Cerpen: Mirror
- Izzan Fathurrahman
- Jun 3, 2020
- 6 min read
“Monee, mai ara pu, weha ja ni’u dori ru’u aji mu ke”, teriak seorang tua dalam bahasa Dompu.
Tak lama kemudian tampak dua orang bocah berlari-lari kecil menghampiri pohon kelapa di dekat orang tua tersebut. Seorang anak tengah bersiap-siap memanjat, namun baru menginjakkan satu kakinya di batang pohon, ia berhenti.
“Ko’o, weha ja pu cila ta kompe salaja re”, ujar anak tersebut.
Bocah yang satu lagi segera berlari ke arah sebuah bale di bawah pohon, diambilnya sebilah parang permintaan sang kakak. Setelah mendapatkan apa yang ia butuhkan, anak lelaki yang dipanggil Mone itu pun bak monyet gunung segera memanjat pohon kelapa di hadapannya.
Tak ada keraguan dalam langkah kaki kecilnya. Ruas demi ruas pohon kelapa yang kokoh tersebut ia pijaki.
“Sett!” Dua sabetan, empat buah kelapa langsung tumbang. Satu persatu dilemparkannya buah tersebut kepada adiknya yang menunggu di bawah.
Dua bocah tersebut adalah Mone dan Ko’o.
Perawakan keduanya kurus, agak hitam, dan berambut keriting.
Mone merupakan sang kakak, sementara Ko’o adalah adiknya.
Usia keduanya tak beda jauh. Mone berumur tiga belas tahun, sedangkan Ko’o sebelas tahun.
Normalnya, Mone sekarang sudah duduk di bangku SMP, namun karena kurang pahamnya akan pendidikan, ia sampai saat ini masih duduk di bangku SD, sama seperti adiknya.
Mone segera meluncur dari atas pohon kelapa, kali ini gerakannya jauh lebih lincah daripada saat naik.
Bak Jackie Chan dalam film laga, hanya dalam hitungan detik, Mone meluncur dari pohon kelapa setinggi empat meter tersebut. Segera ia dan adiknya berlari menuju orang tua yang menyuruh mereka mengambil kelapa.
“Tak! Tak!”, bunyi buah kelapa yang ditebas dengan parang.
Tangan keriput itu tampak cekatan dan gagah saat mengayunkan parang ke empat buah kelapa yang malang
Ia adalah Ama Dole, penunggu sekaligus petani garap di kebun jagungku. Usianya kira-kira sudah kepala enam, namun fisiknya nampak masih kokoh. Bersama dengan istrinya, Ina Sau, ia sehari-hari merawat jagung-jagung di kebunku. Mone dan Ko’o adalah cucu dua pasangan renta ini.
“Ake ta, santabe aji”, ujar Ama Dole kepada ayahku.
Empat buah kelapa segar nampak di depan mata. Kuambil satu buah dan langsung kuteguk setengah isi airnya. Segar sekali rasanya kelapa yang diminum langsung dari pohon, apalagi di tengah teriknya matahari pukul dua siang.
Sembari menikmati kelapa muda, aku melayangkan mata ke arah dua hektar kebun jagung di hadapanku.
Sungguh damai rasanya, kebun jagung itu sangat hijau, sebulan dua bulan lagi mungkin akan panen. Satu pohon ada dua bonggol jagung, panen besar tampaknya. Bersebelahan dengan kebun jagungku ada sawah milik pamanku seluas tiga hektar, di belakangnya ada tambak ikan bandeng yang cukup luas.
Pandanganku terus melayang ke segala sudut, alangkah damainya tinggal di sini. Sehari-hari melihat pemandangan hijau. Walau cuaca cukup terik, namun angin sepoi-sepoi membelai-belai manja memberi kesegaran.
Aku melihat sosok Ama Dole dan Ina Sau yang tetap terlihat bahagia dalam kondisi serba seadanya di usia senja mereka. Di sudut jalan, aku melihat Mone dan Ko’o tengah berlarian mengejar sebuah ban bekas yang didorong menggunakan sebatang kayu. Tak ada raut lelah di wajah mereka. Ko’o tampak bahagia, tertawa saat ban tersebut membentur buntut seekor sapi yang tengah berada di pinggir jalan.
Aku tertegun, membayangkan kehidupan warga desa yang sangat tradisional dan majemuk sungguh asyik. Segalannya tidak diukur dengan materi, prinsip hidup komunitarian benar-benar diterapkan.
Kau haus? Ambillah kelapa di pohon itu.
