top of page

Cerpen: Hilang

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 4 min read

Pemuda itu melangkah cepat. Jalan agak menanjak di hadapannya ditempuh dengan setengah berlari. Kemeja harumnya mulai basah oleh keringat. Hiruk-pikuk manusia di gang sempit yang dilaluinya tiap hari itu mulai terasa. Entah apa saja yang mereka kerjakan, ia tak terlalu peduli. Peluhnya semakin meluap kala ia menapaki tangga jembatan penyeberangan di hadapannya. Tiba, mengantri ia di peron stasiun dengan puluhan penumpang lain.

Belum hilang peluh di dahinya, ia harus berdesakan dengan ratusan penumpang lain di gerbong. Hampir tak bisa ia masuk, sekuat tenaga didorongnya badannya agar setidaknya bisa nyangkut di tengah tumpukan manusia. Berhasil, walau tangannya sempat bergetar menahan beban manusia yang luar biasa. Gerbong itu pengap, ia tak bisa bergerak, tapi ia bersyukur berdiri di bawah kipas angin. Peluhnya yang membanjir mulai terasa dingin disiram oleh angin di atas kepalanya.


Tiba di stasiun tujuan, segera ia melangkah gontai menuju pintu keluar. Kali itu ia kembali disuguhi pemandangan barbar kejamnya kehidupan manusia kereta. Seorang kakek tampak marah-marah dan menendang seorang bapak paruh baya dari atas kereta. Sepertinya ia merasa kesal karena terdorong-dorong oleh para penumpang yang hendak keluar. “Apa lo?!! Sini lo, maju!!” teriaknya sembari terus mengayun-ayunkan kakinya dari pinggir pintu kereta. Badannya masih tegap untuk ukuran pria beruban, ekspresinya bercampur antara marah dan melas. Bapak paruh baya itu sempat meladeni, namun dilerai oleh beberapa penumpang yang peduli. Telunjuk kanannya diarahkan ke arah kakek tua itu, sambil diiringi kalimat-kalimat provokatif dan cemoohan dari beberapa penumpang kereta. “Tampol aja, tampol!” “udah tua masih aja berantem”.


Sudah biasa, kembali pemuda itu tak terlalu peduli. Pernah ia menyaksikan yang lebih parah. Pikirannya fokus pada bagaimana segera sampai di kantornya dan menembus kemacetan di depan. Ojek pesanananya sudah menunggu dan kembali ia bertarung di jalan, disemprot berbagai rupa dan bau asap kendaraan bermotor, di bawah terik matahari yang merangkak menuju siang.

Gedung megah itu selalu tampak sama. Menawarkan impian bagi siapa pun yang melihatnya dari luar. Tak berubah sedikit pun, semenjak pertama kali pemuda itu melihat dan memimpikan dirinya bekerja di sana, sampai kini ia benar-benar menjadi bagian di dalamnya.


Cepat ia melewati beberapa lapis pemeriksaan sembari tersenyum seperlunya kepada beberapa penjaga keamanan. Bergabung bersama dengan beberapa pekerja lain, lift itu bergerak ke lantai 16. Kakinya dilangkahkan ke ruang kerjanya. Baru ia hendak duduk, sontak udara dingin menyergap menusuk punggungnya, Kembali, kemeja basahnya terasa dingin bereaksi dengan suhu ruangan belasan derajat.


Pagi itu berlangsung tak cukup baik. Ia membalas beberapa email dan melanjutkan pekerjaannya yang belum kunjung selesai. Rekan kerjanya kurang kooperatif, mereka tak bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat waktu yang ditetapkan. Alhasil pekerjaan yang seharusnya dapat diselesaikan kemarin, mundur sampai saat ini. Menjelang makan siang, direkturnya bertanya tentang perkembangan pekerjaan. Ia sebagai penanggung jawab tak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Tinggallah kalimat-kalimat tegas dan muka masam bos ekspatriat itu yang dilayangkan ke pemuda di hadapannya.

Perutnya lapar dan kepalanya pening. Pemuda itu beranjak dari lantai 16. Tujuannya adalah deretan warung sederhana di belakang kantornya. Berjalan ia menyusuri jalan di bawah terik matahari pukul 12 siang. Tak mau pusing, sembarang ia masuk ke salah satu deretan warung tegal.


