Cerpen: "Kau"
- Izzan Fathurrahman
- Jun 3, 2020
- 4 min read
“Plekk..”, suara buku putih itu terkatup. Di sampulnya tertulis kalimat dengan huruf merah monotype corsiva, “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, kumpulan cerpen Umar Kayam.”
Ku angkat tubuhku dari kasur tipis berwarna kuning tersebut. Meraih sweater merahku, mengenakan celana kargo ¾, aku berjalan keluar dari bilik sempit tersebut. Tidak ada salahnya aku sedikit menikmati malam, berjalan menghirup angin segar setelah lebih dari seharian ini aku menghabiskan waktu di bilik sempit tersebut. Aku melangkah menuruni anak tangga, berlanjut menyusuri gang sempit.
Pemandangan sehari-hari, sudah akrab sepertinya.
Di pinggir jalan, satu-dua tikus berlari kecil.
Di warung seberang, tampak kulihat sepasang muda-mudi duduk di satu meja, sama-sama bertopang dagu, tampak berbicara serius. Mungkin memikirkan masa depan hubungan mereka pasca malam ini. Terus ku geser langkahku.
Kali ini, tak berapa jauh, sekitar sepuluh meter, ku lihat beberapa gadis berdiri bergerombol.
Tampangnya menor, riasan anak-anak bourjouis, kemeja transparan tipis yang sekilas menampakkan siluet tubuh-tubuh matang tersebut di bawah remang-remang lampu jalan.
Aku tak terlalu memperhatikan yang mereka bicarakan, menghirup bau parfum dari tubuh. Berjalan lima langkah, bau parfum khas wanita tersebut berganti dengan bau bawang yang ditumis di atas minyak panas.
Tampak warung nasi goreng semi permanen.
Pemiliknya dengan celemek usang, tampak tersenyum sumringah, tak bosan dengan bau anyir yang menyapanya tiap detik. Menikmati bangunan baru jadinya mungkin, sebab beberapa minggu lalu, bangunan semi permanen ini hanyalah kebun kumuh yang dipasangi tenda seadanya. Terus berjalan, pemandangan tetap sama. De javu setiap malam.
Kini beberapa langkah lagi kaki ku sudah tiba di bibir gang sempit.
Suara klakson mobil, walau di jam segini, masih cukup memekakkan telinga. Beberapa supir angkot mengantuk malas menunggu penumpang yang kian malam kian sepi. Lampu-lampu kendaraan tampak berseliweran cepat dari sudut pandang sempit bibir gang ini. Kali ini aku resmi tiba di bibir gang.
Perlahan ku menyusuri jalan arteri kota menyedihkan ini.
Entah mengapa, perasaanku seperti merasa segar.
Aku mencoba menikmati angin malam.
Lampu-lampu jalan, neon-neon papan reklame, mobil-mobil yang berpacu cepat, aroma bumbu kacang dari ketoprak pinggir jalan, semuanya aku nikmati.
Sejenak aku tersenyum sembari melangkah. Simpul, tidak menampakkan gigi. Tanganku terus ku sembunyikan di balik saku sweater tebalku. Warung dim sum itu tinggal beberapa langkah lagi. Aku bisa melihat lampion merah dengan tulisan kanji Jepang tergantung di pinggir rombongnya.
Dalam beberapa langkah ke depan perasaanku seperti merasa sepi.
Aku tahu warung dim sum itu hanya tinggal beberapa meter, namun jalan mencapainya, seperi perjalanan yang berat.
Entahlah, aku merasa seperti orang yang sepi di tengah hingar-bingar jalan arteri kota ini di malam hari.
Apartemenmu tinggal beberapa langkah lagi. Bisa ku lihat bangunannya menjulang tinggi di banding bangunan-bangunan lain. Sejenak perasaan sepiku hilang. Pandanganku terlempar pada lesehan pinggir jalan yang bertulisan “Sego Pedes Suroboyo, Juancuk”. Hmm.. mungkin sesekali aku harus mencoba pikirku. “Masih ada?” Dua pemuda tanggung itu menoleh padaku. Segera satu orang menjepitkan rokoknya di teralis ban rombong reot itu. Terlalu sayang untuk dibuang mungkin. “Masih”, jawabnya, tersenyum sumringah kepadaku. “Saya pesan satu porsi, dicampur saja. Bungkus.” Segera tangan kasar pemuda keriting itu dengan terampil memainkan sumpit. Empat dim sum dengan komposisi berbeda kini telah ada di hadapanku. Aku kembali berjalan. Kini apartemenmu sudah ada di depan mataku. Bisa kulihat gerbangnya, satu mazda putih keluar dari halamannya. Aku berbelok, bukan ke dalam gerbang apartemenmu, namun ke gang sempit di sampingnya.