Engkau lapar? Ama Dole siap mengeruk buah kelapa untukmu. Jika tidak, Ina Sau bersedia merebuskan beberapa batang jagung untukmu.
Berapa pun uang yang diberikan ayahku, tampak diterima dengan ikhlas dan bahagia oleh Ama Dole, walaupun itu hanya selembar sepuluh ribuan, yang terkadang tak ada harganya bagi orang kota.
Pandangan di desa sungguh paradoks dengan kehidupan kota.
Hampir tiga tahun menetap di ibukota membuatku terkadang berpikir uang adalah segalanya. Hidup di kota, segalanya diukur dengan materi.
No money? Get lost buddy!
Jangankan makan, hendak kencing pun kau harus bayar. Bayangkan dengan hidup di desa, mau buang air tinggal numpang di rumah penduduk. Tak perlu mengeluarkan lembaran rupiah, cukup kau bayar dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Mau mandi? Air sungai yang jernih siap meraba kulitmu, dan tentu saja, gratis!
Membayangkan warga desa yang damai dengan kondisi seadanya terkadang membuatku tak habis pikir.
Khukhu..
Aku tertawa dalam hati.
Aku teringat beberapa bulan lalu kunjunganku ke gedung DPR RI.
Saat itu aku dan teman-temanku tengah mengadakan audiensi dengan tim perumus Rancangan Undang-Undang Desa di gedung simbol suara rakyat.
Seorang anggota dewan tampak berapi-api menjelaskan pentingnya Undang-Undang Desa bagi masyarakat desa. Rancangan undang-undang itu sudah beberapa kali masuk ruang sidang namun tak kunjung disahkan. Anggarannya? Hehe jangan ditanya, cukup untuk membeli satu unit mobil mercy yang paling baru.
Alangkah lucunya..
Aku berpikir, apakah orang-orang seperti Ama Dole dan Ina Sau ini akan ambil pusing dengan Undang-Undang Desa?
Akankah Undang-Undang Desa mampu mentransformasi ban bekas milik Mone dan Ko’o menjadi dua unit mobil tamiya lengkap dengan baterai alkaline?
Apakah anggota dewan yang berteriak dengan berapi-api di ruang rapat tersebut sadar demi kepentingan siapa mereka berteriak?
Atau apakah Ama Dole dan Ina Sau ini peduli dengan bermilyar-milyar uang yang telah dihamburkan untuk, ehm.. membahas masa depan mereka dan warga desa lainnya?
Hehe sepertinya tidak, menurutku.
Inilah yang terkadang menjadi arogansi kita, kaum intelektual.
Terkadang, kita merumuskan suatu hal tanpa mungkin pernah terjun langsung ke dalam hal tersebut.
Tak usah jauh-jauh ke anggota dewan di Senayan, aku dan teman-temanku di kampus pun terkadang demikian. Saat berdiskusi mengenai pembangunan atau kemiskinan, kita mungkin seenaknya mengatakan gusur atau cabut subsidi. Namun pernahkah kita merasakan atau melihat langsung kehidupan mereka yang rumahnya hendak kita gusur atau hendak kita cabut subsidinya?
Aku bukanlah seorang sosialis, bukan juga seorang liberal.
Aku tidak terlalu suka pada ideologi.
Aku hanya berusaha melihatnya dari sisi seorang manusia. Bukankah hakikat kita hidup adalah menjadi manusia dan menjadikan orang lain manusia?
Hal tersebut sama juga dengan mereka yang menu duh bahwa masyarakat desa bodoh, tidak peduli pada kemajuan bangsa, ada pemilu kok golput?
Namun apakah mereka sadar bahwa warga desa tersebut memiliki alasan mengapa mereka golput? Apakah mereka sadar akan kurangnya informasi yang mereka dapat?
Apakah mereka sadar akan kurangnya media bagi mereka untuk mencari tahu informasi?
Hal tersebut juga serupa dengan mereka yang bukan militer atau polisi, namun terkadang berteriak-teriak bahwa kita harus perang. “Indonesia harus siap perang demi menunjukkan kedaulatan!”.
Hehe..
Siapa dirimu kawan?
Pernahkah kau mengalungkan granat dan memikul senapan?
Pernahkah kau jadi prajurit di garis depan?
Melihat temanmu tewas dengan usus terburai dan merasakan mortir meledak tepat disampingmu, yang mengubah kaki temanmu yang kokoh menjadi serpihan daging tak berbentuk?
