top of page

Cerpen: Ramadhan

  • Writer: Izzan Fathurrahman
    Izzan Fathurrahman
  • Jun 4, 2020
  • 4 min read

“Brumm.. Brumm..!”, begitu raung mesin berkapasitas 1.800 cc milik om-om parlente di depan.


Dua knalpot gaharnya sibuk mengeluarkan uap panas.

Di sebelahnya, di kiri-kanan ku, kondisi tersebut tidak jauh berbeda. Belasan sepeda motor meraung dengan tidak sabar. Siap merangsek menerobos lampu merah yang tak kunjung berubah warna.


Aku tidak peduli, biasa saja.

Kondisi ini sudah akrab di kehidupanku sehari-hari

Mungkin mereka pekerja rendahan. Yang harus pulang malam, sudah tak sabar ingin melompat ke atas kasur atau menceburkan diri ke dalam bak mandi.

Sungguh jahanam bos-bos yang menyuruh lembur di bulan suci.


Tapi kali ini pandanganku sedikit terusik.


Di bawah pancang lampu lalu lintas yang memancarkan timer dengan teratur, dua anak kecil tampak tertawa riang.


Satu berkaos lusuh. Ada karakter power ranger di bajunya, namun kini tampak pudar. Persis sama ketika menonton acara tv dengan antena yang bergoyang-goyang. Celana kainnya hitam, tidak beralas kaki.


Satu lagi berbaju koko. Warna putih, namun kini mulai kecoklatan. Celana kainnya ¾, warna hitam, dengan sepasang sendal jepit oranye di jari-jari kaki kotornya. Sebilah karung menggantung di pundak bocah itu. Sumber mata uang sehari-hari. Kopiah haji putih yang lusuh melingkar pas di kepalanya. Satu-satunya aksesoris yang mungkin paling berharga di tubuhnya.


Ini bulan ramadhan, sudah memasuki sepuluh malam terakhir.


Pikiranku melayang sejenak ke masa-masa kecil ketika aku menikmati momen-momen bulan turunnya Al-Qur’an. Jam segini, tepat setelah pulang tarawih, aku biasanya sedang tadarusan di masjid.


Tidak tadarus sebenarnya, hanya membaca dua-tiga ‘ain ayat-ayat Al-Qur’an. Sisanya? Tentu makan kawan!


Ada banyak kue-kue tradisional yang disiapkan panitia masjid bagi mereka yang tadarus. Anak kecil sepertiku tentu lebih tertarik menikmati sebungkus lemper ayam atau dua potong lupis dibanding membaca huruf-huruf keriting.


Aku tidak sendiri, biasanya ada Rian kawanku.


Ia berambut keriting, serupa huruf-huruf hijaiyah. Wajahnya lonjong, dengan mata sedikit sayu. Sekilas tampak seperti orang Arab, namun dengan kulit yang lebih cokelat.


Aku biasanya menghabiskan waktu sepulang tarawih bersama dia. Membaca dua-tiga patah ayat Al-Qur’an, lalu menghabiskan satu nampan jajanan tradisional. Terkadang apabila ada jamaah yang berbaik hati, satu bungkus nasi kotak bisa kami bawa pulang.


Zaman dulu nasi kotak bukanlah berlauk telur pindang dan sayur buncis seperti sekarang. Terlalu pelit. Kami biasanya membawa pulang nasi dengan lauk sepotong ayam, perkedel kentang, sayur buncis, beberapa potong semur daging, sebuah pisang, dan kerupuk udang.


Rian anak yatim, ayahnya sudah meninggal beberapa bulan lalu. Ia tinggal bersama ibunya. Terkadang om nya yang bertugas sebagai penjaga kantor datang menemani. Jika kami menghabiskan jajanan masjid, tak lupa ia membungkus dua-tiga potong makanan untuk ibunya. Tidak, tidak membungkus, tapi di-buntelkan di depan kaos lusuhnya.


Jika kami mendapat jatah nasi kotak, kami akan berkong-kalingkong. Nasi kotakku akan ku sembuyikan di belakang rak Al-Qur’an, sementara Rian dan aku akan ikut mengantri kembali. Nasi kotak kami yang lebih akan diberikan pada ibu Rian yang menunggu di rumah.


Ia, maksudku Rian, sama sekali tidak terlihat sedih. Ia sama seperti anak-anak lain dan aku, menganggap ramadhan sebagai bulan penuh berkah. Bulan dimana kami bisa makan jajanan kampung sepuasnya dan mendapat nasi kotak gratis.


