Cerpen: Intersection
- Izzan Fathurrahman
- Jun 3, 2020
- 7 min read
“Turunkan harga BBM!"
“Biaya hidup selangit, BBM naik, perahu kami tidak bisa melaut, anak kami makan apa?”
“Pemerintah tidak peduli pada rakyat!”
Dua pemuda kumal itu tampak bersemangat, hanya berselimut kaos lusuh dan celana jeans usang, dengan lantang mereka meneriakkan kalimat-kalimat pembelaan terhadap rakyat.
Satu berdiri tegap dengan badan bak kuli panggul, lengannya dilingkarkan pada rekan di sampingnya, rambut gondorongnya tak menghalangi sorot matanya yang tajam, berdiri paling depan ia membentuk border bagai tembok yang kokoh.
Sementara yang satu, dengan raut wajah tegas, rambut cepak dan lengan yang kokoh, sibuk mengibarkan panji di depan barisan manusia border. Sekali panji itu terkibar sebagai tanda perang, maka orang-orang di belakangnya dengan gagah berani akan menantang barisan berpentungan dan helm di depan mereka.
“Mantap, aksi hari ini sukses bung! Tekanan publik harus terus ditingkatkan!”, pemuda gondrong berbadan kuli itu tampak puas, disekanya keringat yang mengucur di dahi dengan kaos putihnya yang lusuh, kaos yang sudah tiga hari tidak dicuci. Ya, sibuk mengurusi rakyat membuatnya lupa akan dirinya sendiri.
“Benar, lain kali kita harus memobilisasi massa lebih banyak lagi, mahasiswa harus peduli pada rakyat!”, pemuda berambut cepak di sebelahnya turut menimpali. Diusapnya kacamata reyot miliknya yang tampak basah oleh keringat.
“Jadi, kapan kau akan pulang?”, pemuda gondrong di sampingnya bertanya dengan intonasi yang cukup serius.
“Besok lusa, aku harus mempersiapkan keberangkatanku ke Amerika, beasiswa yang ditawarkan universitas terlalu sayang untuk ku sia-siakan. Lagi pula, aku sudah kangen dengan keluargaku, dua tahun aku tidak pulang. Ku dengar musim ini jagung di kebunku akan segera dipanen. Kau mau kubawakan sebiji, heh?”
“Tidak,”, pemuda gondrong itu menjawab dengan ekspresi serius. Si cepak berkacamata di sampingnya tampak mengernyitkan dahi.
“Tidak sebiji maksudku, tapi sekarung!! Hahahaha..”, tawa dua sahabat seperjuangan itu meledak di tengah sunyinya jalanan, menghangatkan suasana malam yang dingin.
***
“Tuan Mikail, anda telah ditunggu oleh Tuan Verdy di meja nomor 16”, resepsionis berparas ayu tersebut menunjukkan jalan kepada lelaki gondrong berbadan tegap di sampingnya.
“Heii, kemarilah!”, lelaki berjas dan berdasi di meja nomor 16 tampak sangat antusias, senyumnya terkembang begitu lebar.
Lelaki gondrong itu duduk, senyumnya tipis meraut.
“Bagaimana kabarmu?”, tanya lelaki berjas di hadapannya.
“Ya, seperti yang kau lihat,masih seperti dulu, sibuk berkutat dengan aktivis dan mahasiswa jalanan. Hei, lihatlah dirimu, lama tinggal di Amerika membuatmu tampak seperti bintang film. Berkunjung ke negara sendiri pun hanya sebentar, bagai berwisata”, senyum simpul terkerut di bibir pria gondrong berbadan tegap.
“Hahaha bisa saja kau, aku masih cinta negaraku, tenang saja. Riris bagaimana kabarnya? Mengapa kau tak mengajaknya bersamamu? Kalian bagaikan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien untuk rakyat kecil”, lelaki berjas tersebut bertanya dengan sedikit senyum sarkastik.
“Haha yaa, kau tahu sendiri, aku mudah tidak fokus pada wanita, aku dan dia telah putus hubungan dua tahun yang lalu, sekarang ia telah menikah, ikut suaminya kembali ke daerahnya. Biarlah ia membangun daerahnya, lagipula aktivitasku saat ini terlalu menyita waktu jika harus ditambah dengan memikirkan perempuan”, lelaki gondorong itu menjawab dengan sedikit tertawa.