Aku terkadang ingin tertawa melihat orang-orang sok tau seperti ini, temasuk menertawakan diriku yang juga terkadang demikian.
Pikiran-pikiran tersebut cukup lama menari di kepalaku.
Sayup-sayup aku mendengar suara orang mengaji di surau.
Sudah pukul tiga rupanya, sebentar lagi ashar.
Aku melayangkan pandangan ke satu sudut, tampak Mone dan Ko’o tengah menimba air di sumur milik pamanku, mereka hendak mandi rupanya.
Tampak Ko’o telanjang bulat dan berusaha menarik turun celan milik kakaknya. Mone bereaksi, ditepisnya tangan adiknya dan disiramnya Ko’o dengan seembar penuh air.
Ko’o nampak terkejut, namun sedetik kemudian dua bersaudara tersebut tampak tertawa bersama. Aku tersenyum, pertanyaan di kepalaku tadi muncul kembali.
Pembuat kebijakakan tersebut, yang berusaha mengatur hidup Mone dan Ko’o dengan selembar kertas, apakah mereka pernah menimba air layaknya kedua bocah ini?
Orang-orang yang merumuskan Undang-Undang Desa, apakah mereka pernah menjemur gabah bersama-sama dengan Ama Dole-Ama Dole atau Ina Sau-Ina Sau lainnya?
Aku hanya bertanya, tidak bermaksud berburuk sangka kepada para wakil rakyat dan pemegang kekuasaan.
Mungkin saja mereka pernah menimba air, menjemur gabah, atau memberi pupuk pada jagung.
Mungkin, ya, mungkin.
Hanya saja, aku terkadang merindukan sosok pemimpin yang mau mencari tahu dengan turun langsung, berkecimpung dalam kehidupan rakyatnya sebelum merumuskan kebijakan. Bukan dengan mengutus tim ahli atau konsultan.
“Kenapa melamun? Ayo siap-siap pulang, sebentar lagi mau hujan”, celetukan ibu cukup membuyarkan lamunanku.
Benar saja, panas yang terik dari tadi ternyata pertanda akan turun hujan.
Ku lihat awan hitam bergerak dengan cepat dari arah gunung di selatan.
Bakal hujan besar pikirku.
Aku pun segera turun dari rumah panggung setinggi dua meter.
Rumah panggung yang lebih mirip dikatakan gubuk dibanding sebuah rumah.
Itulah tempat Ama Dole bersama istri dan dua cucunya melepas lelah setiap hari.
Ayahku berpamitan kepada Ama Dole dan Ina Sau. Aku tersenyum kepada dua orang renta tersebut, mereka pun membalas senyumanku. Tulus, tidak seperti senyum kepura-puraan yang biasa kujumpai di kota.
Perlahan aku melangkahkan kaki ke mobil.
Rintik-rintik hujan mulai turun.
Pertanyaan-pertanyaan kecil mulai berlari di pikiranku.
Namun kali ini, pertanyaan tersebut tertuju padaku.
Apa yang bisa kulakukan?
Apa yang bisa diharapkan dariku?
Sejenak aku terdiam di belakang kemudi. Namun perlahan, aku mulai menginjakkan pedal gas seraya tersenyum kecil.
“Aku harus belajar, ya, aku harus belajar. Kelak, aku akan kembali lagi ke sini, membangun tanah ini, dan mengubah ban bekas menjadi mobil tamiya milik Mone-Mone dan Ko’o-Ko’o lainnya”.
Mobil melaju pelan, rintik hujan yang damai membawa aroma petrichor yang segar, sedamai kehidupan Ama Dole dan keluarganya, sesegar pikiranku detik ini.
Depok, 21 Januari 2014
Izzan Fathurrahman
Glosarium bahasa Dompu :
Monee, mai ara pu, weha ja ni’u dori ru’u aji mu ke : Monee, ke sini cepat, tolong ambilkan kelapa muda untuk aji mu ini.
Ko’o, weha ja pu cila ta kompe salaja re : Ko’o, tolong ambilkan parang di samping selajar/bale itu.
Ake ta, santabe aji : Ini, silahkan aji (dalam bentuk yang sangat sopan).
Mone : Panggilan untuk anak laki-laki
Ko’o : Panggilan untuk anak laki-laki, namun biasanya untuk yang masih kecil (semacam Buyung dalam bahasa Jawa)
Ama : Bapak
Ina : Ibu
Aji : Panggilan untuk orang yang dituakan, biasanya yang sudah berhaji.

Opmerkingen