Deretan warung itu sebenarnya agak kumuh, lokasinya berada di lingkungan kampus. Beberapa kawannya memilih makan di restoran lobby kantor atau menyeberang ke mall sebelah. Ia tak demikian, tak masuk akal menurutnya menghabiskan pengeluaran setiap hari untuk makan di tempat seperti itu. Dipesannya menu makanan sederhana dan es teh manis. Kipas angin kecil di warung itu tetap tak bisa membohongi kontrasnya suhu di luar dan suhu di ruang kerjanya.


Asyik ia menikmati santap siangnya, tiba-tiba tergangggu oleh suara bising di luar warung. “Pengamen-pengamen berisik”, ringisnya. Belum hilang gusarnya, kemeja birunya ditarik-tarik oleh seorang bocah usia TK, menyodorkan plastik bekas bungkus permen. Pemuda itu lapar, diangkatnya tangan kirinya sebagai tanda “tak ada uang”. Bocah itu pergi.


Makanannya habis, ia menyerput es teh manis di hadapannya. Cukup segar. Matanya mulai dilayangkan ke sekeliling warung dan tiba-tiba ia tertegun. Bocah pengamen tadi, tampak mengantri membeli makanan di etalase warung. Tiba gilirannya, bibir mungilnya mulai berucap, “nasi pakai ayam.” Mbak-mbak penjaga warung hanya tersenyum, dituangkannya nasi ke atas kertas cokelat untuk anak itu. “Satu atau setengah?”, ujarnya sembari tersenyum.


“Catu, pakai ayam”, diulang lagi pesanannya oleh bocah TK itu. Segera dicomot sebongkah paha atas ayam goreng dari etalase warung oleh mbak penjaga. “Jangan pegang-pegang! Ini sudah diambilkan ayamnya”, ujar mbak itu memperingatkan. Orang-orang yang mengantri membeli makanan tertawa. Takut mungkin ia kalau makanannya jadi bercampur kuman jika dipegang oleh tangan kotor bocah itu. Bocah itu mengaitkan kedua tangannya di belakang punggungnya, polos mendengar perintah si mbak penjaga warung.


“Ini uangnya”, ujar bocah itu ceria kala pesanannya sudah jadi. Matanya berbinar. Khas ucapan dan raut wajah anak TK. Mbak penjaga warteg tertawa kecil, diberikannya kembalian anak itu dan diterima dengan senyum oleh bocah pengamen.


Pemuda itu diam, memperhatikan langkah anak kecil itu keluar warung. Ia menyadari seperti ada yang tak normal, jalannya bengkok atau mungkin memang seperti itu, entahlah. Tapi satu hal yang tak ia ragukan, senyuman gembira bocah itu kala menerima bungkusan nasi dengan ayam goreng. Lebih seksama ia memperhatikan, tampak bocah itu berambut awut-awutan, memakai kaos hitam yang lebih besar dari ukuran badannya, dan tak beralas kaki. Sejenak ia mendengar bocah itu bersenandung gembira kala meninggalkan warung nasi, orang-orang yang mengantri tertawa kecil.


Beranjak ia dari tempat duduk, dilunasinya apa yang sudah dihabiskannya. Entah mengapa pandangannya menjadi semakin jernih, panas terik siang itu tak mengganggu dirinya. Geliat masyarakat di sudut gedung-gedung megah itu seperti tampak seksama. Diperhatikannya dua orang mahasiswi tertawa ceria sembari mengantri cilor pesanannya. Penjual telur gulung dan cilok bersenda gurau sembari tetap sibuk melayani antrian pembeli. Beberapa pekerja bangunan proyek gedung-gedung megah di seberang tampak asyik melingkar sembari menyeruput kopi hitam. Abang-abang ojek online duduk bergerombol dan menikmati segarnya bakso Malang.


Gedung kantornya tampak megah, ia tersenyum lebar ke penjaga yang setia berdiri dengan metal detector-nya. Pria berambut cepak itu tersenyum balik sembari mengangguk, menampakkan garis-garis halus di ujung matanya. Kalimat-kalimat tegas dan raut wajah masam bosnya telah menguap entah kemana. Ia merasa ada satu titik kecil di dadanya yang berkobar dan berdegup kencang, menyisakan satu kalimat berbisik, “aku bisa menyelesaikan semuanya hari ini!”




Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page