“Bagaimana denganmu?”, lanjutnya. “Ku dengar kau berhasil mendapatkan si ‘itu’ yang dari dulu selalu kau pikirkan sepanjang malam. Wanita yang selalu membuatmu menjadi bahan olokan, aktivitis kok takluk sama perempuan? Sama pentungan polisi saja tidak takut.”
Tawa keduanya pun menggelak di tengah suasana restoran Prancis yang romantis tersebut.
“Ya, puji Tuhan, aku selalu percaya pada kekuatan cinta dan Tuhan. Jika ia tak bisa melihat cintamu, maka mintalah pada Sang pemilik cinta untuk menunjukkan cintamu padanya. Dan sekarang, Sang pemilik cinta telah menitipkan bidadarinya yang anggun kepadaku”.
“Hahaha, kau tak pernah berubah, selalu saja puitis dan melankolis. Wajahmu itu jijik tahu apabila sedang berbicara seperti itu! Hahaha”, pemuda gondrong tersebut tertawa lebar, rambutnya yang terurai bahkan naik turun.
“Hahaha, kau ini seperti baru mengenalku saja. Enam bulan lagi aku berencana menikah dengannya, kau wajib datang!”
Lelaki gondrong itu terdiam, sedetik kemudian ia menjawab dengan senyum sedikit sayu “kuharap..”
“Hei, sahabatmu ini akan segera menikah, masa kau tidak datang? Ayolaahh..”
Pemuda gondrong tersebut terdiam menatap wajah sahabatnya, ia hanya tersenyum sayu. Sesaat mereka berdua terdiam.
“Jadi Mik, sampai kapan kau mau terus seperti ini?”, pemuda berjas tersebut bertanya dengan wajah dan intonasi yang cukup serius.
“Seperti ini apa maksudmu?”
“Hidup di jalanan, berpindah dari gubuk satu ke gubuk yang lain, kucing-kucingan dengan aparat. Lihatlah dirimu sekarang, aku sebagai sahabatmu merasa prihatin. Sudah saatnya kau tinggalkan masa-masa itu, dunia telah berubah. You have a lot of potention inside you dude, c’mon, look at yourself! Kau pernah mengenyam pendidikan dasar di Amerika, bahasa Inggrismu tidak diragukan lagi. Pengetahuanmu sangat luas, mengapa tidak kau gunakan untuk hal yang lain? Jika kau mau, kau bisa ikut denganku. Perusahaan tempatku bekerja bisa menampungmu.”
“Haha, perusahaan Amerikamu yang mengeruk kekayaan negara kita? Aku lebih baik hidup sebagai gelandangan melarat dibanding menjadi pelacur!”
“Apakah kesucian masih menjadi hal penting di zaman ini? Lihatlah sekelilingmu, berapa banyak orang yang telah melacurkan dirinya? Orang-orang suci bisa dihitung dengan jari!”
“Lebih baik menyalakan satu lilin dibanding terus hidup dalam kegelapan!”
“Apakah satu lilin bisa memberikan penerangan yang adil kepada semua orang??”
“Fufu, tampaknya kau sekarang telah berpikir sama seperti mereka yang dulu kau kutuk. Dimana idealismemu sepuluh tahun yang lalu??”
“Aku tidak kehilangan idealismeku, aku hanya mencoba untuk realisits. Aku memikirkan hidup dan masa depanku. Bagaimana aku bisa hidup di tengah zaman yang sekarang ini jika aku terus memikirkan orang lain? Bagaimana aku memberi makan anak dan istriku kelak? Sudah saatnya kau juga peduli pada hidupmu.”
“Kita hidup untuk mati! Kau jangan lupa!”
Lelaki berjas tersebut terdiam, sesaat kemudian ia angkat bicara, “Mikail, lihatlah negara kita sekarang, demokrasi yang kita usung telah menjadi bumerang, pemerintahan semakin bobrok, oligarki semakin berkuasa, negara kita diambang kehancuran. Aku mengerti perasaanmu, jika kau mau merubah, kau harus melakukan revolusi besar-besaran, apakah kau bisa mengendalikan orang-orang untuk angkat senjata seperti Che Guevara? Paling tidak jika ingin merubah, mungkin kau harus menjadi sosok seperti V, tetapi itu hanya ada dalam film fiksi”.
Lelaki gondrong di hadapannya tersenyum tipis. Lelaki berjas itu menarik napas dalam-dalam, sejenak kemudian ia kembali angkat bicara.