Pemandangan kini mulai kontras.
Suara-suara mesin mobil yang serakah kini mulai redup. Orang-orang yang sibuk dikejar waktu kini mulai sepi. Suara “krikk.. krik..” jangkrik sayup terdengar dari rumah kosong di sampingku. Perasaan sepi tiba-tiba muncul kembali. Terus ku susuri gang sempit itu.
Kini apartemenmu tampak jelas menjulang megah di sampingku.
Kemewahannya tak dapat disembunyikan di balik gang sampit menyedihkan tempat langkahku berpijak.
Situasi kontras tersebut, seperti memperjelas situasi antara kau dan aku.
Kita dekat kan hei, namun, oh.. tunggu, kita sebenarnya jauh.
Sungguh jauh mungkin.
Seperti usaha yang susah bagiku untuk menembus pagar besi apartemenmu, walapun sebenarnya, aku tepat berada di depannya. Tepat berada di depan pagar besi apartemenmu. Aku terus melangkah. Dan hei, sepertinya aku mengenal sosok itu. “Mas Willy?” tanyaku. “Eh Van”, ujarnya datar, nyaris tanpa ekspresi. “Dari mana mas?”, tanyaku berbasa-basi. Walaupun pertanyaan itu sebenarnya sungguh bodoh, bahkan mungkin Mas Willy enggan menjawabnya. Segenggam plastik berisi styrofoam di tangannya sudah jelas menjawab bahwa dia habis membeli makanan. “Beli makan. Jalan santai saja, cari angin”, ujarnya sedikit tersenyum.
Kalimat pertama dapat kutebak. Namun kalimat kedua seperti menyentak jantungku. “Mbak Meta tidak masak?”, tanyaku, tetap dengan basa-basi busuk. “Tidak, sejak punya anak kecil jadi jarang masak.” “Oh, aku duluan mas”.
Walau sebenarnya, pernyataan ini agak konyol, karena aku dan Mas Willy sebenarnya tinggal di bangunan yang sama.
Aku sebenarnya bisa saja berjalan berbarengan dengannya. Tapi aku seperti dapat membaca pikirannya.
Siapa yang ingin berlama-lama berada dalam situasi palsu tersebut? Melakukan basa-basi busuk yang buang-buang waktu.
Aku tahu ia ingin menikmati waktu sendirinya, meluruskan beberapa bagian pikirannya yang semrawut.
Sesungguhnya aku dan Mas Willy berada dalam posisi yang sama. Aku bukan tidak menghormatinya dengan pamit duluan, namun aku hanya ingin memberi penghargaan kepada kesendirian yang ia inginkan. Dan tentu saja, kesendirian yang aku juga rasakan saat ini. Kini aku telah berada di dalam bilik ini kembali. Masih sama, tidak berubah.
Maksudku, perasaanku.
Angin segar sepertinya justru membawa pikiranku jadi lebih jernih untuk melayang-layang.
Ku lirik kembali rangakian cerpen Umar Kayam di meja belajarku
Sejenak ku melangkah ke beranda bilik. Dari tempat ini, dapat ku lihat langit cerah tanpa bintang, hanya rembulan dengan cahaya redupnya menerangi. Sejenak ku toleh ke arah apartemenmu.
Dari tempat ini, dapat kulihat dengan jelas apartemenmu menjulang dengan angkuhnya.
Sejenak pikiranku melayang pada cerpen “Bawuk” Umar Kayam.
Salah satu kalimatnya berkata, bagian apakah dari tubuh kita yang kuasa memerintah bagian-bagian perasaan kita?
Kini aku tersadar, langkah kakiku sedari tadi, pandangan mataku yang menyapu keramaian, bau-bau parfum itu, tentu tidak dapat menutupi kekosongan dalam perasaanku.
Tentu saja, karena kekosongan itu hanya dapat diisi oleh "kau". Izzan Fathurrahman Depok, 23:46 WIB 03 Oktober 2014

Comments