Puas menghabiskan makanan, kami biasanya akan berjalan pulang bersama. Namun langkahku dan dia harus terpisah di pertigaan dekat masjid. Rian akan berjalan lurus, sementara aku belok kiri.


Jika belum terlalu larut, aku biasanya akan lanjut bermain petasan dengan kawan-kawan komplekku. Jajanan masjid hasil colenganku akan ku bagi bersama. Waktu terhenti ketika ibu kami memanggil untuk tidur agar tidak telat makan sahur.


**


Timer berwarna merah tersebut semakin bergerak ke nominal yang lebih kecil. Seolah-olah mengingatkan tidak ada yang abadi di dunia ini.


Aku kembali melirik anak-anak kecil tersebut. Jumlahnya kini telah bertambah menjadi tiga orang. Satu anak berbadan lebih kecil rupanya telah datang bergabung. Ia berkaos abu-abu, bercelana jeans lusuh, dengan rambut seperti sabut kelapa kecoklatan.


Mereka tampak asyik bermain-main di zebra cross depan motor garang om-om parlente. Tidak takut dilindas oleh besi pabrikan Amerika tersebut.


Sesekali berkejaran, tawa mereka lepas seiring satu kaki menapak tanah.


Malam ini memasuki sepuluh hari terakhir ramadhan, malam yang katanya seribu bulan, tempat para malaikat akan turun ke bumi dan mendengar doa-doa manusia.


Aku membayangkan, apakah malaikat juga akan turun malam ini? Membagikan nasi kotak kepada tiga bocah jalanan ini?


Ku taksir umur mereka sekitar sembilan sampai enam tahun. Si bocah berkopiah haji, ia terlihat paling tua. Umurnya mungkin sembilan tahun. Temannya yang berkaos power ranger, tampak sebaya. Yah jika tidak sembilan, mungkin delapan tahun. Sementara bocah berambut sabut kelapa, ia paling kecil. Mungkin enam atau tujuh tahun.


Akankah malaikat turun dan membagikan nasi kotak kepada tiga bocah ini?

Yah, sama seperti ramadhan yang aku dan Rian maknai bersama.

Ramadhan ala anak kecil sembilan tahun. Tempat kami bisa menikmati makanan gratis, bersuka cita menikmati jajanan-jajanan tradisional dan nasi kotak dari masjid.


Namun bayang-bayang tersebut tampak buram. Wajah-wajah pekerja kantoran nelangsa ini sama sekali tidak menunjukkan kebaikan.


Om-om parlente dengan motor mahalnya malah dengan kasar menarik gas dalam-dalam, menyuruh tiga penggadai cilik ini untuk menyingkir dari jalanan.


Ketiga penggadai cilik tersebut tampak terkejut. Lampu padahal masih berwarna merah.

Sejekap tawa riangnya berubah menjadi ekspresi kaku dan membisu.

Mereka kini sudah di pinggir jalan kembali. Terdiam, menatap kosong lautan kendaraan di depan.


Sekilas dapat ku lihat sosok asli bocah-bocah ini. Potret anak-anak yang harusnya sekarang sibuk sekolah, bukan siang-malam malah menggadai umur untuk satu-dua lembar uang seribuan.


Ah manusia, terkadang kita memang serakah..

Ingin rasanya ku tegur om-om parlente di depan, tetapi ku tahu itu akan memancing keributan di tengah jalanan yang sudah cukup ribut.


Aku terdiam, menatap mantap. Lampu sudah hijau. Perlahan ku tarik gas di tangan kanan, memacu motorku pelan meninggalkan tiga bocah malang tersebut.


Sepeda motorku memang tidak sehebat milik om-om parlente, hanya pabrikan jepang yang sudah usang. Harganya juga tidak seberapa, namun aku bangga karena membelinya dari hasil menabung sendiri. Halal.

Tapi walaupun aku tidak bergelimang harta untuk membeli motor berkapasitas mesin besar, aku tahu aku bisa menjadi lebih kaya dari mereka yang mengendarai Mercy sekalipun.


Tujuanku warung makan sederhana di depan.


Tiga porsi ayam goreng rasanya sudah cukup untuk mengembalikan senyum lepas di wajah tiga bocah cilik tadi. Yah, ini sepuluh malam terakhir ramadhan, biarlah tiga anak itu merasakan bagaimana aku memaknai bulan ramadhan dahulu. Ketika bersama-sama menikmati nasi kotak gratis, tertawa riang dengan Rian. Anggap saja Allah kali ini ingin mengutus malaikat dalam wujud tak bersayap.


Depok, 22.54 WIB 17 Ramadhan 1436 H

Izzan Fathurrahman

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page