“Aku hanya peduli padamu Mik, kau dulu sahabat seperjuanganku, sekarang pun begitu walau kita telah berbeda jalan. Aku hanya tidak ingin kau terlalu terjebak pada romantisme masa lalu. Sebagai sahabat, aku hanya ingin yang terbaik untukmu, aku prihatin melihat kondismu sekarang. Tapi kalau sekarang yang kau lakukan menurutmu adalah yang terbaik, apa boleh buat, aku tak bisa memaksa, sebagai sehabat aku akan mendukungmu. Tetapi ingat, tawaranku tadi berlaku selamanya, kapan pun kau membutuhkanku, jangan sungkan untuk menghubungiku, aku akan datang padamu.”
“Haha, tenang saja, santai, kau percayakan saja semuanya padaku. Terima kasih atas tawaranmu”, lelaki gondrong itu tersenyum tipis.
“Aku harus pergi sekarang. Aku harus mempersiapkan pertemuan bosku dengan anggota parlemen besok lusa”. Sejenak lelaki berjas itu terdiam, kemudian ia melanjutkan kalimatnya. “Hei, kita masih bersahabat kan?”
“Hahaha, tentu saja, aku masih sayang padamu”, lelaki gondrong di hadapannya tersenyum tipis.
Lelaki berjas itu tersenyum. Kata-kata sahabatnya sedetik lalu sedikit menohok dadanya. Beberapa bulir air mata meronta ingin keluar dari pelupuk namun berusaha ditahannya. Perlahan ia meninggalkan restoran Prancis tersebut dengan langkah tertunduk.
Sementara di dalam, lelaki gondrong bertubuh kuli itu terdiam dengan ekpresi kaku. Ia terdiam, tetapi pikirannya sibuk bergerak kemana-mana.
***
Gubuk reyot itu tampak berantakan, hanya diterangi oleh lampu pijar buram 5 watt. Terhampar sesosok manusia tengah duduk memikirkan sesuatu di hadapan meja kayu usang. Pikirannya melayang-layang memikirkan hari esok. Ia yakin keputusannya telah tepat, hanya saja banyak hal-hal lain di luar itu yang ia pikirkan.
Rokok kretek di tangannya dihisap sedalam mungkin. Asap yang dihembuskan bergerak-gerak tak karuan, seolahmenggambarkan pikirannya malam itu.
Kopi hitam di cangkir tuanya telah diseruput habis, entah berapa banyak kafein yang telah ia tenggak malam ini. Ia tak bisa tidur, pandangannya kosong menatap ke langit-langit gubuk yang penuh sarang laba-laba.
Sejenak ia terdiam, lalu beranjak dari kursinya. Tujuannya satu, surau kecil di belakang gubuknya. Malam itu ia membasuh mukanya dengan air suci, lalu melaksanakan ritual yang entah sudah berapa lama tak ia lakukan. Kepalanya menunduk, bersujud, menyembah kepada Tuhannya.
Tangannya menengadah dan air matanya meleleh membasahi wajah kasarnya. Ia pasrah, ia memohon petunjuk, ia menyerahkan segala urusannya esok kepada Sang pencipta.
***
“Tiin.. tiinn..”, klakson mobil meraung-raung di tengah jalanan ibu kota pagi itu.
“Damn this traffic jam! Mengapa negara ini tak pernah berubah?!”, sesosok berjas di dalamnya menggerutu kesal.
Bagaimana tidak, ia memiliki agenda penting pagi ini. Ia harus mengatur pertemuan penting antara bosnya dengan anggota parlemen, pertemuan yang mempertaruhkan triliunan pundi rupiah.
Beberapa menit menjelang gedung parlemen tujuannya, akhirnya ia mengetahui biang kemacetan yang terjadi.
Demo besar-besaran tampak di hadapan gedung parlemen.
Ia sedikit terkejut, ini demonstrasi terbesar yang pernah ia lihat. Ada ratusan panji yang berkibar, mulai dari organisasi masyarakat sipil, serikat buruh buruh, nelayan, kerukunan tani, pedagang, sampai mahasiswa dari berbagai universitas.
Sejenak ia mengamati, sepertinya ini merupakan demo puncak dari seluruh lapisan masyarakat terkait kondisi negaranya saat ini. Ya, negara ini memang sedang diambang kehancuran akibat demokrasi yang dikorupsi.
