aku ingin menangis..

Aku malu..

Aku bingung..

Semuanya bercampur jadi satu dan menjadi gumpalan hebat yang memberatkan dada.


Bangsat!!

Aku marah!


Ya, aku marah pada mereka yang dengan seenaknya duduk di tampuk kepemimpinan!

Mengapa mereka membiarkan manusia setua dia tetap memikul karung goni dan bersusah payah menyambung hidup? Tidak sempat menikmati masa tuanya yang harusnya indah bersama anak cucunya? Sementara mereka ongkang-ongkang kaki merumuskan kebijakan seenak jidat dan memincingkan mata pada kaum-kaum tertindas!


Aku marah pada diriku sendiri! Pada diriku yang tidak bisa melakukan apapun! Yang hanya bisa menatap dan meratapi,


Argghh.. Taikk!!


Aku ingin menangis..


Aku membayangkan ia harus menghabiskan masa tuanya, masa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi dengan masih memikul beban hidup yang berat.


Aku termasuk orang yang memimpikan untuk hidup di masa tua dengan damai, melihat anak cucuku tumbuh besar dan sukses, menimati masa tua yang indah di sebuah rumah kecil yang dikelilingi kebun buah, sungguh damai..


Tapi ketika aku berkaca pada pemulung tua itu, butir-butir air mataku seolah meronta-ronta ingin keluar.


Ya Tuhan.. Mengapa orang setua dia, yang seharusnya menikmati masa damai nan indah dengan anak cucunya, menikmati masa tuanya, menunggu ajalnya yang sebentar lagi tiba dengan bahagia, masih harus tetap bekerja layaknya kami para orang muda? Yang bahkan para orang muda pun banyak yang tidak memiliki semangat bekerja dan mengarungi hidup layaknya pemulung tua itu!


Aku sedih membayangkan bagaimana ia menikmati sisa hidupnya yang sebentar lagi, sementara hidupnya pun masih dipenuhi beban hidup yang tak bisa melepasnya mati dengan tenang.


Aku sedih membayangkan di usia setua itu, ia mungkin menjadi tulang punggung keluarganya, yang hal itulah memaksa ia terus memaksa tubuh ringkihnya memikul karung goni setiap hari.


Bebagai pertanyaan menari-nari di kepalaku.

Bagaimana seandainya Tuhan bersikap acuh dan memvonis dia harus mati besok?

Bagaimana nasib anak cucunya di rumah yang mungkin menunggu ia pulang untuk dapat menikmati sesuap nasi?

Apakah ia sempat menikmati kesenangan dunia yang bersifat fana ini, yang bagi sebagian orang merupakan kesenangan yang membutakan, sementara di usia seuzur ini ia masih harus memaksakan tubuh ringkihnya bekerja keras memikul beban hidup?

Kapan ia sempat menikmati masa tuanya yang damai? Dan yang paling menyayat hati, aku membayangkan dan bertanya, bagaimana seandainya pemulung tua itu adalah orang tuaku sendiri?

Atau aku sendiri di masa depan? Apa yang aku pikirkan? Apa yang harus aku lakukan?


Aku malu pada diriku sendiri.

Aku selama ini begitu dimanjakan oleh kesenangan dunia, oleh keadaan di sekelilingku yang serba berkecukupan.


Lihatlah sebatang tubuh ringkih itu, untuk mencari selembar rupiah, ia harus bersusah payah, mengembara dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain.

Yang dimana tempat sampah itu baunya mungkin sangat busuk dan penuh akan sarang kuman dan penyakit. Tempat dan bau yang seharusnya tidak harus akrab dengan tubuh ringkih itu.

Ia seharusnya pantas mendapat tempat yang lebih layak!


Hasil yang ia dapat juga belum tentu seberapa, bekerja dari pagi sampai petang, memikul beban berat dan berjalan jauh, paling-paling hanya untuk selembar sepuluh ribuan.


Ya Tuhan, sungguh tidak adil..


Sepuluh ribuan bagiku dan orang-orang disekelilingku terkadang bagaikan lembaran tak berarti, dengan mudahnya dihamburkan.

Sementara bagi pemulung tua itu, selembar sepuluh ribuan merupakan penyambung nyawa ia dan keluarganya yang menunggu penuh harap di rumah.

Sepuluh ribuan yang jadi bahan bakar pengepul asap dapur mereka untuk sesuap nasi.


Coba kau berkaca pada dirimu. Aku pun berkaca pada diriku sendiri.

Uang?

Bah, tinggal pencet beberapa tombol, dan lembaran-lembaran yang jumlahnya lebih besar dari sepuluh ribuan mengalir dengan deras.


Tak perlu bersusah payah untuk memikul karung goni, berkelana dari tempat sampah satu ke tempat sampah lainnya, dan mengakrabkan diri dengan bau busuk yang menyengat. Dan bahkan dengan segala ketercukupanmu dan kepraktisanmu, terkadang kau merasa tidak puas dan merengek manja, berharap akan sesuatu yang lebih dan mewah.


Ya Tuhan.. Kau seharusnya merasa malu!


Satu pesan untuk diriku, dan mungkin untukmu juga.

Ingatlah, ketika kau sedang merasa di atas, maka menunduklah ke bawah untuk menyadari bahwa masih ada orang-orang disekelilingmu yang ternyata jauh lebih tidak beruntung dibanding kau.


Sudah sepantasnya kau belajar bersyukur atas apa yang kau dapat, karena apa yang engkau dapat mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang tak bisa mereka dapatkan.


Semua yang aku tulis disini sebenarnya masih sangat jauh untuk mewakili perasaanku yang sebenarnya ketika menghadapi realita di atas. Karena menurutku, perasaan manusia sedalam-dalamnya tidak akan mampu diwakili oleh tulisan atau kata-kata.


Tulisan mungkin hanya mampu menyiratkan sedikit perasaan-perasaan manusia.

Perasaannya yang terdalam?

Tak ada yang bisa mewakilkan, itu hanya akan jadi milik sang pemilik perasaan.


Depok, 07 Januari 2013



Comentários


Post: Blog2_Post
bottom of page