Terlalu asyik memperhatikan, ia tidak sadar beberapa mahasiswa menunjuk ke arah mobilnya. Sedetik kemudian empat orang diantara mereka berlari dan menggedor kaca mobil.
“Duk, duk, duk..!!”
Ia terkejut, tetapi mahasiswa-mahasiswa tersebut terus meggedor kaca mobilnya. Pria berjas tersebut beranjak turun, wajahnya memerah menahan emosi, apa-apaan bocah ingusan ini?! Sebagai mantan aktivis yang biasa berhadapan dengan aparat, ia tidak takut dengan empat mahasiswa di hadapannya.
“Mau apa kalian, heh?!”
“Bang Verdy, kan?”, tanya salah satu diantara empat mahasiswa tersebut.
“Iya, kenapa? Mau apa kalian? Tahu darimana nama saya?”
“Bang Verdy, tetap diam disini, jangan kemana-mana!,” salah satu dari empat mahasiswa tersebut memberi perintah padanya.
“Heh, apa-apaan kalian, apa perihal kalian melarang saya kesana?! Saya punya urusan penting hari ini, bos saya sudah menunggu untuk pertemuan dengan anggota parlemen!”
“Pokoknya tidak bisa, anda tetap diam disini!”, mahasiswa berbadan paling besar menghardiknya.
“Lancang sekali kamu! Gini-gini saya mantan aktivis, lawan kamu berempat saya tidak takut!”
“Bang, jangan sampai kami berbuat kasar. Ini perintah dari Bang Mikail, anda harus tetap disini!”
“Mikail??” lelaki berjas itu tampak terkejut, ada urusan apa Mikail melarangnya masuk ke dalam gedung parlemen?
Ia tahu saat ini terjadi demo besar-besaran, tetapi menurutnya itu tidak akan mengganggu pertemuan antara ia, bosnya, dan anggota perlemen.
Apa Mikail tidak mengerti betapa pentingnya pertemuan ini baginya? Bukankah kemarin malam ia telah menjelaskan semuanya pada Mikail?
Sejenak ia terdiam, pikirannya berkecamuk. Namun sedetik kemudian wajahnya kembali memerah. Mikail pasti ingin menggagalkan pertemuannya agar perusahaannya merugi!
“Minggir kalian, aku mau bertemu pimpinan kalian, aku mau bicara dengan Mikail!”
Lelaki berjas itu merangsek menerobos keempat mahasiswa itu,. Tetapi sedetik kemudian mahasiswa berbadan paling besar menarik lengan jasnya hingga ia tersungkur. Ketiga temannya langung memegang erat lelaki berjas yang kini tekapar di aspal jalan.
“Hei, lepaskan! Apa-apaan kalian?!”
Ia berteriak marah, namun sayup-sayup dari kejauhan ia melihat pemandangan yang cukup mencengangkan.
Sesosok tinggi besar berambut gondrong tampak merangsek masuk menembus barisan berpentungan dan helm di hadapannya. Bersamanya turut beberapa aktivis. Dengan cepat ia berlari dan memanjat pagar gedung parlemen setinggi dua meter.
“Mikail!”, pekik lelaki berjas tersebut. Sedikit tercekat.
Beberapa aparat tampak panik dan mengejar. Namun aktivis-aktivis yang turut menerobos bersamanya tampak menghalangi dan melindungi pria berambut gondrong tersebut.
Ia terus berlari, dan dalam sekejap telah sampai di depan pintu gedung parlemen.
Verdy terdiam memperhatikan sahabatnya yang berlari. Perlahan sosok tersebut semakin mengecil, hanya rambut gondrong terurainya yang berkibar dari kejauhan.
Sesaat kemudian, pandangannya buram, ledakan keras terdengar memekakkan telinga. Gumpalan api terlihat menjilat-jilat langit yang cerah seiring dengan runtuhnya gedung parlemen di hadapannya.
Verdy terdiam, pikirannya melayang-layang. Salah satu bagian pikirannya melayang ke film favoritnya, V for Vendetta. Ia seolah-olah melihat adegan terakhir film itu secara nyata. Di tengah hiruk pikuk massa yang berlarian dan sirine yang meraung-raung, ia mendengar suara terakhir sahabatnya berbisik kecil di telinganya, “aku masih sayang padamu”.
Izzan Fathurrahman

Comments